Ini yang Terjadi Bila Rupiah Berlanjut Melemah ke Rp 15.000
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Apa yang terjadi bila rupiah terus melemah hingga ke level Rp 15.000 per dolar AS?
Sampai beberapa waktu lalu, skenario pelemahan nilai tukar rupiah sampai ke level itu lebih sering dianggap hanya perhitungan di atas kertas oleh para akademisi. Kini kemungkinan itu semakin tidak bisa diabaikan.
Xavier Jean, analis kredit Standard & Poor, menulis dalam sebuah pernyataan (yang diterbitkan pada hari Kamis, 10/9) bahwa perusahaan-perusahaan Indonesia kini sedang "berperang melawan dampak tidak langsung dari depresiasi rupiah pada margin keuntungan, neraca dan likuiditas mereka - dan itu adalah pertarungan terhadap sesuatu yang mereka tidak dapat kendalikan.
Jean mengatakan pihaknya tidak tidak mengharapkan bakal adanya gelombang gagal bayar (default) pada perusahaan-perusahaan di Indonesia akibat pelemahan rupiah. Namun, ia juga tidak membantah bahwa tekanan likuiditas dan risiko refinancing akan membebani perusahaan-perusahaan yang memiliki pinjaman dalam mata uang asing yang tidak dilindungi (unhedged)
apabila rupiah menyentuh level Rp 15.000 per dolar AS.
Jika nilai tukar rupiah bertahan di level itu setidaknya tiga bulan, menurut Jean, akan terjadi gagal bayar pada perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki lindung nilai pada pinjaman mereka.
Di tengah pengetatan moneter lebih lanjut oleh bank sentral AS, ditambah dengan gejolak nilai tukar yuan baru-baru ini, memicu rupiah anjlok cukup lama dan sudah mencapai penurunan 15,1 persen pada tahun 2015 menjadi Rp 14.322 per dolar AS pada hari Kamis (10/9).
DI sisi lain, kinerja ekspor yang lemah akibat permintaan global yang lesu, telah menahan penerimaan devisa negara.
Ketika rupiah kuat (dalam tahun 2010-2013), perusahaan-perusahaan Indonesia mengambil utang luar negeri yang cukup besar pada tingkat bunga yang menarik. Namun, sebagian besar utang luar negeri ini (dan masih) tidak dilindungi (unhedged) dan dengan demikian rentan terhadap guncangan mata uang.
Bank Indonesia baru mulai mewajibkan perusahaan swasta untuk melakukan lindung nilai utang luar negeri pada Oktober 2014, dan diperkirakan hampir 50 persen utang sektor swasta tidak dilindungi.
Jean menyatakan bahwa pada tahun-tahun 2016-2018 sebagian besar utang ini akan jatuh tempo. Depresiasi rupiah akan menambah beban utang perusahaan ini dan membuat lebih sulit untuk membiayai kembali posisi utang mereka.
S & P mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan Indonesia yang paling berisiko adalah yang bergerak di sektor barang konsumsi, manufaktur, agribisnis, media, dan ritel.
Yang membuat 'langit' tampak makin berkabut adalah kemungkinan pelemahan rupiah yang masih lama. Presiden Direkktur ANZ Indonesia, Josef Abraham mengatakan, pelemahan rupiah kemungkinan masih akan berlangsung beberapa bulan ke depan.
Rupiah, yang turun menjadi Rp 14.000 per dolar AS pada bulan Agustus, sebagaimana dilaporkan oleh The Jakarta Post, akan tetap di bawah tekanan karena investor global masih menghitung faktor-faktor utama, seperti apakah bank sentral AS akan menaikkan suku bunga.
"Saya pikir ini akan berlangsung sembilan sampai 12 bulan," kata Abraham saat berkunjung ke kantor The Jakarta Post pada hari Rabu (9/9).
Menurut dia, Indonesia memiliki kerentanan dalam hal ketergantungan yang tinggi pada investasi asing di obligasi negara, dimana 35 persen dari Surat Berharga Negara dipegang oleh investor asing.
Mengingat fakta ini, Abraham mengatakan pasar valuta asing (forex) Indonesia sangat sensitif terhadap perubahan suasana hati dan sentimen investor. Kendati demikian ia mengatakan bahwa "fundamental ekonomi negara ini jauh lebih kuat dibanding 10-12 tahun yang lalu".
Berjaya di Kota Jakarta Pusat, Paduan Suara SDK 1 PENABUR Be...
Jakarta, Satuharapan.com, Gedung Pusat Pelatihan Seni Budaya Muhammad Mashabi Jakarta Pusat menjadi ...