3 Ekonom Tantang Jokowi Ciptakan 21 Juta Lapangan Kerja
JAKARTA, SATU HARAPAN – Tiga ekonom terkemuka menyodorkan resep reformasi ekonomi radikal kepada Presiden terpilih, Joko Widodo. Resep radikal itu diajukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata 10 persen per tahun. Dengan pertumbuhan ekonomi sebesar itu, pemerintahan Jokowi dijamin dapat menciptakan 21 juta lapangan kerja dalam lima tahun masa kerjanya.
Satu dari tiga ekonom itu adalah Gustav F. Papanek, Profesor Emeritus Ilmu Ekonomi pada Boston University dan presiden Boston Institute for Developing Economies (BIDE). Ekonom lainnya adalah Raden Pardede, Co-Founder dan Managing Partner CReco Research Institute serta Wakil Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN). Satu ekonom lagi ialah Suahasil Nazara, profesor Ilmu ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Ketiganya bersama-sama menyusun sebuah paper setebal 239 halaman yang berisi rekomendasi kebijakan ekonomi disertai langkah-langkah terperinci untuk mengimplementasikannya. Paper yang diberi judul The Economic Choices Facing the Next President, diterbitkan oleh Center for Public Policy Transformation. Paper tersebut mulai beredar bulan ini dan dapat diunduh di internet.
Menurut mereka, dalam lima tahun ke depan pemerintahan Jokowi dapat memilih dua alternatif strategi pembangunan ekonomi. Pertama, strategi pembangunan business as usual, yang berarti sekadar melanjutkan kebijakan ekonomi yang sudah dirancang oleh pemerintahan sebelumnya. Bila pilihan ini yang diambil, pemerintahan Jokowi diperkirakan hanya akan bisa menghasilkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen per tahun dan menciptakan 1 juta lapangan kerja per tahun.
Pilihan kedua, dan ini yang disarankan ketiga ekonom itu, ialah strategi pembangunan yang lebih radikal dengan reformasi yang lebih tegas. Apabila strategi ini yang dipilih, pemerintahan Jokowi diyakini akan mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi 10 persen per tahun dan menciptakan 21 juta lapangan kerja dalam lima tahun.
Gustav F. Papanek dan kawan-kawan berpendapat sudah saatnya Jokowi memutar haluan pembangunan ke jalur ekonomi yang pernah membuat Indonesia berjaya di pasar ekspor global. Jalur itu adalah pertumbuhan ekonomi yang dihela oleh sektor manufaktur berbasis padat karya yang berorientasi ekspor.
Mereka berargumentasi bahwa pada tahun 1986/1987, setelah melakukan dua kali devaluasi, Indonesia berhasil memenangi persaingan ekspor di pasar global. Pendorongnya adalah daya saing yang tinggi lewat produk manufaktur yang berbiaya kompetitif. Ketika itu Indonesia bahkan dapat mengungguli China.
"Itu sebabnya, dengan sistem insentif yang tepat, kami yakin Indonesia dapat meraih kembali tingkat pertumbuhan ekspor manufaktur yang tinggi," tulis mereka dalam paper tersebut.
Ketiga ekonom itu meyakini memajukan ekspor barang manufaktur berbasis padat karya juga merupakan jawaban atas permasalahan ekonomi domestik. Dewasa ini Indonesia menghadapi tingginya angka pengangguran terselubung. Saat ini diperkirakan tidak kurang dari 20 juta tenaga kerja di sektor pertanian dan informal yang kontribusinya tidak maksimal terhadap perekonomian. Mereka bekerja dengan waktu yang tidak terbatas tetapi penghasilannya kecil. Termasuk ke dalamnya adalah para pengemudi becak, petani paruh waktu, penyemir sepatu, pemungut barang loak dan lain-lain.
Menurut Gustav dan kawan-kawan, surplus tenaga kerja yang tidak maksimal ini, akan dapat lebih produktif bila sektor manufaktur berorientasi ekspor didorong dan dipromosikan. Sektor ini umumnya bersifat padat karya sehingga dapat menampung tenaga kerja dalam jumlah yang lebih banyak.
Ketiga ekonom itu menganggap jalur manufaktur merupakan alternatif terbaik dibandingkan alternatif lain. Dalam satu dekade terakhir, ekonomi Indonesia lebih didorong oleh ekspor komoditas yang sempat menikmati booming karena harga yang membubung dan permintaan yang tumbuh pesat. Indonesia memang sempat menikmati pertumbuhan ekonomi 6-7 persen per tahun dari 2005-2007, dipicu oleh tingginya permintaan batubara dan kelapa sawit di pasar dunia. Namun seiring dengan melemahnya permintaan dunia, daya dorongnya pun melemah. Pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai dengan mengandalkan jalur ini diperkirakan hanya 4,5 persen per tahun.
Gustav F. Papanek dikenal sebagai salah satu ekonom yang berperan dalam menyusun strategi pembangunan ekonomi sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia. Buku teks Ekonomi Pembangunan karyanya, menjadi buku wajib di hampir seluruh Fakultas Ekonomi dunia.
Di era Orde Baru, ia menjadi penasihat pemerintah Indonesia melalui peranannya sebagai direktur Harvard’s Development Advisory Service, cikal bakal Harvard Institute for International Development (HIID). Gustav Papanek juga merupakan guru sejumlah ekonom Indonesia, yang saat ini telah menjadi pengambil keputusan. Menteri Keuangan, M. Chatib Basri, yang mengisi kata pengantar dalam buku ini, merupakan salah satu anak didik Gustav F. Papanek.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...