Azyumardi: Pemerintah Harus Tangkal Sektarianisme
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sektarianisme di Indonesia tidak serumit di Timur Tengah. Tetapi, tidak bisa dibiarkan selesai dengan sendirinya. Itulah kesimpulan Prof Azyumardi Azra memandang kondisi sosial Indonesia.
Menurut Guru Besar Sejarah UIN Jakarta, jika kita mengamati berita atau running texts TV berita di tanah air, selain dapat mengikuti perkembangan politik Indonesia menjelang Pemilu Legislatif 9 April dan Pemilu Presiden 9 Juli 2014, juga sering ditemukan berbagai tindakan kekerasan sektarianisme di banyak negara Timur Tengah. Aksi kekerasan itu biasanya mengambil bentuk pengeboman rumah ibadah, makam tokoh agama dan tempat suci lain, pasar dan jalan raya. Aksi sektarianisme hampir tidak pernah henti sampai detik ini; dan bahkan cenderung meningkat setiap akhir pekan—Kamis sore sampai Sabtu malam, hari libur di Timur Tengah.
Pria yang dianugerahi gelar bangsawan oleh Ratu Inggris ini memandang bahwa sektarianisme keagamaan kian meruyak di Timur Tengah sejak bermulanya transisi ke demokrasi. Seiring dengan kian menguatnya ‘Arab Spring’ yang mula-mula terjadi di Tunisia pada Desember 2010 dan menyebar ke banyak negara Arab, sektarianisme keagamaan juga makin mewarnai pergumulan politik. Meski gelombang demokrasi di Dunia Arab telah memasuki tahun ketiga, belum terlihat tanda menyurutnya sektarianisme agama, sosial dan politik.
Bagi Azyumardi, sektarianisme agama dan sosial-politik juga terlihat meningkat di Indonesia sejak demokrasi liberal diterapkan pada 1999. Khusus sektarianisme intra dan antar-agama di tanah air, meski masih sporadis dan isolatif bukan tidak perlu dicermati. Dengan konsolidasi demokrasi yang belum juga solid, kelemahan penegakan hukum, dan penyebaran pemahaman dan praksis agama trans-nasional di tengah keragaman intra dan antar-agama Indonesia, boleh jadi sektarianisme agama dan sosial-politik terus bertahan—jika tidak meningkat di negeri ini.
Sektarianisme Berlapis
Menurut anggota Council on Faith, World Economic Forum, Davos ini bisa dipastikan, tidak ada negara dan masyarakat yang bebas dari perbedaan aliran agama, sosial, budaya dan politik. Masalahnya kemudian, perbedaan-perbedaan itu dapat meningkat menjadi sektarianisme yaitu “kebencian intra dan antar-agama atau antar-mazhab, aliran, denominasi agama; antar kelas sosial; antar kelompok etnis dan budaya; dan juga di antara faksi-faksi dalam kekuatan dan gerakan politik”. Sektarianisme dapat muncul dalam berbagai bentuk mulai dari yang sederhana sekadar pemberian restu dari kalangan elit agama dan politik pada sikap sektarianisme; pembenaran tindakan kekerasan yang berbau sektarianisme; sampai kepada perilaku dan kebijakan politik yang mengandung sektarianisme.
Sektarianisme yang kini bernyala-nyala di Timur Tengah bukan hal baru. Secara sosio-historis kawasan ini penuh riwayat sektarianisme agama, sosial-budaya dan politik yang berlapis-lapis sejak masa kemunculan kekristenan yang berhadapan dengan Yudaisme, ketika Yesus Kristus dan ajarannya dianggap menyimpang dari agama Yahudi. Sektarianisme intra agama Yahudi juga berlanjut hingga kini antara Yahudi Ortodoks dengan Yahudi Reformasi. Begitu juga intra-Kristen yang mencakup denominasi amat banyak, khususnya antara abad 12 sampai 17—pasca-masa Reformasi Gereja yang memunculkan Protestanisme.
Jelas, semangat sektarianisme antara Kristen dan Islam menjadi faktor penting terjadinya sembilan kali Perang Salib antara 1096 sampai 1272 untuk pembebasan Tanah Suci dari kekuasaan Muslim. Konflik antara Muslim dan kaum Kristiani juga masih berlanjut di Semenanjung Iberia (Spanyol) sejak kekuasaan Islam tertancap sejak 711 yang berakhir lewat reconquista oleh gabungan kekuatan Gereja Katolik pada 2 Januari 1492 dengan inquisisi terhadap kaum Muslim dan Yahudi.
