Buku: Peran Penginjil Belanda Menumbuhkan Nasionalisme Indonesia
SATUHARAPAN.COM – Para penginjil dari Belanda yang berkerja di Indonesia (Hindia Belanda, nama sebelum Indonesia merdeka) yangs ering disebut sebagai kaki tangan kolonial, ternyata mengambil peran dalam menumbuhkan kesadaran kebangsaan, bahkan dalam revolusi kemerdekaan Indonesia.
Hal ini diungkap dalam buku karya seorang Belanda, Hans van de Wal yang berjudul ‘’Terbelah dalam Kancah Revolusi, Kaum Protestan Belanda dan Pekabaran Injil Belanda Menghadapi Revolusi Indonesia.’’ Buku itu merupakan studi yang menyoroti sikap para penginjil Belanda dan kaum Protestan Belanda yang ada di Belanda maupun Indonesia terhadap revolusi Indonesia pada kurun 1945-1949, khususnya dari Gereja Gereformeerd dan Hervormd.
Kehadiran buku ini menjadi menarik, karena menyajikan sisi lain untuk memperkaya pemahaman tentang sejarah Indonesia di antara buku-buku sejarah yang menyoroti kurun tersebut dari sudut pandang Indonesia atau pemerintah Belanda. Pandangan kaum agama, dan juga para penginjil Belanda yang bekerja untuk gereja di Indonesia agak jarang disebutkan, bahkan dalam masyarakat umum lebih banyak diposisikan sebagai ‘’kaki tangan’’ kolonial.
Situasi ini juga berimbas dalam pandangan dan stigma terhadap orang-orang Indonesia yang menganut agama Kristen. Buku van de Wal juga mencacat tentang situasi di Jawa, khususnya Jakarta dan sekitarnya, setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II. Para penginjil yang menjadi interniran dan hidup tanpa harapan semasa pemerintahan Jepang, dalam kebingungan, bahkan menjadi korban setelah Indonesia merdeka.
Situasi pada Agustus hingga Oktotober yang mencekam bagi para penginjil ini, juga berimbas pada banyak orang Indonesia Kristen, termasuk sekitar 1.200 orang Depok yang ditawan dan rumahnya dijarah pada Oktober 1945, dan kemudian dibebaskan oleh pasukan sekutu yang mendapatkan informasi dari wartawan.
Mendorong Kesadaran Kebangsaan
Namun demikian, sikap para penginjil Belanda terhadap nasionalisme Indonesia, yang pada kurun tersebut yang merupakan puncak dari sikap apakah menerima Indonesia merdeka atau menolak Indonesia merdeka, sudah dilatarbelakangi oleh sikap mereka sebelumnya. Mereka juga terlibat dalam menumbuhkan kesadaran kebangsaan.
Kesadaran kebangsaan muncul di kalangan Kristen pribumi Indonesia di Belanda maupun di Indonesia, tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran kebangsaan setelah berdirinya Boedi Oetomo 1908 dan kemudian Sumpah pemuda 1928. Van de Wal mencatat bahwa pada tahun 1932 berdiri Christian Studenten op Java atau CSV op Java di Belanda. Dan organisasi ini terbutuk justru oleh dorongongan orang yang bekerja untuk penginjilan, CL Kees van Doorn dan Hendrik Kraemer, termasuk kemudian juga oleh konsul perwakilan Zending, JMJ Schepper.
Kesadaran kekristenan dan sekaligus kesadaran kebangsaan makin kuat terutama ketika Federasi Pelajar Kristen Dunia (World Student Christian Federation) mengadakan sidang yang diselenggarakan di Citeureup, Jawa Barat pada 1933. Van de Wal menunjukkan bagaimana penginjil Belanda, Kraemer, yang bekerja pada Nederlands Bijbel Genootschap atau NBG) justru banyak berbicara tentang Indonesia dan menggunakan nama Indonesia, bukan nama resmi ketika itu, Hindia Belanda.
Pada masa itu dan selanjutnya oleh pengaruh pandangan mereka muncul pemuda-pemuda Kristen yang nasionalis seperti Johannes Leimena, Amir Sjarifoeddin, GSSJ Ratulangi, J Latuharhary, dan AA Maramis.
