Hidup Sebagai Pengungsi Adalah Mimpi Buruk
Jakarta, Satuharapan.com - Bangunan kembar yang terdiri dari lima lantai dengan cat berwarna biru dan putih nampak kokoh dilihat dari seberang jalan (pasar induk Puspa Agra). Di dalamnya masing-masing gedung itu memiliki sekitar 76 kamar di blok A dan 76 kamar lagi di blok B dengan total 152 kamar, dan hanya 76 kamar yang dihuni oleh waraga pengungsi Syiah yang berjumlah 82 KK. Selebihnya kamar diisi oleh masyarakat yang mengontrak di sana. Sementara masih ada sekitar 7 KK hingga penulis membuat tulisan ini mereka belum mendapatkan kamar, dan terpaksa tinggal menumpang di kamar lain dengan bersempit-sempitan.
Berdasarkan data yang penulis himpun, saat ini sejumlah 332 jiwa menjadi pengungsi akibat konflik yang terjadi (th 2015), terdiri dari 154 anak-anak usia sekolah dan 9 usia batita (0-3 th). Dan saat penulis berada di lokasi, terhitung hanya sekitar 234 jiwa yang menetap di rusun lima lantai tersebut. Lalu di mana yang lainnya?
“Yang lain tinggal bersama keluarganya karena menikah dengan orang luar (non pengungsi),” ujar Nur Cholish, pendamping pengungsi yang menemani penulis. “Ada juga yang bekerja di Malaysia, ada juga yang tinggal bersama orang tuanya karena mengurus orang tua yang sudah tua.”
Gedung tempat para pengungsi [Dok. Pribadi]
Kondisi Pengungsi Syiah Sampang
Area rusun, mulai dari gapura Puspa Argo, dijaga 24 jam oleh petugas parkir atau satpam pada malam harinya. Dan khusus untuk warga pengungsi yang berlalu lalang dengan motor mau pun sepeda dibebaskan biaya tiket masuk area. Sementara sekitar 200 meter dari gapura, ada juga pos keamanan yang dijaga oleh petugas keamanan, tetapi nampaknya tidak begitu ketat karena pos sering terlihat kosong penjaganya. Namun pada sore hari menjelang malam pos dijaga oleh petugas keamanan.
Area rusun nampak berhalaman luas dan berjalan beton. Pepohonan tampak beberapa batang saja, selebihnya pemandangan luas bebas pohon. Kondisi penerangan lampu sekitar rusun sangat minim. Jika memasuki gedung, pada bagian bawah bangunan kembar ini terdapat lokasi parkiran untuk motor dan sepeda milik warga pengungsi Sampang dan juga ada warga lain (non pengungsi) yang mengontrak di rusun tersebut. Umumnya warga non-pengungsi tinggal di kamar lantai II Gedung B, selebihnya berada di Gedung A. Interaksi antara warga non pengungsi dengan warga pengungsi nampak biasa-biasa saja, namun terlihat warga pengungsi Sampang yang selalu menjaga sikap agar tidak menganggu aktivitas warga lain yang tinggal di rusun tersebut. Hal ini penulis simpulkan saat melihat kondisi beraktivitas di dalam dan di luar bangunan. Untuk aktivitas pengajian dan belajar anak-anak selalu menggunakan lantai 5 atau di lokasi parkiran motor (bawah).
Untuk kondisi kamar yang dihuni seluruh warga berukuran 6 x 6. Ada satu kamar dengan pembatas dari triplek, sedikit ruang untuk kumpul keluarga, ruang tamu, dapur dan kamar mandi. Ada sedikit ruang kosong yang disediakan tiap kamar untuk menjemur pakaian. Kondisi air di sana menggunakan mesin pompa air. Artinya air yang dikonsumsi adalah air tanah yang, walau jernih, namun agak sedikit bergetah bila dirasakan di badan. Pompa air sejak dua tahun terakhir ini sering mengalami kerusakan. “Sudah 8 kali rusak dan itu pun lama baru diperbaiki,” kata Fitri. “Terbayang kan bagaimana para orang tua yang tinggal di lantai atas harus mengambil air ke bawah dan membawanya lagi ke atas.”
Kondisi pembuangan atau saluran air di kamar mandi cukup rendah sehingga mudah sekali air menjadi penuh dan dapat membenamkan kaki saat menggunakan kamar mandi. Karena itu, setiap rumah terpaksa lubang saluran air dipecah agar penyaluran air lancar, walau hasilnya tidak merubah situasi yang penulis alami. Untuk sarana dan fasilitas tengah gedung yang seharusnya dapat digunakan untuk penghijauan menanam tanaman, dibiarkan kosong melompong sehingga banyak terdapat kotoran kucing mau pun ayam dan membuat aroma kurang sedap. Belum lagi teras rumah di atas milik beberapa warga terdapat kandang burung dan kotoran burung peliharaan.
Tangki air pun tidak berfungsi otomatisnya, sehingga jika air penuh akan tumpah ke bawah bak air hujan lebat jika terlambat mematikan saklar air. Risikonya pun jika saklar lampu terkena percikan air akan terjadi konslet menyebabkan listrik padam seluruh gedung dan menunggu untuk diperbaiki bukanlah hal yang cepat dapat dilakukan.
