Loading...
SAINS
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 13:44 WIB | Sabtu, 16 Februari 2019

Art For Orangutan #3: A Good Life for Orangutan

Art For Orangutan #3: A Good Life for Orangutan
Lukisan berjudul “Terbunuh” (cat minyak di atas kanvas – 70x100 cm – 2019) karya Badri Hurmansyah dalam pameran seni rupa Art for Orangutan #3 di Jogja National Museum Yogyakarta, 14-17 Februari 2019. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Art For Orangutan #3: A Good Life for Orangutan
Thrive upon my bon – stoneware – 30x30x40 cm – Antionette O’Brien – 2019.
Art For Orangutan #3: A Good Life for Orangutan
Lapak karya-merchandise dalam AFO #3.
Art For Orangutan #3: A Good Life for Orangutan
Harapan – wool/cloth/wire/LED/glue/wood dust – 38x15x11 cm – Rifka Mahmuda – 2018.
Art For Orangutan #3: A Good Life for Orangutan
Ruang Hidup yang Dirampas – hardboard cut di atas kertas – 61x81 cm – Fitri Dk – 2019.

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pameran seni rupa yang mengangkat seputar perlindungan terhadap satwa liar khususnya oangutan (Pongo spp) kembali digelar untuk ketiga kalinya. Perhelatan berlangsung 14-17 Februari 2019 di Kompleks Jogja National Museum (JNM), dibuka Kamis (14/2) malam.

Program utama berupa pameran Art for Orangutan (AFO) yang mengangkat tajuk A Good Life for Orangutan melibatkan sedikitnya 205 seniman yang sebagian besar seniman-perupa muda dengan total 232 karya dalam 2-3 matra.

“Menarik ketika sebuah pameran seni rupa memberikan kebebasan bagi seniman untuk mengeksplorasi tema yang ada tanpa melalui proses kurasi. Ini menjadi dua momen penting: pameran seni sekaligus aktivitas konservasi,” jelas penulis muda seni rupa Huhum Hambilly dalam pembukaan pameran, Kamis (14/2) malam.

Pertama kali AFO digelar pada tahun 2014 dengan mengangkat tema Life of Umbrella Species mempresentasikan 96 karya dilanjutkan dengan AFO #2 pada tahun 2016 dalam tajuk Menolak Punah dengan 122 karya.

AFO # 3 yang merupakan inisiasi antara ruang kolektif Giginyala dan Centre for Orangutan Protection (COP) mempresentasikan karya seniman dalam dan luar negeri. Isu-isu seputar deforestasi akibat ekspansi perkebunan sawit maupun aktivitas lainnya yang berdampak pada menyempit bahkan menghilangkan habitat asli satwa liar yang terjadi di berbagai kawasan hutan di Indonesia menjadi ancaman serius bagi keberadaan satwa tersebut hari ini dan di masa datang. Lebih dari itu, laju deforestasi di Indonesia menjadi ancaman serius bagi sumber keananekaragaman hayati yang ada di dalamnya.

Dalam catatan pameran, Program Manager Mongabay Indonesia Ridzki Rinanto Sigit menuliskan bahwa tidak ada yang mengetahui secara persis jumlah orangutan saat ini. Ada yang membilang angka di puluhan ribu untuk orangutan kalimantan, beberapa ribu untuk orangutan sumatera, dan beberapa ribu ekor orangutan tapanuli.

“Satu yang pasti, sekarang orangutan-orangutan itu tidak lagi hidup menyatu di rimba raya, namun di kantung-kantung hutan yang terjadi saat hutan terpisah belah oleh wilayah dan lahan budidaya manusia,” jelas Ridzki.

Lebih lanjut Ridzki menjelaskan orangutan adalah salah satu simbol/penanda dari keanekaragaman hayati alam nusantara. Mereka harus tetap ada, dan tidak boleh dibiarkan punah.