Pandangan Yang Berbeda
Buku dan studi Van de Wal ini berangkat dari pertanyaan tentang mengapa para penginjil Belanda ini memiliki pandangan yang berbeda dengan kebanyakan orang-orang Kristen Protestan di Belanda. Buku ini menyajikan sejumlah dokumen tetang pandangan mereka dan perdebatan yang terjadi di kalangan Kristen Protestan Belanda, khsusunya setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.
Pandangan itu tidak lepas dari pengaruh kuat dari apa yang dilakukan oleh antara lain Kraemer dan van Doorn yang menghargai secara postitif, bahkan mendorong tumbuhnya nasionalisme Indonesia, khususnya di kalangan pribuni yang Kristen Protestan. Namun demikian sejak itu juga sebenarnya terjadi perjuangan besar untuk meyakinkan kalangan Kristen Protestan di Belanda.
Di kalangan gereja kemudian banyak dilakukan diskusi dan perdebatan, bahkan yang berlangsung sengit, terkait kebijakan tentang Indonesia (Hindia Belanda). Mereka juga mengkritisi aksi militer Belanda ke Indonesia pada tahun 1947 dan yang kedua pada tahun 1949.
Buku Van de Wal menarik justru antara lain mengungkap bahwa dalam situasi seperti itu para penginjil Belanda di Indonesia memiliki peran penting. Sejak Indonesia di bawah cengkeraman Jepang, dan Belanda diserang Jerman, Belanda nyaris kehilangan kontak ke Indonesia. Para penginjil yang mengenal orang Indonesia dan ada di Indonesia justru yang banyak menyadarkan tentang situasi yang sebenarnya di Indonesia.
Hal ini antara lain yang mendorong kebijakan Belanda dalam aksi militer (aksi polisionil) 1947 dan juga 1949 dikritisi oleh para penginjil dan pihak Gereja Protestan, termasuk kebijakan dekolonisai Belanda. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya sikap itu juga dilakukan terhadap kebijakan pada Nugini Belanda (Papua atau Irian Jaya). Perdebatan sengit muncul ketika sinode Gereja Hervormd pada tahun 1956 menyerukan pemerintah Belanda untuk sadar diri akan situasi di Nugini Belanda.
Mengisi Kekosongan
Buku ini menempati posisi sebagai pengisi kekosongan di tengah penulisan sejarah yang fokus pada peranan militer dan pemerintah. Penulis memilih fokus pada kelompok keagamaan yang sering tidak disebut, bahkan catatanya tercecer di banyak catatan kecil dan kurang mendapat perhatian, yaitu para penginjil.
Sikap dan pandangan mereka memang tidak banyak mempengaruhi kebijakan pemerintah dan partai politik di Belanda, khususnya tentang isu dekolonisasi Belanda, namun pada kahirnya mempengaruhi bagaimana selanjutnya hubungan Belanda dan Indonesia, termasuk dalam kaitan gereja di kedua negeri.
Selain itu, studi Van de Wal ini memberi perluasan pandangan dan pengetahuan tentang situasi Indonesia ketika itu, tentang para penginjil Belanda, pribumi Indonesia yang menganut Kristen Protestan, situasi gereja di Indonesia dan dinamikannya dalam proses membangun negeri yang baru lahir, Republik Indonesia.
Van de Wal sendiri bukan orang yang asing mengenai Indonesia dan gereja, baik di Indonesia maupun di Belanda. Dia lahir di Velp, Belanda pada 1939. Dia lulusan teologi dan sosiologi dari Univestitas Utrecht. Dia pernah bekerja sebagai utusan Gereja Hervormd di Sulawesi Tenggara, dan Jawa Barat pada kurun 1968 hingga 1977.
Mulai tahun 1995 dia meneliti peran lembaga-lembaga zending dan gereja-gereja Belanda dalam perjuangan Indonesia mencapai kemerdekaan. Pada tahun 2006 dia memperoleh gelar doktor di bidang teologi dari Universitas Kampen, Balanda. Disertasinya mengenai peran zending Nederlands Hervormd dan seruan untuk merenungkan masa depan Papua (1956) dalam perdebatan tentang Irian Barat /Papua (1949-1962) dalam masyarakat Belanda.
Buku setebal 528 halaman itu dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh Yayasan Cemara, Purworejo tahun 2014. Dalam bahasa Belanda buku itu diterbitkan oleh Uitgeverij Boekencentrum, Zoetermeer, Nederland pada tahun 2012 dengan judul ‘’Top op het bot verdeeld. Nederlandse Protestanten, de zending en de Indonesische revolutie.’’
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...