Komisi III: Jangan Lempar Tanggung Jawab Terkait Pelanggaran HAM Berat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Masinton Pasaribu menilai pemerintah saling lempar tanggung jawab terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat tahun 1965.
“Sejauh mana pengawalan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terhadap hak-hak warga negara korban 1965 dalam melaksanakan aktivitas seperti ini. Kemudian mengenai penanganan pelanggaran HAM berat, seakan-akan Komnas HAM melemparkan kasus itu ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Lalu Kejagung kita tanya juga begitu, persoalan ada di Komnas HAM. Masak setiap tanya, ketiganya seperti main pingpong, lempar-lemparan. Sudah tidak zaman lagi," kata Masinton dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III dengan Komnas HAM di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, hari Senin (18/4).
"Di sisi lain, korban menuntut keadilan. Maka dengan itu, Komnas HAM sudah sejauh mana menangani? Atau apa langkah bersama Kejagung dalam penangan kasus-kasus pelanggaran HAM berat ini? Apakah sudah duduk satu meja, khususnya membicarakan kasus ini? Sebagai institusi negara, jangan main pingpong doang, yang satu lempar Kejagung, yang satu lempar ke Komnas HAM," dia menambahkan.
Masinton juga mengingatkan, setiap rapat soal pelanggaran HAM berat, harus ada progresnya, tidak saling lempar tanggung jawab.
"Harus ada progresnya. Karena kalau setiap rapat di sini, kalau saya tanya Komnas HAM pasti bilang Kejagung, kemudian besoknya rapat dengan Kejagung bilangnya Komnas HAM. Saya saja bingung, apa lagi teman-teman yang sedang mencari keadilan itu. Artinya, negara jangan memperlakukan korban itu dengan alasan pingpong itu," kata dia.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Imdadun Rahmat mengakui beberapa kali Komnas HAM memang dilibatkan pemerintah di dalam sejumlah pertemuan untuk menyelesaikan sejumlah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Sebelumnya, dari tujuh kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, pemerintah memprioritaskan penyelesaian Tragedi 1965. Simposium nasional tragedi 1965 yang digelar pada hari Senin (18/4) ini di Hotel Aryaduta, Jakarta, adalah langkah awal pemerintah menyelesaikan salah satu kasus pelanggaran HAM berat itu.
“Dalam pertemuan terakhir kami mendapatkan informasi bahwa komitmen pemerintah itu akan diwujudkan dalam langkah awal yang dilakukan hari ini, berupa simposium pengungkapan sejarah terkait dengan tragedi 1965. Dari tujuh kasus yang mandek itu, yang mendapat respons pertama kali dan diutamakan adalah Tragedi 1965,” kata Imdadun.
Menurut Imdadun, simposium nasional Tragedi 1965 itu akan menghadirkan ahli sejarah maupun para pelaku sejarah.
“Yang tujuannya adalah bagaimana mendapatkan perspektif dari berbagai pihak terkait dengan upaya pertama pengungkapan soal kebenaran itu,” kata dia.
Selain itu, Imdadun berharap, hasil simposium nasional tragedi 1965 itu konstruktif.
“Komnas HAM melihat simposium ini langkah kecil dari proses perjalanan yang cukup panjang, jadi terkait penyelesaian pelanggaran HAM berat perkembangannya sejauh itu,” kata dia.
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...