Anak Muda 6 Agama Ikut Kemah Lintas Agama di Sulut
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sebanyak 150 pemuda-pemudi Indonesia berkumpul di Desa Kaima, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, untuk mengikuti kegiatan Interfaith Young Camp, pada 16—20 Maret yang lalu. Meski mereka berasal dari berbagai latar belakang daerah di Indonesia, suku, dan agama, anak-anak muda ini bisa merasakan kerukunan yang nyata.
Interfaith Young Camp atau Kemah Lintas Agama diselenggarakan oleh Kemitraan PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), PKN (Protestant Kerk in Netherland) dan SAG (Sinode AM Gereja-gereja) Sulutteng. Selama lima hari itu, acara dikemas dalam bentuk diskusi, berbagai cerita dan pengalaman, permainan, outbond dan olahraga bersama. Terdapat pula malam api unggun sebagai ajang pentas seni dari seluruh kontingen.
Kegiatan ini digelar bukan semata-mata sebagai ajang perkumpulan anak-anak muda, melainkan juga sebagai sarana diskusi mengenai dinamika dan berbagai persoalan keagamaan di tanah air. Bahkan, mereka dilibatkan secara aktif untuk mencari solusi atas problematika kerukunan agama di negeri ini.
“Sebagian besar pesertanya pemuda Kristen dan Islam, namun Katolik, Konghucu, Hindu dan Budha juga ada.” ujar Nurcholish.
Adapun lembaga kepemudaan yang mengikuti perkemahan lintas agama ini adalah organisasi pemuda GMIM, GPdI, GMIST, GPIG, GKLB, GBKP, GKJ, GMIBM, Nadhatul Ulama (NU) Sulut, GERMITA, Pemuda Mesjid Sulut,GPIBT, GMIH, GKST, Mahasiswa Muslim IPDN Kampus Sulut, Pemuda Konghucu, Mahasiswa UKIT Tomohon, UPK Kristen Unsrat, PGI Wilayah Sulselbar, Mahasiswa Hindu IPDN Kampus Sulut, Pemuda Anshor, PMII, GKBP Bandung, GPIB Makasar, GKJW, Pemuda FKUB Sangihe, Depera PGI, Remaja Mesjid, dll.
Nurcholish mengatakan, sebagian besar peserta sudah pernah mengikuti acara lintas agama serupa, namun bagi sebagiannya lagi acara ini merupakan pengalaman pertama.
Dalam acara tersebut, para peserta dibagi menjadi 10 kelompok. Menariknya, setiap kelompok dibuat semajemuk mungkin, baik majemuk dari sisi agama, lembaga, maupun daerah dan suku/etnis.
Meskipun demikian, keakraban khas anak muda tetap bisa dirasakan. “Saat malam penutupan, mereka tidak mau beranjak sampai jam satu malam,” ujar Nurcholish sembari tertawa.
“Saking eratnya. (Suasana) sangat cair. Sekat-sekat agama, sekat-sekat antarlembaga tidak terlihat lagi,” lanjut peneliti Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) ini kepada satuharapan.com, Senin (23/3).
“Pada awalnya masih banyak prasangka terhadap orang lain, tetapi setelah mengikuti kemah itu, mereka merasa senang karena ternyata berinteraksi dengan orang lain itu menyenangkan.” ujar pria yang lahir pada 1974 ini.
Nurcholish berharap, acara lintas agama ini bisa menginspirasi anak muda yang lain untuk terlibat aktif dalam kerukunan agama di Indonesia, baik dalam pola pikir maupun tindakan.
“Keragaman dan kemajemukan itu tidak semestinya menjadi pembangkit konflik, tetapi justru bisa jadi pemicu rekatnya persaudaraan, keakraban antarsesama, lalu mewujudkan perdamaian,” ungkap Nurcholish.
Editor : Bayu Probo
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...