Kapolri Tegaskan Niat Baik Rekonsiliasi Butuh Sosialisasi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Polisi Badrodin Haiti menilai niat baik memperbaiki hubungan atau rekonsiliasi dari pemerintah atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu di Indonesia membutuhkan sosialisasi mendalam.
"Tentu itu suatu niat yang baik, tapi proses itu harus disosialisasikan ke seluruh jajaran dan masyarakat, jangan sampai salah interpretasi apa yang dimaksud rekonsiliasi dan bagaimana konsepnya, tentu semuanya harus memahami," kata Badrodin setelah menghadiri acara Sidang Tahunan MPR/DPR/DPD di Kompleks Perlemen, Senayan, Jakarta, hari Jumat (14/8).
Menurut Kapolri, jika masyarakat atau jajaran pemerintahan tidak memahami tujuan dan esensi dari langkah rekonsiliasi itu, akan berakibat kontra produktifnya usaha tersebut untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.
"Karena jika tidak memahami itu, tentu akan menimbulkan persepsi yang negatif," kata dia.
Lebih lanjut, Badrodin menilai seharusnya masyarakat mendukung langkah tersebut jika konsep dari langkah rekonsiliasi tersebut dirasa baik dan bermanfaat untuk kemajuan.
Langkah pertama, kata Badrodin, pemerintah dengan melalui Komnas HAM bisa melakukan pendekatan dengan WNI di luar negeri yang karena satu dan lain hal tidak bisa pulang ke Tanah Air, padahal dia ingin dimakamkan di tanah kelahirannya.
"Nah, hal seperti tentu itu bisa diakomodasi selama dia menuntut hak yang sama dengan yang lain saya pikir tidak ada masalah," katanya.
Sehingga, lanjutnya, dengan adanya pengertian dan sosialisasi tersebut, ada kemajuan di dalam proses penyelesaian kasus HAM di masa lalu. Karena, menurut dia, hal tersebut tidak bisa dilakukan sekaligus.
"Step by step, kita tidak bisa menyelesaikan hal tersebut sekaligus, harus ada tahapan-tahapan," kata dia.
Dia juga menambahkan Indonesia harus bangkit setelah 70 tahun merdeka karena bangsa ini sudah penuh dengan pengalaman. Saat ini tinggal bagaimana Indonesia bisa belajar dari pengalaman dan membenahi bangsa.
"Tentu kita harus bangkit, setelah 70 tahun kita sudah melewati banyak pengalaman sejarah, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Sekarang bagaimana belajar dari pengalaman ini dan membenahi bangsa untuk bangkit dan menjadi negara maju," kata dia.
Pemerintah Indonesia sejak awal memang menghendaki pendekatan rekonsiliasi ketimbang upaya peradilan dalam menyelesaikan masalah HAM masa lalu.
Mereka menganggap penyelesaian melalui jalur hukum sulit digelar karena berbagai alasan, di antaranya kesulitan menemukan bukti-bukti atau saksi-saksi, terutama untuk kasus-kasus lama.
Maka muncullah konsep rekonsiliasi, rehabilitasi, dan kompensasi, yang dianggap sebagai jalan paling bijaksana untuk menyelesaikan masalah-masalah kekerasan masa lalu.
Komnas HAM diketahui telah menyelesaikan penyelidikan tujuh kasus pelanggaran HAM masa lalu dan menyerahkan berkasnya kepada Kejaksaan Agung. Namun, laporan itu tidak pernah sampai berujung ke ranah peradilan lantaran hasil temuan Komnas HAM dianggap masih kurang bukti.
Sejumlah kasus pelanggaran berat HAM yang telah diselidiki Komnas HAM di antaranya adalah kasus pembantaian massal 1965, penembakan misterius, kasus Talangsari (Lampung), kerusuhan Mei 1998, dan penculikan sejumlah aktivis. (Ant)
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...