Kinerja Parpol dan Rp 1 Trilun
SATUHARAPAN.COM – Ada rencana dibuat Undang-undang tentang Keuangan Partai Politik, terkait rencana Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, memberikan dana untuk partai politik dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Besarnya bantuan itu adalah Rp 1 triliun untuk setiap Parpol.
Rencana ini tampaknya belum begitu jelas, termasuk dasar pemikirannya. Sebab, hanya disebutkan hal itu diberikan agar Parpol bisa bekerja dengan lebih baik. Namun dasar kajiannya juga belum begitu jelas, meskipun di sejumlah negara hal itu terjadi.
Rencana ini menimbulkan pro dan kontra, dan sudah seharusnya dikaji dengan baik sebelum diputuskan. Apalagi untuk itu diperlukan dasar hukum (UU) yang harus disusun dengan cermat, jangan hanya membuat pasal-pasal, melainkan dimulai dengan naskah akademis yang menjelaskan filosofi dan argumentasinya.
Perlu dicatat bahwa selama ini Parpol peserta pemilu mendapatkan dana sebesar Rp 108 untuk setiap pemilih pada partai itu. Dan untuk itu, tiap tahun negara mengeluarkan dana sebesar Rp 13,17 miliar dari APBN untuk semua partai.
Selain itu, perlu dipertimbangkan bahwa kader partai yang ada di DPR dan DPRD juga mendapatkan dana yang cukup besar dari APBN / APBD. Padahal catatan kinerja Dewan banyak yang dinilai rendah, bahkan kepentingan partai lebih menonjol ketimbang kepentingan rakyat.
Bukan hanya gaji dan tunjangan yang diterima anggota Dewan, tetapi juga anggaran untuk fraksi. Bahkan tugas kunjungan ke daerah pemilihan untuk setiap anggota pada masa reses juga ditanggung oleh APBN / APBD.
Oleh karena itu, sebelum diputuskan, masalah-masalah keuangan ini pantas dikaji, termasuk juga membandingkan dengan kinerja Dewan selama ini. Jika harus dibandingkan dengan negara lain, pantas dilihat dan dibandingkan budaya dan perilaku politik mereka, bukan sekadar angka-angka uang.
Masalah Kinerja
Keuangan Parpol selama ini termasuk yang tidak cukup transparan bagi publik. Yang dilaporkan parpol biasanya dana untuk kampanye pemilihan umum (pemilihan presiden maupun parlemen) yang disampaikan melalui KPU (Komisi Pemilihan Umum). Namun laporan ini sering menimpulkan pertanyaan karena tampaknya ada gap antara biaya kampanye dan dana yang dilaporkan.
Di sisi lain, sumber dana parpol sering tidak cukup jelas, bahkan menjadi pembicaraan umum bahwa orang tertentu adalah sumber dana penting bagi parpol tertentu. Sumber dana juga menjadi pusat pengendalian partai. Platform dan janji partai bisa merupakan ‘’omong kosong’’ besar, karena agenda sebenarnya ada pada sumber dana partai. Dominanya kelompok ini, bahkan membuat ideologi diabaikan.
Partai politik menjadi tidak dekat dengan konstituen, yang merupakan akibat kinerja yang tidak menunjukkan keberpihakan pada konstituen dan rakyat. Maka mengharapkan kekuatan partai dari partisipasi rakyat dan konstituen (termasuk dalam dana) menjadi sulit di bangun.
Rencana membantu dana bagi setiap parpol justru berpotensi besar untuk makin menjauhkan parpol dari konstituen dan rakyat. Yang diperlukan sebenarnya adalah memperbaiki kinerja Parpol untuk lebih mencerminkan kepentingan rakyat. Masalah keuangan partai bukan masalah utama, kecuali hanya akan mendorong orang membuat partai baru karena tergiur dana bantuan.
Masalah keuangan adalah masalah utama partai dari kacamata partai yang selama ini mengenakan kacamata kuda. Bagi rakyat, masalahnya adalah pengelolaan dan budaya partai. Kualitas kader partai dan sistem rekrut yang tidak mampu menghasilkan wakil rakyat berkualitas adalah masalah utama. Ini juga terjadi karena partai menjalankan budaya nepotisme yang kuat, dan lemah dalam seleksi kader.
Suara Golput
Eksistensi Parpol semestinya diukur berdasarkan terwakilnya kepentingan rakyat dalam pemerintahan dan tegaknya konstitusi negara. Mengatasi masalah keuangan yang tidak konkret didedikasikan untuk hal itu, bisa dicurigai sebagai akal-akalan.
Harus diingat bahwa setelah pemilu pertama sejak reformasi (1999), pemenang pemilu adalah Golput (golongan putih atau golongan yang tidak memilih). Pada pemilu parlemen terakhir (2014) di mana pemilih terdaftar sebesar 186, 6 juta, yang menggunakan hak suara (secara sah) sebanyak 124,9 juta. Itu berarti 61,5 juta rakyat yang punya hak pilih memilih sebagai Golput. Angka ini jauh melampaui perolehan tertinggi parpol, yaitu PDI Perjuangan dengan 23,6 juta suara.
Oleh karena itu, dana bantuan untuk parpol harus memperhitungkan ‘’suara’’ Golput yang menjadi ‘’pemenang’’ pada hampir semua pemilu. Keputusan itu tidak boleh hanya dengan dipenuhinya syarat formalitas karena dibahas di DPR yang katanya disebut ‘’petugas partai.’’
Kita perlu partai yang benar-benar merakyat, yang mempunyai alasan kuat untuk rakyat memilihnya, bahkan menopang manajemen dan dana untuk organisasi partai. Hal ini juga menjadi pusat kompetisi partai, bukan ‘’merengek’’ dapat dana dari APBN.
Tanpa itu, tidak cukup argumentasi masalah ini sekadar didasarkan bahwa eksistensi partai penting untuk pemerintahandan negara. Di luar paratai, ada banyak lembaga swasta yang bekerja untuk kepentingan negara. Oleh karena itu, eskistensi partai harus tercermin pada fungsi representasi bagi rakyat. Di luar itu, politik menjadi benar-benar kotor.
Ratusan Tentara Korea Utara Tewas dan Terluka dalam Pertempu...
WASHINGTON DC, SATUHARAPAN.COM-Ratusan tentara Korea Utara yang bertempur bersama pasukan Rusia mela...