Catatan 2014: Negativisme terhadap Tahun Politik
SATUHARAPAN.COM – Jika kita telusuri pembicaraan menjelang dan awal tahun 2014 yang disebut sebagai tahun politik bagi Indonesia, kita akan melihat catatan-catatan tentang kekhawatiran terjadi keghuncangan di Indonesia, secara politik, sosial, bahkan berimbas pada ekonomi.
Tahun politik dilihat sebagai pertarungan yang dahsyat. Pertempuran pertama untuk kekuasaan di legislatif dalam pemilihan DPD, DPR, dan DPRD pada bulan April, dan kemudian pertempuran kedua pada pemilihan presiden pada Juli lalu.
Pertarungan ini banyak dilihat sebagai persaingan yang keras, bahkan bisa menimbulkan segregasi politik dan sosial di masyarakat. Perekonomian akan terimbas, karena ada ancaman instabilitas, meskipun ada yang melihat peluang bisnis yang terbuka untuk meningkatnya omset sablon kaos dan cetak spanduk.
Sayangnya, kesan yang kuat dalam menyikapi tahun politik adalah dari sudut negatif, padahal proses politik setiap lima tahun itu mestinya adalah proses yang positif, dan karenanya memang diagendakan setiap lima tahun.
Pemilihan anggota legislatif dan eksekutif (termasuk kepala daerah) memang diselenggarakan untuk mencegah pemerintahan yang berkuasa terlalu lama dan menjadi otoriter bahkan diktator. Proses politik lima tahunan adalah proses koreksi dan penyegaran kepemimpinan: proses yang sangat positif.
Pengalaman Pahit
Masalahnya, mengapa muncul pandangan yang cenderung dari sisi negatif?
Munculnya pandangan ini haruslah disikapi sebagai pertanda bahwa ada kekecewaan publik pada proses politik yang selama ini terjadi. Proses semestinya membawa kita pada kedewasaan politik, tetapi publik melihat justru terjadi kemunduran. Pengalaman pahit dalam proses politik bisa menanamkan pandangan yang negatif.
Catatan pertama tentang hal ini adalah kualitas DPR dan DPRD yang justru makin jauh dari harapan sebagai entitas wakil rakyat. Pemilu Legislatif terakhir dilihat paling tidak berkualitas, karena sistem yang digunakan adalah sistem ‘’setengah hati’’: sistem proporsional yang ditambah dengan daftar nama (mengadopsi sebagian sistem distrik).
Apa yang terjadi? Kompetisi bukan hanya pada antar partai secara institusi, tetapi juga antar kandidat legislatif, bahkan pada internal partai. Kompetisi ini menyebabkan politik ‘’dagang sapi’’ begitu marak, dan yang paling buruk dalam demokrasi adalah ‘’menjual’’ suara rakyat. Pemilu menjadi sangat mahal bagi setiap caleg, tetapi dengan kualitas hasil yang rendah.
Konsekuensinya, anggota legislatif di pusat dan daerah tidak secara kuat diposisikan sebagai wakil partai, karena mereka merasa suara ‘’diperolehnya’’ sendiri. Tetapi juga jauh sebagai wakil rakyat, karena suara diperoleh dari kekuatan uangnya, dan bukan relasinya dengan rakyat.
Kondisi ini menghasilkan anggota Dewan yang makin tidak terkontrol, kecuali oleh kepentingan mereka. Dan hal itu segera dibuktikan setelah mereka mengambil sumpah, melupakan ucapan dalam sumpah dan janji, masuk dalam konflik yang dibuat setelah pemilihan presiden. Dan DPR RI terbelah.
Budaya Politik
Oleh karena itu, catatan penting untuk tahun 2014 adalah bahwa kita masih terjebak pada negatifisme dalam menyikapi proses politik, justru karena melihatnya sebagai perebutan kekuasaan. Sebagai bangsa seharusnya kita melihat proses politik lima tahunan ini sebagai proses pertumbuhan dan perkembangan menuju kedewasaan politik dan kematangan demokrasi.
Aktor utama dalam proses ini adalah partai politik. Tetapi dua hal yang paling buruh ditampilkan oleh partai politik nyaris selalu muncul dalam perhelatan besar lima tahunan ini. Pertama adalah politik uang, transaski politik di dasarkan pada uang bukan pada penghormatan kedaulatan di tangan rakyat untuk kepentingan bangsa.
Parpol telah terbiasa dengan politik uang, bahkan dalam proses politik di dalam dirinya. Mentaliteit ini terus dibawa dalam proses politik dalam pemilu, bahkan menjadi mata rantai meluasnya korupsi di Indonesia. Mental dan budaya ini harus dihilangkan dari partai politik, atau partai itu harus dibuat tidak relevan dalam proses politik bangsa berikutnya.
Kedua, adalah proses politik sebagai cara damai yang disepakai dalam transisi kekuasaan. Namun yang terjadi pada partai politik, ini adalah proses yang mengeraskan konflik dan berakhir dengan perpecahan. Munculnya partai baru adalah bukti kegagalan proses politik internal partai sebagai cara damai dalam mengatasi masalah.
Kita pantas khawatir bahwa mentaliteit ini juga akan dibawa oleh politisi ‘’kacau’’ ini dalam kehidupan bangsa dan negara. Ketika mereka gagal dalam kompetisi, responsnya cenderung pada segregasi dan perpecahan. Aroma ini tercium makin kuat belakangan ini dan menjadi ancaman demokrasi, bahkan eksistensi bangsa.
Adanya negativisme dalam melihat proses politik bisa jadi yang mengungkung dan menjerumuskan kita pada masalah-masalah dalam demokrasi ini. Namun hal ini bisa dengan optimisme diubah dengan pandangan yang positif (positivisme) terhadap proses politik sebagai pendewasaan demokrasi, mencegah otoritarian dan kediktatoran serta koreksi kepemimpinan untuk kemajuan bangsa.
Ratusan Tentara Korea Utara Tewas dan Terluka dalam Pertempu...
WASHINGTON DC, SATUHARAPAN.COM-Ratusan tentara Korea Utara yang bertempur bersama pasukan Rusia mela...