Loading...
OPINI
Penulis: Lucia Ratih Kusumadewi 13:25 WIB | Senin, 15 Juli 2013

Agama yang Otokritis

SATUHARAPAN.COM - Saat ini, kekerasan atas nama agama seakan tidak pernah absen dari berita sehari-hari. Kekerasan-kekerasan itu terjadi hampir di mana saja. Negara dan hukum tidak berdaya mengatasi masalah ini. Agama telah menjadi kekuatan maha dahsyat tak tertandingi dan sponsor utama kekerasan dalam masyarakat. 

Kekerasan yang intensif itu bisa menghasilkan berbagai dampak. Salah satu yang cukup menjadi perhatian saat ini adalah meningkatnya fobia. Data terbaru yang dikemukakan oleh CCIF (Collective contre l’islamopobhie en France) misalnya, sungguh mengkhawatirkan. Dalam berita yang dilansir RTL (www.rtl.fr) disebutkan ada  peningkatan yang cukup signifikan, yaitu sebesar 57%, aksi-aksi Islamophobia di Perancis pada tahun 2012 dibandingkan tahun sebelumnya. Aksi-aksi yang dikaitkan dengan Islamophobia adalah semua bentuk diskriminasi atau kekerasan  terhadap institusi atau individu yang disebabkan oleh penampilan riil atau yang dianggapkan sebagai bagian dari komunitas Muslim 

Pernyataan Bureau of Democracy, Human Rights and Labor, U.S. Departement of State, juga senada. Menurut mereka, selain ada peningkatan aksi-aksi yang berkaitan dengan anti-Semitisme, telah terjadi pula peningkatan aksi-aksi berkaitan dengan Islamophobia di berbagai wilayah, khususnya di Eropa dan Asia (www.state.gov). Di sisi lain, dikemukakan pula bahwa intensitas kekerasan yang diarahkan kepada kelompok-kelompok minoritas juga meningkat di beberapa negara, termasuk kekerasan yang ditujukan kepada kelompok-kelompok aliran minoritas dalam Islam, di negara-negara di mana mayoritasnya adalah penganut entah Sunni atau Syiah 

Di dalam negeri, seperti kita ketahui, terjadi hal serupa. Walau isu fobia tidak berkembang, tetapi Indonesia saat ini memiliki permasalahan yang serius berkaitan dengan perlindungan terhadap hak-hak kelompok agama minoritas. Kekerasan yang ditujukan kepada kelompok minoritas non-Muslim dan kelompok aliran minoritas dalam Islam masih terus berlangsung.  

Brad Adams dari Human Rights Watch pernah mengatakan bahwa kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengambil sikap dan melindungi kaum minoritas dari intimidasi dan kekerasan merupakan olok-olok terhadap klaim bahwa Indonesia adalah negara demokratis yang melindungi hak asasi manusia. 

 

Agama sebagai Sumber Kekerasan 

Bila ditelisik lebih lanjut, maka dengan cepat kita menjumpai bahwa sejarah agama-agama besar adalah sejarah kekerasan. Ini disebabkan karena institusi agama telah menjelma sebagai sumber-sumber kekuasaan utama yang hampir selalu bersinggungan dengan kepentingan politik dari waktu ke waktu.  

Sejarah kekerasan yang panjang itu juga memperlihatkan titik lemah institusi agama. Alih-alih menciptakan kemashalatan umat manusia dan menjadi inspirasi utama bagi perdamaian dunia, institusi agama malah terjun bebas menjelma sebagai sumber-sumber fobia dan kekerasan. 

Selama ini, tampaknya beban untuk menciptakan kehidupan bersama tanpa kekerasan kerap hanya ditumpukan kepada negara beserta aparatusnya. Mereka ditugasi untuk menyelesaikan kekacauan yang terjadi karena ke-egois-an institusi-institusi dan kelompok-kelompok agama yang senang melakukan kekerasan. Upaya kekuatan supra-negara untuk memikirkan dan menyusun berbagai rambu-rambu dan norma untuk menghindari kekacauan, seperti Hak Asasi Manusia misalnya, juga kurang membuahkan hasil.  

Kekerasan atas nama agama sulit untuk dikendalikan yang lebih disebabkan karena ‘negara lemah’ sehingga kerap dikooptasi oleh kepentingan agama dominan, dan atau ‘negara penjahat’ yang justru berkolaborasi dengan ‘penjahat agama’.  Akibatnya, masalah kekerasan atas nama agama tidak pernah dapat terselesaikan dengan tuntas dan kelompok-kelompok agama terus memproduksi kekerasan.    

 

Otokritik terhadap Agama 

Ke depan, kekerasan antar kelompok agama tampaknya masih akan sulit diselesaikan tanpa adanya peran serta dari institusi agama itu sendiri. Bukan bermaksud mengecilkan atau melepaskan tanggungjawab negara, tetapi permasalahan berat ini tak mungkin selesai selama kekerasan itu terus diproduksi. Oleh karena itu, perubahan yang konstruktif dan revolusioner harus dimulai dari institusi agama itu sendiri. 

Untuk mencapai perubahan itu, sebaiknya dilakukan; Pertama, otokritik terhadap agama. Institusi-institusi agama hendaknya mulai bertanya apakah agama-agama mereka itu telah berfungsi dengan baik sebagai pencipta kedamaian di dunia atau lebih sebagai pencipta kekacauan dan kekerasan.  

Institusi agama juga seyogiyanya bertanya mengapa umatnya kerap melakukan kekerasan atas nama agama. Agama yang otokritis juga bertanya mengapa berbagai fobia berkaitan dengan agama meningkat. Apakah institusi-institusi agama telah melakukan sesuatu guna mengurangi fobia itu atau justru malah berandil besar baik langsung maupun tidak langsung dalam menciptakan fobia itu? 

Kedua, setelah melakukan otokritik itu, institusi-institusi agama hendaknya mulai mempelopori gerakan-gerakan yang secara nyata mendukung dan mempromosikan anti-kekerasan, toleransi dan perdamaian diantara seluruh umat manusia. Bila hal ini sungguh bisa menjadi kenyataan, maka signifikansi agama sebagai pencipta perdamaian akan semakin diteguhkan, selain bahwa kehidupan antar kelompok agama yang damai tanpa kekerasan akan terwujud.  

 

Penulis adalah dosen Sosiologi FISIP-UI. Mahasiswa Doktor di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), Paris. 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home