Yang tersisa tinggal kenangan [Dok. Pribadi]
Terasing di Kampung Sendiri
“Beginilah hari-hari kami tinggal disini, kami benar-benar menjadi terasing di kampung sendiri,” ujar Ustad Iklil Almilal, tokoh yang dituakan sekaligus menjadi koordinator pengungsi. “Kami tinggal di sini mulai tanggal 20 Juni 2013, dan sebelumnya setelah peristiwa itu terjadi 26 Agustus 2012 kami dipindahkan dari GOR Wijaya Kusuma Sampang dengan alasan keselamatan dan keamanan.”
Menurut Iklil, warga pengungsi bukan buruh tani. Sebelum menjadi pengungsi rata-rata per-orang memiliki satu hektar lahan untuk bercocok tanam secara mandiri. Sebagian besar mereka gunakan untuk menanam padi. Sebelum warga menyandang status pengungsi, mayoritas penganut Syiah di Sampang berprofesi sebagai petani (pemilik lahan). Penulis sempat melihat langsung kondisi pasca kejadian tahun 2012 tersebut di dua desa yang diserang kelompok intoleran. Setelah rumah dan lahan ditinggalkan pemiliknya, hanya sedikit sawah yang masih terawat. “Sebagian kecil memang dirawat oleh keluarga yang masih tinggal di sana,” kata Iklil.
Pemandangan sawah hijau milik warga pengungsi yang tinggal di Desa Blu’uran di Karangpenang dan Desa Karanggayam, Omben kini menjadi tinggal kenangan. Padi sudah mati tak bersisa. Di musim panas ini, ilalang tumbuh di tanah yang makin kering kerontang. Selain sawah adalah aset warga pengungsi yang rusak, masih ada dan dibiarkan bangunan 70 unit rumah milik warga di dua desa tersebut dalam kondisi hancur.
“Rumah kami di kampung memang seperti itu. Bagi rumah-rumah yang terbakar ya dibiarkan begitu saja. Tapi keadaan rumah yang tak dijaga mau tak mau ambruk dengan sendirinya. Penyebabnya oleh rayap,” kata seorang pengungsi ketika penulis memperlihatkan deretan photo-photo di laptop. Nasib harta benda sekitar 170 KK dari dua desa tersebut memang tidak jelas. Sejak dipaksa meninggalkan rumah dan desa, mereka kehilangan segala-galanya, mulai dari harta berupa rumah dan tanah mereka, sampai pekerjaan sebagai penunjang ekonomi mereka hilang dan tidak berfungsi.
Menyerahkan kepada Pemerintah
Kepada penulis, banyak warga kini memilih menyerahkan kepada pemerintah untuk mengambil langkah bagaimana menyelesaikan persoalan pengungsi Sampang yang terusir dari kampungnya. Mereka terlihat “lelah” setelah berjuang selama tiga tahun ini. “Kami tidak mempermasalahkan sekarang kapan pulang kampungnya, tapi jangan cabut akar kami dari kampung,” kata mereka. “Seenak-enaknya fasilitas rusun diberikan, tetap tidak bisa hidup enak bila terbuang dari kampung.”
Apalagi mereka masih memiliki banyak harta benda di kampung. Atas pemikiran tersebut warga pengungsi Sampang menolak berpindah status kependudukan menjadi warga Kabupaten Sidoarjo. Mereka tetap ingin menjadi warga Sampang dan berharap bisa pulang ke kampung halaman di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben. “Pengungsi tegas menolak dipindahkan menjadi warga Sidoarjo,” tegas Andy Irfan, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya, dalam salah satu kesempatan di media.
Nur Cholish berkisah, jika ada keinginan warga pengungsi untuk pulang kampung ke Sampang, maka mereka harus minta izin melalui BPBD dan pergi menggendarai kendaraan bermotor yang membutuhkan waktu selama 3 jam perjalanan. Di kampung akan bertemu dengan sanak keluarga dan dapat melihat kondisi harta yang tinggal. Namun jika terpergok oleh aparat TNI, mereka akan digiring ke luar kampung dengan alasan keamanan. Namun tidak sedikit juga warga yang berhasil bermalam di kampungnya sendiri. Lalu mengapa aparat TNI bisa mengetahui ada pengungsi yang datang ke kampung? Ini tidak lepas dari pengaduan, atau jika ada warga lain yang melaporkannya.
Di Kampung tetap lebih baik [Dok. Pribadi]
Warga pengungsi Sampang yang ditemui hampir semuanya mengatakan tidak bisa terus menerus hidup seperti ini di pengungsian, dan tidak mungkin berpangku tangan. Walau sebagian pihak datang memberikan bantuan, akan tetapi keinginan untuk kembali ke kampung sangat besar karena ingin kembali hidup normal, membangun kembali keluarga sehat, memperbaiki ekonomi, memberikan pendidikan dan ilmu agama pada anak, mengelola dan merawat harta benda untuk masa depan anak dan cucu, serta kehidupan yang damai bersama masyarakat sekitar seperti dulunya. Apa pun yang terjadi, hidup di kampung adalah yang paling aman.
Penulis adalah Aktivis Perlindungan Anak
Editor : Trisno S Sutanto
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...