AS, Snowden dan Kegagalan Berbagi Nilai
SATUHARAPAN.COM – Kasus penyadapan pembicaraan telepon dan email oleh Badan Keamanan Nasional (National Security Agency / NSA) Amerika Serikat telah menjadi skandal internasional yang serius. Sejumlah negara mengecam tindakan AS itu, dan belakangan mulai disebut-sebut Inggris serta Australia juga terlibat.
Kasus ini dimulai dengan pembocoran informasi praktik penyadapan NSA oleh mantan karyawannya, Edward Snowden. Dia kemudian pergi ke Hong Kong dan dengan berbagai cara akhirnya bersembunyi di Moskow, setelah gagal untuk menuju ke sejumlah negara di Amerika Latin yang menawarinya suaka.
Di Moskow, Snowden memperoleh suaka sementara, dan dari sana cerita tentang penyadapan oleh NSA makin tersebar dan membuat marah sejumlah negara, termasuk sekutu AS sendiri. Yang paling gencar adalah Jerman, di mana menurut Snowden, telepon Kanselir Angela Merkel tak luput dari penyadapan.
Jerman termasuk yang gigih, bukan hanya mengecam tindakan AS yang dinilai tak pantas terhadap negara sekutunya, tetapi juga terus mengorek informasi dari Snowden. Bahkan pria berumur 30 tahun ini menyatakan siap untuk memberikan testimoni.
Banyak pihak memprediksi bahwa pengungkapan yang lebih banyak dan detil dari Snowden akan menjadi bencana bagi AS. Seorang anggota parlemen AS bahkan telah menyerukan agar tidak ada grasi bagi dia. Bagi AS, Snowden harus ditangkap dan diadili di AS.
Sikap Rusia yang menolak mengekstradisi, bahkan kemudian memberi suaka sementara juga sempat menimbulkan ketegangan hubungan diplomasi kedua negara. Namun beberapa hari lalu Snowden justru menunjukkan sikapnya yang lebih tegas dengan mengatakan bahwa mengungkap kebenaran bukanlah kejahatan.
Kecaman terhadap praktik penyadapan oleh NSA telah mengundang masalah serius bagi AS. Berbagai negara, termasuk Indonesia mengekspresikan keberangannya atas tindakan ini. Bahkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) juga risau karena praktik yang tercela ini.
Apa hal yang menjadi masalah serius dalam kasus ini adalah bahwa Amerika sendiri mengingkari keyakinannya. Negara ini paling vokal tentang hak asasi manusia dan demokrasi, dan menggunakan kekuatan ekonomi dan militernya untuk menekan berbagai negara menerapkan prinsip-prinsip ini. Embargo, bahkan serangan militer digunakan untuk tindakan diplomasinya yang selama ini disebut menempatkan diri sebagai “polisi dunia.”
Dengan dalih berbagi nilai-nilai global dan universal AS bahkan menjalankan embargo ekonomi, dan menggunakan PBB untuk mendukungnya. Kuba, Iran, Korea Utara adalah contoh negara yang masih mendapatkan sanksi embargo yang dipimpin AS karena negara itu tidak mempraktikkan demokrasi dan standar HAM. Negara lain yang ternah mengalami hal serupa adalah Libya dan Myanmar. Indonesia pun pernah mengalami untuk kebutuhan peralatan militer.
Serangan AS ke Afganistan, dan Irak juga atas nama penegakan prinsip tersebut. Bahkan sebelumnya aksi militer AS di Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tenggara serta di Amerika Latin juga dalam semangat yang sama. Aksi-aksi militer ini telah menimbulkan kecaman di dalam AS sendiri maupun dunia internasional, karena pelanggaran HAM juga terjadi selama aksi, bahkan seperti di Irak kehidupan masyarakat sipil belum bisa dipulihkan.
Praktik penyadapan adalah pelanggaran yang serius juga terhadap HAM. Dan pada tingkat ini belum sampai pengungkapan tentang bagaimana informasi itu digunakan oleh AS, yang kemungkinan juga bisa memperdalam pelecehan terhadan hak-hak sipil.
Hal ini mencerminkan praktik yang ambigu dan paradoks yang dilakukan oleh AS. Negara yang berdiri dengan suara lantan tentang demokrasi dan HAM, telah menunjukkan perilaku yang yang justru melecehkan demokrasi dan HAM. Dalam konteks ini, AS gagal dalam menunjukkan pelopor dalam berbagi nilai universal dan global bagi tatanan dunia. Karena dia sendiri mengingkarinya.
Snowden dengan tindakannya membongkar informasi peka ini memang menimbulkan kemarahan – bahkan juga kecemasan - bagi pemerintah AS. Namun hal ini bisa menjadi berkah bagi dunia untuk membongkar borok dalam tata pergaulan internasional ini, dan menjadi pijakan untuk membangun dunia baru dalam relasi yang saling menghormati.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...