Ikonografi dalam Pandangan ‘Calvinis’ Abad 21
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pdt. Joas Adiprasetya, pendeta Gereja Kristen Indonesia (GKI) Pondok Indah mengemukakan pandangannya sebagai seorang Calvinis (Kristen Protestan berpedoman ajaran Johannes Calvin) yang hidup pada abad ke-21 mengenai ikonografi.
Pendeta yang juga menjabat sebagai Ketua Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta itu mengemukakan pandangannya dalam Seminar Ikonografi yang dilaksanakan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) pada Kamis (24/4) di Gedung Pusat Alkitab-LAI, Jakarta Pusat.
“Saya diminta berbicara ikonografi untuk mewakili, bukan sekadar Protestan, tetapi Protestan yang lebih keras, yaitu dari Calvinisme,” Joas mengatakan,”tetapi izinkan saya memberi perspektif dari perspektif Calvinis abad ke-21 yang memang masih memiliki jejak-jejak warisan Calvinisme dan Protestan pada umumnya.
Joas menyadari bahwasanya ikonoklasme, yaitu gerakan penghancuran ikon, kerap dikaitkan dengan Protestantisme. Ia juga mengungkapkan bahwa semua gerakan ikonoklasme mengakarkan diri pada larangan pemakaian imaji yang tertulis dalam kitab Keluaran 20:45 dan Imamat 19:4.
Ia bahkan menggambarkan bagaimana Calvin mengambil jalur finitum non capx infiniti (yang terbatas tak mampu menampung yang tak terbatas) sehingga meradikalisasi perbedaan antara Pencipta dan ciptaan. Sebab itu menurut Joas, Calvin menganggap semua ibadah kepada Allah harus bersifat spiritual.
Hal tesebut membuat Calvin selalu curiga terhadap semua hasil karsa batin manusia karena dianggap menjadi sanggar bagi manusia untuk menciptakan idol-idol.
Namun demikian, Joas juga mengakui bahwa dalam proses pembelajarannya, ia banyak dipengaruhi pandangan para Bapa Gereja juga para teolog kontemporer dari Orthodox. Hal ini menjadi salah satu alasan baginya untuk turut mempraktikkan bentuk devosi atau kehidupan spiritual yang menggunakan ikon dari tradisi Orthodox.
“Jadi ketika saya berdoa, atau apa yang orang Protestan sebut sebagai saat teduh, saya seringkali menggunakan ikon Andrei Rublev tentang Trinitas, yaitu ikon yang sangat menarik bagi saya. Ikon kedua yang juga sering saya gunakan adalah ikon Maria Ibu Yesus,” ia mengungkapkan.
Ikonoklasme, Usaha Meneguhkan Identitas Baru
Lebih lanjut Joas memaparkan pandangannya dengan mendasarkannya pada kesimpulan Willem van Assel tentang sejarah ikonoklasme di kalangan para reformator mula-mula.
Ia mengatakan ikonoklasme sesungguhnya merupakan “sebuah usaha meneguhkan identitas baru yang berbeda dari tradisi gereja lama mereka, yaitu Katolik, yang identitasnya direpresentasikan melalui ikon dan imaji religius.”
Sebab itu, van Assel akhirnya menyimpulkan bahwa wajah Protestantisme secara perlahan berubah dari iconoclast atau image-breaker (penghancur ikon) menjadi image-maker (pembuat ikon). Protestan yang sebelumnya menolak penggunaan ikon seperti yang digunakan umat Katolik, mulai memunculkan ikon-ikon kontemporer.
Sebab itu, dalam akhir pemaparannya Joas membuat suatu kesimpulan teologis.
“Protestantisme yang mulai belajar menghargai kembali ikonografi dapat tetap mempertahankan sikap kritisnya dengan membarenginya dengan sikap yang terbuka dan murah hati pada praktik spiritual yang berbeda,” pungkas Joas.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...