Komnas Perempuan Desak Negara Hadir Hentikan Kekerasan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - “Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyimpulkan bahwa pada tahun 2015 kekerasan terhadap perempuan memperlihatkan pola meluas, sehingga kami mendesak agar negara hadir secara maksimal untuk terlibat dalam pencegahan, penanganan, dan tindakan strategis untuk menjamin rasa aman perempuan,” kata Ketua Komnas Perempuan, Azriana, dalam peluncuran Catatan Tahunan (Catahu) tahun 2016, di Jakarta, hari Selasa (8/3), seperti ditulis dalam siaran pers yang diterima satuharapan.com.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) kembali mengeluarkan Catatan Tahunan (Catahu) tahun 2016, yang diluncurkan setiap tahun untuk memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret. Catahu 2016 ini merupakan temuan dari beragam kasus peristiwa kekerasan terhadap perempuan di tahun 2015.
Temuan Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di ranah domestik atau rumah tangga maupun dalam relasi perkawinan, tetapi juga terjadi meluas di masyarakat umum maupun yang berdampak dari kebijakan negara.
Sebagian besar data yang terdapat pada Catahu 2016 ini bersumber dari pengaduan yang berasal dari pengaduan korban ke lembaga-lembaga negara, organisasi pendamping korban, maupun pengaduan langsung kepada Komnas Perempuan.
Data Catahu yang diluncurkan tahun 2016 ini tidak hanya menunjukkan data kekerasan di wilayah domestik, melainkan juga sebuah pemberitahuan seluas-luasnya kepada negara dan masyarakat bahwa berdasarkan pemantauan maupun trend isu yang berkembang di media telah menunjukkan bahwa masalah kekerasan terhadap perempuan telah meluas di berbagai ranah, termasuk di wilayah publik. Ini terkait dengan peraturan daerah yang diskriminatif, peristiwa intoleransi agama, kebijakan hukuman mati, penggusuran, konflik politik, yang kesemuanya berdampak langsung pada pelanggaran hak perempuan dalam kehidupannya.
Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Tiga Ranah
Komnas Perempuan membagi persoalan kekerasan terhadap perempuan menjadi tiga ranah, yakni ranah personal (kekerasan dalam rumah tangga/relasi personal), ranah komunitas, dan ranah negara dengan penjelasan sebagai berikut.
Ranah Personal berdasarkan jumlah kasus sebesar 321.752, maka sama seperti tahun sebelumnya, jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling besar adalah kekerasan yang terjadi di ranah personal. Sementara bentuk kekerasan yang terbesar adalah kekerasan dalam bentuk fisik dan seksual. Hal ini berbeda dari tahun sebelumnya yang menemukan bentuk kekerasan yang terbesar adalah fisik dan psikis. Artinya terjadi kenaikan data kasus kekerasan seksual yang dilaporkan dibandingkan tahun sebelumnya. Bila tahun lalu kekerasan seksual menempati peringkat ketiga, tahun ini naik di peringkat dua, yaitu dalam bentuk perkosaan sebanyak 72 persen (2.399 kasus), dalam bentuk pencabulan sebanyak 18 persen (601 kasus), dan pelecehan seksual lima persen (166 kasus). Beberapa kasus yang direkam oleh Komnas Perempuan adalah terjadi kekerasan terhadap perempuan (pekerja rumah tangga dan istri) yang diduga dilakukan oleh pejabat publik dari anggota parlemen, serta kejahatan perkawinan yang dilakukan oleh artis.
Ranah Komunitas sebanyak 31 persen (5.002 kasus), dan jenis kekerasan terhadap perempuan tertinggi adalah kekerasan seksual (61 persen), sama seperti tahun sebelumnya (data 2014 dan data 2013). Untuk tahun ini jenis dari bentuk kekerasan ini adalah perkosaan (1.657 kasus), pencabulan (1.064 kasus), pelecehan seksual (268 kasus), kekerasan seksual lain (130 kasus), melarikan anak perempuan (49 kasus), dan percobaan perkosaan (enam kasus). Di luar persoalan perkawinan dan rumah tangga Komnas Perempuan memberi perhatian serius tentang meluasnya tema kekerasan seksual yang muncul dalam pemberitaan media, yaitu pekerja seks online, mucikari, artis pekerja seks, kasus cyber crime, iklan biro jodoh berkedok syariah, penyedia jasa pelayanan perkawinan siri, dan kasus perbudakan seks seorang anak perempuan oleh ayah mertua di Tapanuli Selatan. Terdapat juga pelarangan diskusi dengan tema Lesbian, Gay Biseksual, dan Transgender (LGBT) di Universitas Diponegoro Semarang, Universitas Brawijaya Malang, dan Universitas Lampung. Demikian pula pelaku kekerasan seksual terhadap mahasiswi yang adalah seorang dosen di sebuah universitas.
Ranah Negara di ranah yang menjadi tanggung jawab negara, artinya aparat negara sebagai pelaku langsung atau melakukan pembiaran pada saat peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan terjadi. Ditemukan adanya delapan kasus, diantaranya dua kasus pemalsuan akta nikah dilaporkan terjadi di Jawa Barat, kemudian enam kasus lainnya dilaporkan terjadi di NTT, seperti kasus trafficking yang menemui hambatan di kepolisian, dan kasus penganiayaan oleh oknum polisi. Komnas Perempuan juga mencatat pembiaran pada kasus peristiwa pelanggaran HAM masa lalu yang berdampak pada perempuan. Pada kasus pelanggaran HAM masa lalu, terdapat kasus kekerasan seksual, dan stigmatisasi terhadap perempuan yang masih berlangsung sampai kini. Demikian pula peraturan daerah yang mengkriminalisasi perempuan seperti penangkapan dua orang perempuan oleh petugas Wilayatul Hisbah di Aceh. Hal lain adalah kasus perempuan dalam tahanan bahwa telah terjadi penganiayaan terhadap seorang perempuan warga binaan di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur, yang dilakukan oleh seorang sipir laki-laki. Temuan kasus lainnya adalah tes keperawanan di institusi militer, wacana pengesahan kebiri bagi pelaku kekerasan seksual, dan seorang LBT dihukum penjara karena penipuan perkawinan di Sulawesi Barat.
Editor : Bayu Probo
Kemampuan Menyusun Kata Perlu Diajarkan Sejak PAUD
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak Kementerian Kependudukan dan Pemba...