Angelina Jolie Ikut Perangi Status Tanpa Kewarganegaraan
SATUHARAPAN.COM – Aktris Amerika Serikat Angelina Jolie bersama peraih Nobel Perdamaian Archbishop Desmond Tutu mendukung kampanye organisasi internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengakhiri status tanpa kewarganegaraan yang saat ini diderita oleh sekitar sepuluh juta orang di dunia.
United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) – badan di bawah PBB yang melindungi dan memberikan bantuan kepada pengungsi - mengatakan setiap sepuluh menit bayi lahir tanpa kewarganegaraan, dan kini mereka telah meluncurkan kampanye bertajuk “I Belong’ sebagai upaya untuk mengakhiri penderitaan orang yang hidup tanpa kewarganegaraan .
“Hidup tanpa kewarganegaraan membuat orang merasa seperti berada dalam sebuah kejahatan,” kata Antonio Gutteres kepala UNHCR, seperti dikutip dari alarabiya.net, Selasa (4/11).
“Kami memiliki kesempatan bersejarah untuk mengakhiri penderitaan orang yang hidup tanpa kewarganegaraan dalam sepuluh tahun terakhir, sekaligus mengembalikan harapan jutaan orang,” dia menambahkan.
Jolie, Gutters, dan Tutu yang memimpin kampanye dengan menyerukan slogan “Sepuluh juta tanda tangan untuk merubah sepuluh juta kehidupan” dalam sebuah surat terbuka.
Sejumlah sosok ternama lain pun ikut menandatangani surat terbuka tersebut, seperti Iran Shirin Ebadi - peraih Nobel Perdamaian, penyanyi opera Barbara Hendricks, musisi Afrika Selatan Hugh Masekela, novelis kelahiran Afghanistan Khaled Hosseini, penulis buku The Kite Runner, dan model Alek Wek.
Orang yang hidup tanpa kewarganegaraan selalu ditolak hak-haknya, tidak seperti kebanyakan orang lainnya. Mereka sering hidup dalam kemelaratan dan beresiko tinggi dalam penahanan dan eksploitasi, termasuk perbudakan.
“Ini tidak dapat diterima dan merupakan sebuah penyimpangan di abad ke-21,” kata Gutters.
“Tanpa kewarganegaraan bisa diarartikan sebuah hidup tanpa edukasi dan perawatan medis, sebuah hidup tanpa kemampuan untuk bergerak secara bebas, bahkan tanpa prospek atau harapan. Tanpa kewarganegaraan itu sangat tidak berkeprimanusiaan. Kami percaya akan ada waktu untuk mengakhiri ketidakadilan ini,” dia menambahkan.
Hidup tanpa kewarganegaraan semakin memperburuk kemiskinan, menciptakan ketegangan sosial, memecah keluarga, bahkan dapat menjadi konflik.
Biasanya, orang yang mengakhiri status kewarganegaraannya memiliki berbagai alasan. Beberapa terjadi ketika negaranya pecah dan membentuk sebuah negara baru, namun ada juga yang disebabkan karena etnis atau diskriminasi agama.
Populasi orang yang hidup tanpa kewarganegaraan tertinggi ada di Myanmar, tempat di mana lebih dari satu juta etnis Rohingya menolak kewarganegaraan. Sedangkan negara seperti Pantai Gading, Thailand, Nepal, Latvia, dan Republik Dominika, ikut berada di peringkat teratas.
“Tanpa kewarganegaraan, Anda tidak lebih baik dari hewan liar, mengembara dari satu tempat ke tempat lain,” kata Maryam Draogo, yang baru-baru ini memperoleh kewarganegaraan Pantai Gading.
“Anda tidak berada dimana-mana,” dia menambahkan.
PBB telah mengingatkan konflik di Suriah dapat menimbulkan populasi orang tanpa kewarganegaraan baru. Lebih dari 50.000 bayi telah lahir dari wanita pengungsi Suriah yang melarikan diri ke negara tetangga. Banyak dari mereka yang tidak memiliki akta kelahiran, hal tersebut dapat memeberi mereka masalah serius di kemudian hari.
Pergeseran Sikap Internasional
Lebih dari sepertiga orang yang tidak memiliki kewarganegaraan di dunia ini adalah anak-anak. Maka, jiki kelak mereka memiliki anak-anak juga, generasi tersebut tentu hidup tanpa kewarganegaraan juga, dengan kata lain mengabadikan krisis.
"Banyak yang jatuh ke dalam hukum pasir hisap dimana mereka dilahirkan, menghabiskan sebagian besar hidup mereka untuk memerangi ketidaksetaraan yang mereka warisi, dan sering menceritakan kesakitan mereka untuk generasi mendatang," kata UNHCR dalam sebuah laporan pada Selasa (4/11).
Namun Guterres mengatakan ada tanda-tanda pergeseran sikap internasional terhadap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Perubahan legislatif dan kebijakan telah memungkinkan lebih dari empat juta orang mendapatkan status kewarganegaraannya dalam dekade terakhir.
Sekitar 300.000 warga negara Bihari di Bangladesh telah diizinkan untuk menjadi warga negara setelah 2008.
Di Pantai Gading, reformasi hukum yang baru-baru ini terjadi telah memberi kesempatan pada penduduk setempat untuk memperoleh kewarganegaraan.
Kampanye ini bertepatan dengan peringatan 60 tahun pertama dari dua perjanjian PBB yang berkaitan dengan orang-orang tanpa kewarganegaraan.
Ini termasuk rencana kesepeluh yang tujuan utamanya untuk menyelesaikan krisis kewarganegaraan dan memastikan tidak ada anak lahir tanpa kewarganegaraan, serta menghapus diskriminasi gender dari hukum kewarganegaraan.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...