Buku: Apa Arti Yesus Kristus untuk Dunia Kini?
SATUHARAPAN.COM – James Carroll—jurnalis dan penulis buku laris—menulis buku tentang Yesus Kristus yang menantang kita untuk melihat ulang kehidupan laki-laki dari Nazaret ini terkait dengan kehidupan di dunia modern. Berikut adalah review yang ditulis Brook Wilensky-Lanford.
Jangan tertipu! Buku ini bukan tentang teori lain penelitian Yesus secara historis—atau populer disebut Yesus Sejarah. Juga bukan penerapan secara universal kehidupan Kristus dalam dunia plural.
Judul dan mayoritas isi buku karya James Carroll sangat informatif dan sangat pribadi dalam membaca ulang tradisi Yesus mengikuti pertanyaan teolog anti-Nazi Jerman Dietrich Bonhoeffer. Ia bertanya dari sel penjaranya selama Perang Dunia II: “Siapa Kristus sebenarnya bagi kita hari ini?”
Artinya, di dunia tempat Auschwitz dan Hiroshima telah mengungkapkan bahwa kita manusia memiliki kecenderungan dan kekuatan untuk memusnahkan diri kita sendiri, bagaimana mungkin kita bisa mempertahankan iman dalam Yesus Kristus secara tradisi?
Carroll, penulis buku laris Constantine’s Sword dan kolumnis reguler untuk The Boston Globe menjawab dengan kejujuran radikal: Kita tidak bisa mempertahankan iman. Cara kita berpikir tentang Kristus harus berubah. Ini berarti “Iman tidak abadi ... relativisme dan sekularisme dapat menjelaskan iman yang diperiksa ulang harus tanpa menelannya.”
Carroll menetapkan untuk “mempertimbangkan Yesus Kristus dalam kesetiaan pada tradisi klasik iman Kristen dan secara simultan membatasi tuntutan tentang dia supaya masuk akal bagi pemikiran modern—atau postmodern. Ini sesuatu yang sulit dipenuhi. Namun, Carroll bersedia menjelaskan secara gamblang perjuangannya dengan kebenaran yang sulit ini. Dia adalah seorang Kristen yang taat, tetapi juga hidup di dunia. Dan, rekonsiliasi antara keduanya bukan soal yang remeh.
Ini dimulai, menurut Carroll, dengan “kembali mengapresiasi penuh keyahudian Yesus.” Tentu, kita tahu Yesus lahir sebagai seorang Yahudi, tetapi tradisi menyatakan bahwa selama atau segera setelah masa hidupnya, kekristenan memisahkan diri dari Yudaisme karena keilahian Yesus Kristus. Hal yang dianggap orang Yahudi sebagai penghujatan dan banyak hal lainnya. Perpecahan ini sering ditimpakan kepada Paulus, “sponsor utama penghinaan Kristen bagi orang Yahudi, avatar hukum terhadap kasih karunia, daging dibandingkan roh, usaha dibandingkan iman, Musa melawan Yesus, Perjanjian Lama versus Baru.”
Carroll menunjukkan bahwa itu benar-benar salah. “Partisipasi mendalam dan permanen Yesus dalam kehidupan Israel” tidak bisa disangkal. Tindakan Yesus menunjukkan bahwa “kuasa Allah ditujukan sekarang dan di sini. Walaupun karya Yesus jelas mendukung orang miskin, tetap secara permanen ditawarkan untuk semua.” Yudaisme pada masa Yesus lebih beragam dan lebih kompleks daripada yang kita percaya hari ini. Bahkan Paulus “adalah seorang Yahudi dari awal sampai akhir.” Dan kita akan bisa melihat semua bahwa jika kita hanya akan mempertimbangkan Injil dalam terang waktu mereka ditulis.
Dekade setelah penyaliban Yesus di tangan Roma, penulis Injil Markus menemukan dirinya kembali di tengah perang Romawi lain, yang akan segera berujung pada penghancuran Bait Suci di Yerusalem pada tahun 70. “Mengalami semua penderitaan, ketakutan, dan keputusasaan yang pergi dengan perang yang mengerikan Roma, dan konflik akibat dengan sesama orang Yahudi, “Carroll menulis, Markus ingin “menawarkan cara hidup lebih manusiawi, berani, dan penuh kasih dalam keadaan seperti itu.” Injil adalah panggilan untuk sesama orang Yahudi untuk mengikuti tindakan kehidupan Yesus.
Kebenaran itu tidak berkurang kadarnya bagi orang percaya saat ini. Untuk mengatasi dualisme mengerikan dari perang, orang Kristen harus mengikuti teladan Kristus. “Kesadaran ini membuat Kristus tetap aktual dengan dunia kini.” Cara untuk melanjutkan kepercayaan Yesus di zaman sekuler tidak melalui doktrin Kristen yang literal dan tanpa kekritisan , tetapi melalui upaya berkelanjutan untuk meneladani tindakan Yesus, relasinya, dan komunitasnya.
Sebagai contoh dari cara ini keyakinan, Carroll berpikir tentang Bonhoeffer lagi, dan Santo Fransiskus dari Assisi, yang memberikan hidupnya kepada orang miskin (dan Paus mengambil namanya); Anne Hutchinson, Leo Tolstoy, Gandhi, Albert Schweitzer, Martin Luther King Jr, dan Dorothy Day. Untuk kekristenan, “membangkitkan dorongan untuk meneladani Yesus adalah prinsip permanen dan beragam gereja. Ini termasuk kritik pada diri sendiri, pengampunan, dan pembaruan moral.” Ini adalah dorongan yang “harus secara teratur dipulihkan.” Dalam “Christ Actually,” Carroll sedang mengembangkan satu set alat interpretatif untuk membantu orang lain melakukan hal itu.
Dia melakukannya bukan sebagai sejarawan atau arkeolog berusaha untuk mengganti satu set fakta tentang Yesus dengan yang lain, tetapi sebagai sesuatu yang lebih menarik: seorang percaya yang mengakui bahwa tradisi tentang Yesus diciptakan oleh manusia dan merayakan kapasitas untuk menemukan sendiri keilahian Yesus. Pembacaan Carroll sendiri tentang Yesus—memukau keasliannya dan anehnya tetap terasa akrab—adalah bukti kekuatan dari iman kreatif kritis.
Christ Actually: The Son of God for the Secular Age
Penulis: James Carroll
Penerbit: Viking
Tebal: 352 hlm.
Harga buku: US$ 30
Kepala Pasukan UNIFIL: Posisi PBB di Lebanon Berisiko Didudu...
BEIRUT, SATUHARAPAN.COM-Kepala pasukan penjaga perdamaian PBB mengatakan pada hari Jumat (1/11) bahw...