Konflik Manusia dengan Orangutan dan Tantangannya di Masa Datang

Dihubungi terpisah oleh satuharapan.com Sabtu (16/2), pakar konservasi orangutan pada Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, Ditjen KSDAE, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Ade Soeharso menjelaskan orangutan merupakan salah satu spesies khas Indonesia yang merupakan bagian penting dari kekayaan hayati. Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang hanya hidup di Sumatera dan Borneo, sedangkan tiga kera besar lain yaitu gorilla, simpanse, dan bonobo hidup di Afrika.

Saat ini, diketahui ada tiga spesies orangutan yaitu orangutan sumatera (Pongo abelii), orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), dan orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis). Ketiganya digolongkan dalam kategori Critically Endangered atau spesies yang kritis oleh IUCN Red List tahun 2017. 

“Berdasarkan hasil Population Habitat Viability Assessment (PHVA) orangutan tahun 2016, diperkirakan di Indonesia terdapat 60.060 individu orangutan yang tersisa di Sumatera dan Kalimantan di habitat seluas 15.640.754 ha. Hasil PHVA 2016 juga menunjukkan bahwa populasi orangutan di Indonesia tersebar di 29 metapopulasi. Adapun berdasarkan analisis keberlanjutan hidup populasi orangutan, diperkirakan hanya 23 persen metapopulasi di Indonesia yang akan lestari dalam 100-500 tahun ke depan, jika ancaman tidak berkurang atau hilang akibat dari konversi hutan pada habitat orangutan menjadi fungsi lain,” jelas Ade Soeharso, lulusan Konservasi Sumberdaya Hutan-IPB yang menyelesaikan doktoralnya di Departeman Antropologi-Universitas Indonesia.

Akbat konflik antara manusia dan orangutan, Ade Soeharso menjelaskan hingga tahun 2018, sekitar 1.100 orangutan harus dikonservasi secara ex-situ di pusat-pusat rehabilitasi. Hal tersebut bukan hanya karena orangutan-orangutan tersebut mengalami cacat fisik, gangguan psikis, dan masalah kesehatan sehingga perlu direhabilitasi sebelum dilepasliarkan, tetapi juga karena sulitnya mencari lokasi pelepasliaran yang sesuai.

Tantangan terhadap konservasi orangutan ex-situ juga muncul karena sekitar 10 persen dari orangutan-orangutan yang berada di pusat-pusat rehabilitasi tersebut dalam kategori unrelasable (tidak layak dilepasliarkan), sehingga perlu penanganan khusus dengan membangun suaka orangutan demi kesejateraan mereka.

“Tantangan besar lain dalam upaya konservasi orangutan Indonesia adalah masih adanya perburuan, perdagangan, dan penyelundupan. Ini tentu perlu kerja sama semua pihak lintas kementerian/instansi bahkan lintas negara agar tindakan kriminal tersebut bisa dicegah. Harus diakui bahwa kita juga menghadapi tantangan besar dalam konservasi orangutan khususnya di bidang data penelitian yang masih kurang, SDM, dan anggaran yang terbatas,” papar Ade Soeharso lebih lanjut.

Ade Soeharso yang telah belasan tahun meneliti orangutan dan habitat aslinya, salah satunya di kawasan hutan di Kabupaten Kota Waringin Barat dan Lamandau, berharap dengan telah disusunnya dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Tahun 2019—2029, dapat menjadi acuan bagi semua pihak yang bekerja untuk konservasi orangutan dan habitatnya, khususnya dalam hal penyusunan rencana pembangunan dan pengembangan wilayah di kabupaten/kota dan provinsi, agar dapat memperhatikan dokumen ini sehingga pembanguan dapat selaras dengan upaya konservasi orangutan dan habitatnya.

Program Art for Orangutan #3 berlangsung hingga 17 Februari 2019di Kompleks JNM Jalan Ki Amri Yahya No 1, Gampingan-Yogyakarta. Selain pameran beberapa program dalam AFO #3 di antaranya screening film, book review, live drawing, lomba menggambar dan mewarnai, serta lapak karya-merchandise. Pada Minggu (17/2) digelar diskusi mengangkat tema animal, art, and activism menghadirkan direktur COP Ramadhani dan musisi Gede Robi (Navicula).

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home