Bahaya di Balik Masalah Gubernur Jakarta
SATUHARAPAN.COM - Setelah Joko Widodo mengundurkan diri sebagai Gubernur Jakarta (dan menjadi Presiden Indonesia), mengapa pelantikan Pelaksana Tugas Sementara Gubernur dan juga Wakil Gubernur, Basuki Tjahja Purnama, terus dimasalahkan?
Ada dua pihak di Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), di mana satu pihak menghendaki Basuki dilantik, pihak lain masih berusaha menjegal Basuki. Kelompok ini terbelah oleh irisan yang hampir sama dalam persaingan pemilihan presiden. Bahkan kelompok kedua ini berusaha menggunakan hak interpelasi.
Kekacauan Hukum
Masalah ini muncul terkait beberapa faktor. Yang Pertama adalah karena dalam sepuluh tahun ini keluar produk hukum yang berkaitan dengan pemerintah daerah dan kepala daerah yang makin membingungkan. Undang-undang yang ada mengandung logika yang berbeda-beda dan bertentangan, khususnya posisi kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Pemilihan kepala daerah langsung atau tidak langsung, dan pengisiannya menggunakan rezim pemilihan langsung atau tidak langsung. Hal ini mencerminkan pertentangan adantara UU Pilkada dan UU yang mengatur Jakarta sebagai Ibukota Negara.
UU No 22 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dan menyebutkan bahwa ketika gubernur berhenti Wakil Gubernur tidak serta merta menggantikannya (Pasal 50 ayat (1).
Logika ini ambigu, karena jabatannya wakil, tetapi tidak otomatis menggantikan secara penuh, sementara jabatan itu bukan dalam fungsi yang berbeda. Lalu UU itu mengatur bagaimana mengisi jika terjadi kekosongan dalam jabatan tersebut melalui pemilihan di DPRD.
Sementara untuk Gubernur Jakarta, ada aturan lain yang berlaku, yaitu UU No 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibukota negara esatuan Republik Indonesia. UU tersebut menyatakan: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dipimpin oleh satu orang Gubernur, dibantu oleh satu orang Wakil Gubernur yang dipilih secara langsung melalui pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Munculnya UU Pilkada yang baru dari DPR di mana kepala daerah dipilih oleh DPRD, yang akhirnya digantikan dengan Perppu, menunjukkan bahwa ada kekacauan hukum. Juga ketentuan yang rumit dalam kaitan kepala daerah berhalangan menjalankan tugas yang diatur oleh UU No 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah.
Merampas Kedaulatan Rakyat
Munculnya UU baru yang berkaitan dengan pemerintah daerah dan pemilihan kepala daerah makin dikacaukan oleh munculnya rezim di legislatif yang ingin merampas kembali kedaulatan rakyat yang diamanatkan oleh konstitusi dan menjadi agenda penting reformasi 1998.
Wakil kepala daerah tidak serta merta menggantikan kepala daerah yang berhalangan, meskipun logika ini naif, mulai dipaksakan muncul sebagai ketentuan baru, bahkan belakangan kepala daerah akan dipilih kembali oleh DPRD.
Kasus Jakarta, khususnya terhadap Basuki, akan menjadi batu ujian penting apakah reformasi kita akan terus dibusukkan, di mana kedaulatan rakyat dirampas. Dalam hal ini melalui pemaksaan untuk menentukan pengganti Joko Widodo hanya oleh 106 orang yang duduk di DPRD, bahkan hanya sebagian dari mereka.
Situasi ini mencerminkan pembusukan demokrasi yang terjadi di DPR mulai menular ke daerah. Ini bahaya yang makin nyata terhadap demokrasi yang tengah dibangun di Indonesia.
Politik Identitas
Penolakan kepada Basuki oleh kelompok tertentu karena agama, dan etnisnya, bukan karena kapasitasnya untuk jabatan itu, adalah bukti adanya politik identitas, bahkan politik sektarian yang terus digunakan oleh politisi di negara ini.
Politik identitas selalu membahayakan demokrasi, bahkan sering dilakukan dengan seolah-olah berdasarkan prinsip demokrasi. Sebab, selalu mengabaikan penghormatan hak asasi manusia dan sesamaan kedudukan hukum bagi setiap warga negara. Dua hal itu merupakan inti demokrasi yang tidak bisa dihilangkan.
Bahkan mereka mencari-cari alasan dengan mengritiknya sebagai gagal dalam menjalankan tugas. Agak mencengangkan ketika pernyataan yang sebaliknya justru keluar dari warga masyarakat pada umumnya.
Wajah ini muncul dengan nyata di mana kelompok tertentu di DPRD DKI Jakarta menggunakan berbagai aturan dan UU untuk mencegah Basuki dilantik sebagai Gubernur Jakarta. Padahal UU yang digunakan adalah produk dari anggota legislatif yang tengah merampas kedaulatan rakyat.
Merampas Agenda Reformasi
Sejumlah kepala daerah, termasuk Joko Widodo (ketika sebagai Gubernur Jakarta) dan Basuki, yang menjalankan agenda pembangunan untuk rakyat, selalu menghadapi tantangan yang tidak mudah. Hal ini terjadi di Jakarta, Surabaya, Bandung, Jawa Tengah, Banyuwangi, dan kota lain.
Penentang mereka terutama adalah pihak-pihak yang paling dekat, yaitu birokrasi dan politisi di Dewan. Kepala daerah yang ‘’tunduk’’ akan jatuh pada jerat korupsi, yang sekarang tercatat melibatkan separoh lebih kepala daerah. Sementara kepala daerah yang ‘’bersih’’ akan terus ‘’diganggu.’’
Masalahnya, agenda reformasi yang dijalankan kepala daerah yang bekerja dengan benar memang harus ‘’menyingkirkan benalu’’ yang selama ini ada di pemerintahan. Mereka adalah pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari pemerintahan yang tidak akuntabel.
Perubahan yang dijalankan membuat para ‘’mentalitet benalu’’ di pemerintahan dan koleganya kegerahan. Padahal yang terjadi adalah pemerintahan yang benar tengah mengembalikan apa yang menjadi milik rakyat kembali kepada rakyat. Masalah ini sesungguhnya adalah proses reformasi yang sesungguhnya yang tengah dibelokkan oleh politisi oportunis dan ‘’reformasi gadungan.’’
Di-Ahok-kan
Masalah yang tengah dihadapi pemeritah Jakarta, pada dasarnya bukan masalah Basuki Tjahaja Purnama, yang biasa disebut Ahok. Ini bisa terjadi (atau akan) terjadi di daerah lain, dan dialami oleh kepala daerah, bahkan presiden, yang dengan gigih menjalankan tugas mewujudkan agenda reformasi.
Tahun 1998 adalah awal reformasi, agenda mewujudkan reformasi adalah sekarang. Sayangnya sepuluh tahun terakhir, mentalitas status quo pemerintah Orde Baru memperoleh momen membangun kekuatan kembali, dan wajah itu makin nyata sekarang. Akibatnya, pemerintah daerah yang pro rakyat terus diserang.
Kasus di Jakarta harus dilihat sebagai bagian dari tantangan untuk mewujudkan reformasi yang sesungguhnya, dan kemungkinan akan ada banyak kepala daerah yang ‘’di-Ahok-kan.’’ Mereka yang takut ‘’di-Ahok-kan’’ akan terjebak kembali pada pemerintahan yang korup. Maka, semoga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menangkap mereka.
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...