Bagaimana Jika Yesus Salah Kutip Ayat?
SATUHARAPAN.COM – Bagaimana jika ternyata Yesus salah kutip Alkitab? Andrew Wilson— penatua di Kings Church di Eastbourne, Inggris. Dia juga penulis buku The Life You Never Expected—menulis jawaban menarik. Menurutnya, ada maksud tertentu saat Yesus salah kutip kisah Daud.
Dalam tulisan yang dimuat di christianitytoday.com, Selasa (1/9) ia menulis, Semua kita tergoda untuk mendekati bagian Alkitab yang kontradiktif—teks yang tampaknya bertentangan satu sama—dengan cara sembrono atau lancang. Di salah satu ujung spektrum adalah dengan skeptis mengurangi kontradiksi dengan menyebutnya sebagai inkoherensi tekstual dan kesalahan manusia. Di ujung lain adalah mereka dengan komitmen yang lebih evangelis, yang dengan gigih menyelidiki buku-buku dan situs untuk menyelaraskan ketidakcocokan teks. Setelah mereka menemukan satu, mereka menghela napas dan melanjutkan seolah kontradiksi itu tidak ada artinya lagi bagi kita. “Masalah” telah “diselesaikan”.
Tetapi, jika kita ingin mengambil Alkitab secara serius, kita harus bertanya mengapa ada “kontradiksi”. Mengapa Roh Kudus—yang menginspirasi Alkitab—seperti membiarkan kalau tidak dapat dikatakan menyebabkan teks-teks “salah” itu ditulis? Apa yang mereka ungkapkan? Dan apa yang mungkin hilang jika kita “menyelesaikan” masalah? Kita, setelah semua itu, mendengarkan suara Tuhan, tidak sekadar memecahkan teka-teki.
Beberapa contoh yang lebih jelas daripada yang lain. Paradoks kedaulatan ilahi dan tanggung jawab manusia tidak dimaksudkan untuk diselesaikan melainkan dipertahankan. Alkitab menunjukkan bahwa Allah dan kita bekerja dalam keselamatan kita. Apakah Tuhan tiga atau satu? Haruskah kita atau kita harus tidak menjawab orang bebal menurut kebodohannya? Ya (Ams. 26: 4-5). Kami menyadari ini dan menerimanya sebagai dasar untuk iman Kristen.
Namun ketika ada perbedaan sejarah dalam teks Alkitab, kita berusaha melakukan pemecahan masalah. Ketika kita menemukan bahwa Yesus memiliki dua silsilah yang berbeda, atau bahwa perumpamaan pesta pernikahan memiliki dua akhiran yang berbeda, kita lupa bahwa kita mendengarkan sebuah simfoni ilahi. Sayangnya, daripada kita menerima itu sebagai bagian berbeda yang dimainkan berbagai musisi, kami berusaha memaksanya untuk bermain dengan not yang sama.
Salah satu perbedaan favorit saya adalah “kesalahan” Yesus dalam Markus 2. Dalam bagian ini, orang-orang Farisi mengkritik Yesus karena membiarkan murid-Nya memetik gandum pada hari Sabat. Menanggapi itu, Yesus menjelaskan bahwa ia dan para murid melakukan yang dilakukan Daud dan anak buahnya ketika mereka makan roti sajian khusus imam pada waktu Abyatar imam besar (Mrk. 2: 25-26). Masalahnya adalah 1 Samuel 21 memberi tahu kita bahwa Ahimelekh, bukan anaknya Abyatar, yang adalah imam besar pada waktu Daud dan anak buahnya makan roti suci. Entah Yesus melakukan kesalahan atau Markus yang melakukan.
Pakar Alkitab, Bart Ehrman mengatakan bahwa ketika ia menemukan perbedaan ini di seminari, itu membuatnya meninggalkan kekristenan. Pendeta progresif asal Britania Steve Chalke membuat kisah ini sebagai pembukaan salvo dalam sebuah debat dengan saya tentang kebenaran Alkitab. Orang Kristen yang tak terhitung jumlahnya, di sisi lain, setelah melihat masalah, telah bergegas untuk studi mereka Alkitab atau sumber lain di mana mereka menemukan, lega, bahwa frasa Yunani epi Abyatar bisa berarti “dalam kisah tentang Abyatar” daripada “di masa Abyatar.” “Ini dia. Pasti itu,” mereka berteriak. “Masalah dipecahkan. Lanjut ke Markus 3.”
Namun, ada hal jauh lebih penting dalam Markus 2. Argumen Yesus bukanlah bahwa tentang ia menyebut nama yang tepat dalam Perjanjian Lama saat Ia makan roti pada hari Sabtu. Maksudnya adalah bahwa Daud, raja sejati Israel yang ditunggu-tunggu dan teman-temannya diizinkan makan roti suci hari itu. Yesus menafsirkan tindakannya melalui kisah raja terbesar Israel. Dia mengatakan, dalam cara yang samar seperti yang ia sering lakukan, “Saya adalah Daud. Orang-orang ini adalah orang-orang saya. Sehingga mereka bisa makan apa yang mereka inginkan.”
Jadi Yesus adalah Daud, raja Israel sejati, dan murid-murid adalah sekutunya. Tapi, mereka bukan satu-satunya karakter dalam cerita. Herodes adalah Saul, raja t yang telah bergeser dari Tuhan dan sekarang ingin membunuh para ahli waris takhta. Yohanes Pembaptis adalah Samuel, nabi yang berapi-api yang mempersiapkan jalan bagi raja baru dan menegur yang lama. Yudas adalah Doeg orang Edom, pengkhianat. Dan Abyatar? Dia adalah keturunan Imam Eli, anggota terakhir dari garis imam tua, yang akhirnya dihapus dari imamat yang akan membuktikan firman Tuhan yang sejati melalui Samuel (1 Raj. 2:27).
Semua ini berarti bahwa Yesus menyebutkan Abyatar bukan Ahimelekh untuk alasan yang baik. Dia mengatakan, “Saya Daud, ini adalah teman-teman saya, dan para imam saat ini adalah Abyatar. Mereka bertanggung jawab sekarang, tapi hanya dalam beberapa tahun imamat mereka akan berakhir, seperti Abyatar ini. Dan kerajaanku akan dibentuk, seperti Daud.”
Saya pikir itu indah. Roh Kudus tidak menempatkan perbedaan dalam Alkitab untuk menyediakan bahan bakar untuk skeptis, kerja bagi komentator, atau menjengkelkan orang Kristen evangelis. Dia melakukannya untuk membuat kita berpikir, melakukan pencarian, perenungan, membaca, belajar—dan akan pernah diisi dengan kekaguman. (christianitytoday.com)
Ikuti berita kami di Facebook
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...