‘Charlie’ dan Pendidikan
SATUHARAPAN.COM – Seminggu setelah insiden penyerangan kantor mingguan ‘Charlie Hebdo’ di Paris, pemerintah Prancis dengan cepat berbenah. Beberapa menteri dalam kabinet pimpinan Perdana Menteri Manuel Valls segera melakukan analisis berkaitan dengan situasi tragis yang telah terjadi dengan mencari kemungkinan sumber-sumber utama permasalahan serta koreksi-koreksi yang diperlukan saat ini.
Najat Vallaud-Belkacem, perempuan cemerlang keturunan Spanyol dan Algeria yang sejak bulan Agustus 2014 yang lalu menjabat Menteri Pendidikan Nasional, Pendidikan Tinggi dan Penelitian Prancis, menjadi salah satu yang paling lantang mengemukakan analisisnya tentang kaitan antara permasalahan dalam pendidikan dan peristiwa terorisme yang telah terjadi. Ia juga mengemukakan kemungkinan-kemungkinan perubahan kebijakan yang akan diambil.
Berbagai penjelasannya ingin mengatakan bahwa sistem pendidikan Prancis hingga saat ini masih memiliki kelemahan mendasar. Kelemahan itu disinyalir berada di sekolah. Sejauh ini, sekolah ternyata belum berhasil membuat peserta didik dapat berpikir dan beragumentasi secara rasional, serta menetapkan pilihan-pilihan yang baik bagi kehidupan, peradaban dan kemanusiaan. Ini juga dapat menjelaskan mengapa nilai-nilai republikan Liberté, Egalité, Fraternité yang dijunjung tinggi rakyat Prancis semakin menyurut.
Seluruh rangkaian drama terorisme di Paris dilakukan oleh anak muda usia 32-34 tahun. Seorang buronan perempuan lainnya yang juga terlibat penyerangan itu malah jauh lebih muda usianya. Begitu mudahnya kaum muda berpindah dari nilai-nilai republikan Prancis ke nilai-nilai radikal, padahal nilai-nilai ini telah diajarkan sejak Sekolah Dasar. Ini menunjukan anak-anak muda masih belum dapat menemukan, memahami dan mengamini secara rasional alasan-alasan mendasar dari ‘kehidupan bersama’ yang dibangun dan bagaimana keutamaan-keutamaan dihidupi dan diperjuangkan. Anak-anak muda masih dengan mudahnya dapat dirasuki oleh berbagai virus ideologi anti-demokrasi dan anti-humanis yang saat ini semakin menjadi trans-nasional.
Memang benar bahwa masalah ini bukan hanya terkait dengan pendidikan. Ada banyak faktor sosial lainnya yang berkontibusi dalam penciptaan situasi-situasi sosial kompleks yang dapat menjadi sangat kompatibel dengan terorisme. Kemiskinan, pengangguran dan kenakalan remaja yang dialami kelompok imigran di wilayah-wilayah banlieue (pinggiran perkotaan) misalnya adalah masalah-masalah stagnan tanpa jalan keluar yang membuat frustasi. Sangat sulit bagi anak-anak muda itu untuk dapat keluar dan menghindar dari situasi keterpurukan. Lalu mulailah mereka mencari ‘mainan-mainan’ baru.
Berbenah Pendidikan
Apa yang dapat dibenahi dalam pendidikan Prancis menurut Vallaud-Belkacem adalah memperkuat jajaran guru sekaligus memperkuat kembali pendidikan nilai-nilai republikan di sekolah. Untuk itu, ia bergerak ekstra cepat. Pada kamis 15 Januari yang lalu ia mengumumkan program mobilisasi besar-besaran nilai-nilai republikan di sekolah. Ia juga meminta keterlibatan orang tua murid, kelompok masyarakat sipil dan institusi-institusi luar sekolah lainnya untuk bekerjasama dalam proyek besar ini.
Yang lebih menarik lagi, ia secara langsung juga mengemukakan metode-metode pedagogi praktis yang sebaiknya diterapkan oleh para guru. Salah satunya dengan mengajak murid mendiskusikan berbagai hal berkaitan dengan kehidupan bersama dalam nilai-nilai republik itu dalam berbagai kesempatan di sekolah dan di luar sekolah. Artinya, pendidikan tidak berlangsung dengan satu arah, tetapi dialogis. Pendidikan dua arah ini akan melatih ketajaman murid-murid dalam memetakan masalah, menganalisisnya secara rasional, membangun argumen-argumen dan membuat pilihan-pilihan yang baik dan bertanggungjawab. Selain itu ia juga meminta para guru dan orang tua untuk benar-benar memperhatikan perkembangan serta mendampingi murid-murid/anak-anaknya, sehingga secara emosional, anak-anak benar-benar dapat berkembang menjadi individu-individu yang tenang dan dewasa.
Bagaimana Indonesia ?
Bahwa Indonesia telah menjadi salah satu negara target terorisme sekaligus sarang teroris adalah hal yang tak terelakkan. Selain terorisme, bermacam-macam permasalahan seperti kekerasan pada anak dan perempuan, tawuran pelajar dan mahasiswa, intoleransi dan penyerangan kelompok-kelompok minoritas, pelanggaran hak asasi manusia dan seterusnya masih harus dihadapi setiap saat. Ditambah dengan karut marut dunia pendidikan selama ini, seperti masalah kurikulum, ujian nasional, keterbatasan fasilitas sekolah dan seterusnya, pendidikan di Indonesia sebenarnya dalam kondisi mengenaskan.
Menteri Anis Baswedan telah melakukan beberapa perubahan di awal masa jabatannya dengan meninjau kembali kurikulum dan ujian nasional. Namun hal ini mungkin belum juga dapat menyentuh esensi permasalahan pendidikan kita. Perlu pembenahan yang serius, cepat dan menyeluruh sistem pendidikan nasional kita. Tidak hanya yang menyangkut hal-hal praktis dan teknis tentang pengelolaan pendidikan tetapi yang lebih esensial adalah yang berkaitan dengan filosofi pendidikan ; yaitu pendidikan itu apa, untuk siapa dan untuk tujuan apa, serta bagaimana metode pembelajaran yang dipilih.
Setelah semua masalah yang menimpa Indonesia selama ini, tentunya kita tidak mau kecolongan lagi. Rakyat telah menentukan pilihannya pada pemilu presiden bulan juli lalu supaya presiden terpilih dapat segera memperbaiki berbagai kerusakan negri ini termasuk salah satu yang paling utama adalah kerusakan dunia pendidikan. Satu kejadian teror di Prancis telah memicu sebuah perubahan besar dalam dunia pendidikan Prancis. Bagaimana dengan Indonesia? Sudah berapa kali kita melewatkan kejadian teror dan kekerasan di negeri ini? Tampaknya kementrian pendidikan harus bergerak lebih cepat untuk memikirkan berbagai perubahan bidang pendidikan. Pemerintah juga sebaiknya membuka pintu selebar-lebarnya bagi keterlibatan dan partisipasi publik dalam rangka reformasi pendidikan Indonesia.
Penulis adalah Dosen Sosiologi, FISIP-UI. Mahasiswa Doktor di Ecole des Hautes Etudes en Scinces Sociales (EHESS), Paris. Penggiat Lingkar Studi Pendidikan Progresif.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...