Sektarianisme bernyala-nyala intra-Islam berkembang sejak masa Sahabat Nabi Muhammad ketika kaum Khawarij yang muncul menjelang akhir Perang Siffin (657 M, antara pasukan Ali ibn Abi Thalib versus Mu’awiyah ibn Abi Sufyan) melakukan aksi kekerasan terhadap kaum Muslim lain yang berbeda pandangan dengan mereka. Selanjutnya skisma dan sektarianisme antara Sunni dan Syiah yang juga muncul pasca Perang Siffin berlanjut hingga kini di banyak kawasan Timur Tengah.
Dengan beban sosio-historis sektarianisme berlapis-lapis, tidak heran kalau bara kebencian atas dasar perbedaan agama, paham, aliran, dan denominasi yang kemudian berbaur dengan sektarianisme sosial, budaya dan politik terus berlanjut di Timur Tengah. Berganda dengan krisis politik, sosial, dan ekonomi yang tidak terpecahkan, sektarianisme menjadi sangat sukar diatasi di kawasan ini, dan terus mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa, harta, dan benda.
Indonesia sepanjang sejarah tidak mewarisi sektarianisme dalam kadar berlapis seperti di Timur Tengah. Padahal lapisan keagamaan dan sosial Indonesia relatif lebih kompleks dibandingkan Timur Tengah. Secara keagamaan, Indonesia mencakup tidak hanya Islam dan Kristen dengan berbagai mazhab, aliran dan denominasi, tetapi juga Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, dan agama-agama lain yang belum mendapat pengakuan resmi dari negara. Secara sosial, menurut data BPS 2010, terdapat 1.128 suku bangsa atau kelompok etnis di Indonesia.
Mempertimbangkan realitas keragaman intra dan antar-agama serta kelompok etnis, potensi sektarianisme juga sangat besar di tanah air. Meski tidak serumit sektarianisme di Timur Tengah, sektarianisme di Indonesia juga bisa berlipat dan berkombinasi di antara sektarianisme agama dengan sektarianisme etnis, dan bahkan dengan sektarianisme sosial-politik. Dan ini jelas dan menjadi ancaman serius bagi keamanan nasional sepanjang tahun Pemilu 2013-2014.
Karena itu masalah sektarianisme di Indonesia tidak bisa diperlakukan secara taken for granted; atau tidak perlu dipandang serius; atau diasumsikan bisa baik dengan sendirinya dalam perjalanan waktu. Memandang sektarianisme yang cenderung meningkat dalam dasawarsa terakhir, pandangan dan sikap seperti itu sangat berbahaya bagi masa depan Indonesia yang aman, damai, bersatu dan utuh.
Dalam konteks itu, perlu peningkatan kewaspadaan dan keseriusan seluruh pemangku kepentingan (stake holders) untuk mencegah peningkatan sektarianisme. Para pemimpin agama, sosial, dan politik sepatutnya menyadari dan melakukan berbagai upaya melalui institusi masing-masing mencegah berlanjutnya sektarianisme dan sekaligus memperkuat harmoni dan saling menghargai perbedaan yang ada di antara berbagai kelompok intra dan antar agama, kelompok etnis, dan faksi politik.
Anggota Dewan Penasihat UN Democracy Fund dan International IDEA ini menyimpulkan bahwa di atas semua itu, pemerintah sepatutnya lebih bertekad bulat (firmer) dalam prevensi proliferasi sektarianisme dalam masyarakat. Sepatutnya berbagai ketentuan perundangan dan aparat negara yang dapat menangkal sektarianisme difungsikan dengan sungguh-sungguh. Selain itu upaya penciptaan harmoni dan saling penghargaan di antara berbagai kelompok masyarakat perlu lebih diberdayakan melalui pendidikan dan sosialisasi empat pilar negara-bangsa Indonesia; UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Prof Azyumardi Azra berbicara pada talk show oleh satuharapan.com, Kamis (3/4) bertema “Intoleransi dalam Kehidupan Politik, Sebuah Realitas di Indonesia.” Acara bertempat di gedung Sinar Kasih, di kawasan Cawang, Jakarta Timur. Ia juga akan berbagi konteks demokrasi dan suburnya intoleransi penganut agama di Indonesia.
Jakbar Tanam Ribuan Tanaman Hias di Srengseng
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Barat menanam sebanyak 4.700...