Anak Kadhafi Divonis Mati, HRW Sebut Pengadilan Cacat
TRIPOLI, SATUHARAPAN.COM – Pengadilan Libia menjatuhkan vonis mati pada anak laki-laki mendiang Moammar Kadhafi, Saif al-Islam. Selain al-Islam, delapan lainnya juga dijatuhi hukuman mati. Mereka didakwa terkait kejahatan perang saat revolusi pada 2011. Namun, Human Right Watch menyebut pengadilan ini cacat.
Doktor lulusan London School of Economics ini, Selasa (28/7) dalam pengadilan itu memberikan kesaksian lewat video. Dia ditahan pemberontak dari kota Zintan. Para pemberontak menolak membebaskan anak kedua diktator Libya ini sehingga tidak dapat hadir di pengadilan. Para pemberontak menganggap pemerintah sekarang bukan pemerintah yang sah.
Selain al-Islam, mereka yang menghadapi hukuman mati adalah mantan kepala intelijen rezim Kadhafi, Abdallah al-Senousi dan mantan Perdana Menteri Baghdadi al-Mahmoudi. Mereka diberikan hak untuk mengajukan banding.
Total para pesakitan yang menghadapi vonis ada 38 orang. Namun, hanya 29 yang dapat dihadirkan di persidangan. Terdakwa lainnya menerima hukuman mulai dari penjara lima tahun sampai seumur hidup.
Laki-laki berusia 43 tahun ini disebut-sebut politikus paling berkuasa di Libya pada era Kadhafi. Dia orang kepercayaan sang ayah. Selain Libya, Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) memburunya. Dia diduga melakukan kejahatan perang dan serangkaian kejahatan kemanusiaan yang lain dalam kerusuhan 2011.
Komentar HRW
Namun, kelompok pegiat HAM internasional, Human Right Watch menganggap pengadilan ini cacat hukum. “Pengadilan ini telah diganggu pelanggaran proses pengadilan yang adil yang menjamin pengujian independen dan tidak memihak, kata Joe Stork, deputi Direktur HRW Timur Tengah dan Afrika Utara. “Korban kejahatan berat selama unjuk rasa dan pemberontakan pada 2011 layak mendapat keadilan, tapi itu hanya bisa disampaikan melalui proses yang adil dan transparan,” Stork menegaskan.
Baca juga: |
Krisis politik yang sedang berlangsung di Libya dan penurunan kondisi keamanan juga membuat kemampuan hakim untuk mengadili kasus ini secara independen dan tidak memihak patut diragukan, kata HRW. Pengadilan kejahatan serius seperti yang di sidang ini sering sangat sensitif dan memaksakan tuntutan besar pada jaksa dan otoritas lainnya. Sehingga, kewajiban untuk melindungi keamanan para saksi, korban, dan personel peradilan cenderung diabaikan.
Putusan diambil di tengah konflik bersenjata yang dikombinasikan dengan runtuhnya otoritas pemerintah pusat telah mengeliminasi penegakan hukum dan ketertiban di banyak bagian Libya. Permusuhan telah menyebabkan munculnya dua pemerintahan de facto, pemerintah yang diakui secara internasional yang berbasis di Tobruk dan al-Bayda yang menguasai sebagian besar Libya timur. Rivalnya, otoritas berbasis di Tripoli yang mengontrol sejumlah bagian barat Libya, tempat persidangan berlangsung. (AFP/bbc.com/hrw.org)
Ikuti berita kami di Facebook
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...