Hari Lingkungan Hidup: Apa kabar plastik berbayar?
Indonesia merupakan penyumbang terbesar kedua sampah plastik di dunia. Untuk menanganinya dibutuhkan bukan saja kebijakan pada tataran makro, tetapi perubahan mental pada masyarakat. Bisakah?
SATUHARAPAN.COM – Kemarin sore, di hari Pancasila, saya berkunjung ke sebuah toko buku ternama di Jakarta. Awalnya tidak niat untuk berbelanja buku, tetapi karena ada buku anak yang menarik saya mampir. Di kasir, mereka langsung membungkus buku saya dengan plastik. Saya menolaknya, tetapi mereka serempak seperti paduan suara mengatakan, “Sudah tidak bayar lagi kok, bu”.
Saya tersenyum dan meninggalkan mereka.
Sampah plastik di Indonesia
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menilai persoalan sampah sudah meresahkan. Indonesia bahkan masuk dalam peringkat kedua di dunia sebagai penghasil sampah plastik ke laut setelah Tiongkok. Hal itu berkaitan dengan data dari KLHK yang menyebut plastik hasil dari 100 toko atau anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) dalam waktu satu tahun saja, sudah mencapai 10,95 juta lembar sampah kantong plastik.
Jumlah itu ternyata setara dengan luasan 65,7 hektare kantong plasti,k atau sekitar 60 kali luas lapangan sepak bola. Data ini menyesakkan, betapa plastik yang mungkin hanya kita buang satu atau dua kantong tersebut akan bertemu dengan plastik yang lain dan menyumpang jumlah sampah plastik terbesar nomer dua di dunia.
Data dari Direktoral Jenderal Pengelolan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK mengatakan bahwa jumlah sampah plastik sebesar 14% dari jumlah total sampah yang ada. Artinya, besaran jumlah sampah plastik ini sebesar 9,52 juta ton.
Dari satu atau dua kantong plastik yang kita buang setiap hari, mungkin tidak berpengaruh dengan besaran jumlah keseluruhan sampah plastik. Tetapi, mari kita bayangkan bahwa jika kita semua yang ada di Indonesia, melakukan puasa sampah plastik sehari dalam sebulan. Hitungannya mungkin belum akan bisa kita dapat saat ini. Namun jika itu berhasil dilakukan, tentu jumlah 9,52 ton akan berkurang.
Perda Plastik
Awal tahun ini, ada kabar menggembirakan karena setiap kantong plastik yang kita dapat dari supermarket atau minimarket harus kita bayar. Nilainya memang tidak terlalu besar, tetapi bagi saya, ini akan mengajarkan kepada kita, kepada masyarakat, bahwa persoalan sampah plastik ini adalah persoalan kita bersama.
Kebijakan tersebut adalah kebijakan uji coba yang dilakukan oleh pemerintah kita mulai pada 21 Februari hingga 5 Juni 2016. Kebijakan tersebut tidak hanya untuk propinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) tetapi diikuti oleh 21 Kabupaten Kota di Indonesia. Menteri Lingkungan hidup percaya bahwa program ini akan memberi dampak yang baik bagi lingkungan ke depan. Masa uji coba adalah 6 bulan dan akan dilakukan evaluasi.
Untuk kebijakan dalam jangka panjang, setiap propinsi, kota atau kabupaten diberikan kewenangan untuk menentukan sendiri aturan bagi daerahnya. Masih menurut Menteri Siti Nurbaya, kebijakan ini akan ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri (Permen).
Saya sendiri termasuk orang yang berharap bahwa akan ada kebijakan permanen tentang pembatasan penggunaan plastik ini. Tidak hanya murni pembebanan kepada konsumen, tetapi juga aturan yang tidak memperbolehkan supermarket, mini market maupun toko menyediakan kantong plastik bagi konsumen.
Tentu hal ini akan menjadi perdebatan di berbagai kalangan, sama halnya waktu masa uji coba plastik berbayar dilakukan. Kontra yang hadir di antara kita antara lain adalah karena kantong plastik berbayar ini akan membebani konsumen. Harusnya soal sampah menjadi urusan pemerintah, bukan malah membebankan hal tersebut kepada masyarakat. begitu paling tidak satu dua argumen yang kontra pada program uji coba plastik berbayar.
