DPR Didesak Sahkan UU Kesetaraan Gender Tanpa Dalih
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Beberapa LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang tergabung dalam Jaringan Lintas Iman untuk Advokasi RUU KKG (Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender) mendesak DPR RI untuk segera menerbitkan UU KKG dan menghilangkan kompromi politik penolakan RUU tersebut yang dikatakan berdasarkan asas agama.
Hal tersebut disampaikan pada konferensi pers dalam rangka mendesak DPR RI untuk segera membahas dan mengesahkan RUU KKG, yang bertema ‘Lanjutkan pembahasan RUU KKG dan segera sahkan pada periode ini’. Acara tersebut bertempat di Wahid Institute, Matraman, Jakarta Timur, Jumat (30/5).
Panja Komisi VIII tempo hari pernah memunculkan pembahasan RUU KKG sejak era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, dan terakhir pembahasannya yang masih begitu alot pada 2011. Lantaran terkendala biaya dan kepentingan politik partai-partai di DPR, sampai sekarang RUU tersebut hanyalah sebatas wacana.
RUU KKG cenderung dianggap sebagai hasil budaya barat yang tidak mencerminkan pandangan dari umat beragama di Indonesia, dan senatiasa menimbulkan kontroversi dalam setiap kali pembahasannya.
Ratna Batara Munti, Kordinator Jaringan Kerja Prolegnas (program legislasi nasional) pro Perempuan atau disingkat JKP3 menegaskan penolakannya terhadap agama yang dijadikan sebagai asas, karena tafsirannya bisa melebar, dan biasanya yang digunakan adalah yang dominan. Misalnya Fatwa MUI, bagi yang mendukung itu dianggap baik, tetapi sayangnya masyarakat kita ini heterogen.
Maka dalam pelaksanannya, asas agama ini tidak ada kepastian hukum, dan tidak sesuai dengan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Seharusnya digunakan asas keadilan dan kesetaraan.
“Kita khawatir bukan nilai moral yang dijadikan tafsiran, tetapi tafsiran dari salah satu tokoh ulama tertentu,” tegas Ratna.
Lebih lanjut, Titi Sumbung dari Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik, mewakili agama Kristen mengatakan, RUU KKG ini sangat besar urgensinya untuk segera diterbitkan. Pasalnya keterlibatan perempuan di parlemen sekarang hanya 18 persen, sedangkan data terakhir hasil pileg 2014 ini dia katakan menurun menjadi 14 persen.
“Mengapa turun? Karena di situ masih banyak jaringan kekerabatan, jadi yang terpilih itu adalah istrinya, atau saudara mereka lainnya. Belum lagi politik uang, di mana wanita yang tidak punya uang banyak, tidak dapat terpilih di parlemen. Jadi UU KKG ini sebenarnya bukan hanya isu perempuan, tetapi ini adalah isu negara,” Titi menegaskan.
Meskipun negara kita pernah memiliki presiden perempuan, lanjut wanita yang sudah hampir 50 tahun menjadi aktivis perempuan itu, tetap tidak mencerminkan kesetaraan itu sendiri. Di daerah-daerah lain, masih banyak terdapat adat istiadat yang banyak melarang perempuan, misalnya mendapatkan pendidikan, berkarir dengan lebih baik selain pembantu rumah tangga, dan lain sebagainya. Maka UU KKG diharapkan dapat menyetarakan semua pertentangan tersebut di seluruh wilayah Indonesia.
“Hak perempuan sebagai manusia itu tergantung seberapa luas lembaganya (partai, Red) memberi ruang. Maka UU ini sangat perlu disesuaikan dengan norma awal terbentuknya UU itu sendiri, yaitu norma adat, susila, etika moral, agama dan hukum,” tambah Arnold Panahal, dari Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (TTYME) Adat Musi.
Ade Kusumaningtyas dari LSM Rahima, Pusat Pendidikan dan Informasi Islam untuk Hak-hak Perempuan, juga salah satu anggota JKP3 yang mewakili agama Islam mengatakan, “Islam mengajarkan kita untuk tidak menghakimi seseorang atas dasar Islam, manusia pada hakikatnya sama-sama makhluk Tuhan, sehingga tidak ada alasan yang satu dominan yang satunya subordinat. Masalah itu muncul karena pandangan orang yang mencoba-coba mencari kebenaran, sehingga membuat tafsiran yang tidak adil,” ujar wanita yang akrab disapa Nining itu.
Berpedoman pada ajaran agama Katolik, Emilia Raras Yuning dari LSM Mitra Gender mengatakan, kesetaraan gender itu dilandaskan pada kita diciptakan sama antara pria dan wanita, terbukti dalam pernikahan Katolik itu tidak dibedakan dalam perjanjian pernikahannya yang isinya tidak berbeda antara pria dan wanita.
Namun kenyataannya sehari-hari baik dalam pemerintahan maupun kehidupan bermasyarakat, masih bisa dirasakan bahwa laki-laki lebih diutamakan terutama untuk terlibat dalam dinamika politik di Indonesia.
“Perlunya UU yang menegaskan adanya kesetaraan, perempuan dan laki-laki bisa melakukan pekerjaan yang sama, maupun fasilitas yang sama, maka kami mendorong pemerintahan saat ini yang hanya tinggal beberapa bulan lagi, untuk segera menerbitkan UU KKG ini,” tandas Emil.
Editor : Bayu Probo
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...