Loading...
INDONESIA
Penulis: Ignatius Dwiana 16:51 WIB | Rabu, 31 Juli 2013

Kuasa Tradisi Lisan Dalam Menjaga Hutan Adat

Upacara adat suku Tengger di Gunung Bromo Jawa Timur (Foto Dokumentasi Situs Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia)

JAKARTA,SATUHARAPAN.COM – Ada sebuah cerita turun temurun tentang seekor burung yang sanggup menyembuhkan patah tulang. Keampuhan burung itu menyembuhkan patah tulang itu mirip ramuan istimewa yang dimiliki seorang dukun di Karo. Suatu ketika, burung yang sanggup menyembuhkan patah tulang itu teridentifikasi ilmuwan. Sarangnya dicari dan anak burung itu dipatahkan kakinya saat induknya pergi. Ketika induk burung itu kembali ke sarang dan menemukan anaknya kakinya patah, induk burung itu pergi. Tidak lama kemudian induk burung itu kembali membawa daun-daunan untuk patang tulang kaki anaknya. Daun-daunan itu lalu coba diteliti ilmuwan. Ternyata, daun-daunan itu berkhasiat serupa dengan ramuan istimewa yang dimiliki seorang dukun di Karo.

Seekor burung yang sanggup menyembuhkan patah tulang itu telah mengajarkan kepada manusia tentang keberadaan daun-daunan berkhasiat menyembuhkan patah tulang. Burung yang hidup di satu komunitas, habitat, atau pohon tertentu di hutan dapat sejahtera dan kelangsungan akan terus terjaga jika tidak diusik. Tetapi ancaman konversi tanaman industri mengintai.  Ketika hutan digantikan dengan tanaman industri yang tidak pada tempatnya maka tidak ada lagi cerita turun temurun tentang seekor burung yang sanggup menyembuhkan patah tulang. Tidak berguna lagi mantera atau ramuan istimewa yang dimiliki seorang dukun yang memperoleh pengetahuan dari alam. Yang tersisa hanyalah sastra yang dituliskan dan diingat-ingat bahwa pernah ada cerita turun temurun semacam itu.

Ingatan kolektif masyarakat yang hanya lisan dalam masyarakat adat atau masyarakat tradisional memiliki semangat konservasi untuk menjaga alam dan teritori hutan mereka, hutan adat. Cerita turun temurun dari satu generasi ke generasi yang terbungkus dalam suatu mitos merupakan salah satu bentuk tradisi lisan yang bertujuan menjaga hubungan harmonis dengan alam.

Sukirno, Pengajar Hukum Adat dan Antropologi Hukum di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, mengatakan, “Dalam masyarakat tradisional hal-hal seperti itu terbungkus dalam satu mitos. Tetapi di balik itu sebenarnya ada semangat konservasi untuk menjaga alam karena mereka hidup dari alam, hutan.”

Masyarakat adat atau masyarakat tradisional memperhatikan hutan adat karena mereka sehari-hari  hidup tergantung dengan alam. Alam harus dijaga karena itu merupakan sumber kehidupan mereka.  Mereka menjaganya dengan tradisi lisan melalui hukum, peraturan, norma, maupun salah satu bentuknya mitos. Ada pula sosok tertentu yang menjaga hutan dan alam mereka. Di Bali, wujud penjaga hutan adalah Sapi Putih.

Sugiyanto, seorang mahasiswa berusia 31 tahun dari Delanggu Jawa Tengah, mengatakan dirinya pernah mendengar dari kakek neneknya supaya manusia harus memelihara dan menjaga alam. Karena jika itu tidak dipatuhi, Anantaboga, tuhan penguasa bumi yang berwujud naga akan murka. Jika murka, dia akan mengibas-ngibaskan ekornya sehingga terjadilah gempa.

Lain lagi dengan Rosalia. Pengajar ilmu Komunikasi di Universitas Mercubuana Yogyakarta ini menceritakan adanya wujud harimau yang menjaga kawasan desa Slahung di daerah pegunungan dekat Ponorogo. Ketika masih kanak-kanak, dia berkunjung ke tempat neneknya di kawasan itu. Neneknya biasa bercerita tentang keberadaan harimau di kawasan itu. Harimau merupakan penjaga desa, alam, hutan di Slahung, sekaligus wujud nenek moyang, karena biasa dipanggil kakek ketika berpapasan dengannya di tengah jalan. Keberadaan sosok macan menjadikan para penduduk desa tidak menebang pohon-pohon besar di hutan. Kalau pun terpaksa menebang, itu pun sesuai kebutuhan, misal sebagai kayu bakar buat masak.  Tidak untuk keperluan produksi.

Ketika Rosalia duduk di bangku SMP mengunjungi neneknya di Slahung, kawasan hutan Slahung masih lebat. Berbeda sekali ketika Rosalia duduk di bangku kelas dua SMU, ada yang berubah dari Slahung. Jalan-jalan yang dulu susah dilewati, sudah mulai dibangun. Ada saluran air memakai pipa-pipa dan selang-selang panjang yang dialirkan ke tempat penduduk sehingga untuk memenuhi kebutuhan air tidak perlu lagi jauh-jauh pergi ke mata air. Kawan hutan Slahung lebatnya berkurang.

Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), Pudentia Maria Purenti Sri Sunarti, mengungkapkan bahwa kearifan lokal yang tercermin lewat pantun, tuturan, dongeng, mitos, legenda, dan lain-lain itu bertujuan melestarikan alam. Dicontohkannya, masyarakat Melayu Riau membedakan antara kawasan huma, ladang, dengan hutan.

Keberadaan sosok tertentu sebagai penjaga alam dan hutan yang biasa ada dalam masyarakat tradisional atau masyarakat adat juga dibenarkan Sukirno. Mitos merupakan salah satu bentuk tradisi lisan. Tradisi lisan ini berpengaruh pada pengelolaan atau konservasi hutan. Tradisi lisan secara umum merupakan bukti awal keberadaan hutan adat dan pengelolaannya.

“Keberadaan hutan adat itu ‘kan berangkat dari warisan para leluhur yang secara lisan diturunkan dari generasi ke generasi untuk menjaga alam dan lingkungan, termasuk di dalamnya hutan adat. Saya kira ini satu bukti permulaan atau bukti awal adanya pengelolaan hutan adat.” Kata Sukirno.

Keberadaan hutan adat membuktikan masyarakat adat bisa bergantung kepada alamnya sendiri. Masyarakat adat bisa mandiri.

Masyarakat bisa bergantung kepada alamnya sendiri. Dia bisa mandiri. Tidak tergantung kepada apa yang di luar.” Kata Pudentia Maria Purenti Sri Sunarti. Tetapi terancamnya tradisi lisan mencerabut masyarakat adat dari alamnya.

Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Darori pada tahun 2012 mengatakan perusakan hutan beralih. Trend sebelumnya pembalakan illegal, kini berganti  sektor perkebunan yaitu sawit dan sektor pertambangan (mongabay.co.id). Greenpeace International menggambarkan perusahaan industri sawit Indonesia menjalankan sebuah bisnis kotor. Pada tahun 2012 data Kementerian Kehutanan merilis data 70 persen kerusakan hutan diakibatkan aktivitas industri pertambangan. Dalam pernyataan yang dikeluarkan pada tahun 2013, Ketua Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (APEMINDO) Poltak Sitanggang membenarkan bahwa 70 persen Kerusakan Hutan diakibatkan aktivitas industri pertambangan (satuharapan.com).

Selama ini dalih masuknya industri seakan-akan menghidupi masyarakat adat, tetapi pada kenyataannya tidak. Terbukti dengan dampak yang ditinggalkannya.

Sementara tradisi lisan dalam masyarakat adat yang menjaga hubungan harmonis dengan alam tidak diakui negara di masa lalu. Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria pasal 3 memberi pengakuan atas kawasan adat. Tetapi menurut Sukirno pengakuan itu semu atau setengah hati. Negara mengambil hak ulayat masyarakat tradisional atau masyarakat adat. Penetapan perundang-undangan ini berdampak pada hilangnya teritori hutan adat.

Sukirno juga mengatakan, “Dulu ada Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-Undang ini bersifat sentralistis sehingga menghancurleburkan budaya dan masyarakat di pelbagai daerah karena menyeragamkan desa. Peraturan perundang-undangan yang ada berpengaruh terhadap masyarakat adat sebagai subyek dari hutan adat. ”

Tradisi lisan yang berfungsi menjaga hubungan harmonis dengan alam selama ini diwariskan secara alamiah.  “Selama ini bentuk transfernya secara alamiah. Secara alamiah dari seorang kakek kepada cucunya. Dari seorang tua kepada anaknya, kepada komunitasnya. Atau ada seorang yang tertarik mengikuti terus tradisi itu ketika diritualkan, dibacakan, dipentaskan, disajikan sehingga selalu ada dan berlangsung terus menerus. Jadi dia belajar dan ada yang seperti itu. Itu ‘kan alamiah, jadinya turun menurun.” Kata Pudentia Maria Purenti Sri Sunarti.

Ketua Lembaga Adat tidak saja kemudian berperan dalam mewariskan tradisi lisan, tetapi juga menjaganya. Asosiasi Tradisi Lisan, lembaga yang dipimpin Pudentia Maria Purenti Sri Sunarti, juga berupaya memfungsikan diri sebagai penjaga tradisi lisan. Melestarikan, mengawetkan, melakukan transfer pengetahuan tradisi lisan yang tidak hanya bersandar secara alamiah. ATL mencoba melakukan pendekatan tradisi lisan dengan suatu terobosan akademis.

Tanpa adanya tradisi lisan, masyarakat tradisional atau masyarakat adat sukar membuktikan keberadaan hutan adat. Seperti dikatakan Sukirno, tradisi lisan itu bukti awal keberadaan hutan adat. Tanpa tradisi lisan, tidak ada ingatan kolektif masyarakat menyangkut alam maupun hutan adat, dan itu yang terjadi pada Lisistrata. Mahasiswi S2 Ilmu Religi dan Budaya di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini susah mengingat tradisi lisan yang diceritakan kepadanya di masa kanak-kanak.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home