Pro kontra pada sebuah kebijakan memang tidak bisa dielakkan, karena hal tersebut tergantung perspektif kita dalam melihat dan memandang sebuah kebijakan. Bahwa penangangan sampah plastickdi Indonesia dibutuhkan aturan yang komprehensif, itu benar. Tetapi pada tahapan awal, mengajak masyarakat untuk bisa melakukan “diet” kantong plastik adalah sebuah proses pembelajaran untuk merubah perilaku.
Membincangkan perilaku, dan juga perubahan perilaku masyarakat perihal kantong plastic tidak bisa dilepaskan dari sebuah teori perilaku. Kurt Lewin (1970) berpendapat bahwa perilaku adalah merupakan suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan penahan (restraining forces). Perubahan perilaku itu dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut.
Segaris dengan kebijakan uji coba kantong plastik berbayar yang saat ini sudah kembali “bebas”, saya menilai kebijakan tersebut adalah sebuah upaya untuk mencapai kesimbangan antara kekuatan pendorong dan penahan. Kebijakan pemerintah dalam konteks ini bisa disebuat sebagai kekuatan penahan, menahan masyarakat tidak mengeluarkan uang untuk kantong plastik yang mereka gunakan untuk membawa belanjaan mereka.
Lingkungan Soal Bersama
Menghayati bahwa soal lingkungan soal bersama adalah hal yang penting saat ini. Bumi dengan segala makhluk yang hidup dan mendapatkan manfaatnya darinya memang memiliki tanggung jawab bersama untuk merawat dan menjaga kelestariannya. Benar, pemerintah hadir memiliki porsi yang lebih besar dari masyarakat, tetapi hal itu bukan berarti kita sebagai masyarakat bisa cuci tangan dan tidak peduli dengan persoalan lingkungan.
Dalam skala makro, tentu peran dan tanggung jawab pemerintah harus di kedepankan. Mulai dari hulu sampai hilir, negara yang diwakili oleh orang yang ada di pemerintahan harus hadir. Kehadirannya tidak hanya melulu pada sebuah produk kebijakan, tetapi juga pada ruang diplomasi kepada para pengusaha atau perusahaan yang memberikan sumbangsih besar pada jumlah sampah kantong plastik yang ada.
Ruang diplomasi dan juga ketegasan pemerintah harus lebih kuat, besar dan nyaring gaungnya. Hal ini jika dibarengi dengan kerja pada skala mikro, masyarakat sadar dan merubah perilaku dalam penggunaan kantong plastic, tidak mustahil jika Indonesia akan turun peringkat dari juara 2 dunia penyumpang sampah plastik.
Upaya yang bisa kita lakukan bersama adalah melakukan kompromi. Plastik berbayarlah salah satu upaya kompromi tersebut. Kompromi yang dilakukan ini juga merupakan proses pembelajaran bagi kita semua dalam menjaga kelastarian lingkungan. Pemerintah akan belajar dalam proses ini, melakukan evaluasi soal kebijakan uji coba ini dan sekaligus menjadikan dasar evaluasi sebagai pijakan kebijakan yang lebih komprehensif.
Bagi kita masyarakat, proses belajar ini membawa kita untuk memaknai cinta kepada keutuhan ciptaan yang harus kita rawat dan jaga bagi generasi selanjutnya. Upaya ini adalah upaya melihat realitas ke depan, populasi manusia akan makin banyak, mau tidak mau, suka tidak suka, jika kita peduli pada generasi yang akan datang, mari merawat mulai dari hal terkecil kita, sembari kita menuntut hak kita kepada pemerintah agar melaksanakan tugas dan mandat yang telah dipikulnya.
Selamat hari Lingkungkan Hidup, 5 Juni. Selamat merawat keutuhan ciptaan.
Penulis adalah Direktur JKLPK (Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen)
Editor : Trisno S Sutanto
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...