Loading...
OPINI
Penulis: Beril Huliselan 00:00 WIB | Senin, 04 November 2013

Konsiliar Setengah Hati

SATUHARAPAN.COM - Sidang raya World Council of Churches (WCC) ke-10 di Busan, Korea Selatan (30 Oktober s/d 8 November 2013) dan sidang raya Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) di Nias (Oktober/November 2014) merupakan dua peristiwa penting. Di dalamnya kita bisa melihat bagaimana gereja-gereja membaca berbagai pergeseran yang sedang berlangsung, kemudian masuk dalam komitmen dan aksi bersama sebagai wujud kesaksian dan pelayanan gereja Tuhan yang esa.

Dalam buku program sidang raya WCC ke-10, kita bisa menemukan berbagai topik yang akan memperkaya percakapan oikoumenis (ecumenical conversation) di Busan, mulai dari pergeseran tatanan kehidupan dewasa ini (sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama), masalah ketidakadilan (ekonomi, sosial dan ekologi) yang diikuti dengan penderitaan manusia, pembaruan gereja, persoalan semenanjung Korea sampai tantangan untuk mewujudkan sustainable development melalui diakonia.

Kekayaan ini menunjukan bagaimana WCC secara konsiliar terus menggumuli keyakinan oikoumenisnya, yakni memanggil gereja-gereja untuk mewujudkan kesatuan iman (one faith) dan persekutuan ekaristik (one eucharistic fellowship), sebagaimana tampak baik dalam ibadah dan kehidupan bersama, kesaksian dan pelayanan bagi dunia serta bergerak mewujudkan kesatuan yang adalah wujud kesaksian bagi dunia. Di tingkat nasional (PGI), kesadaran yang kurang lebih sama juga bergerak secara konsiliar di mana ketidakadilan jender, pemberdayaan pemuda, perlindungan anak, demokratisasi, penegakan hukum, pendidikan dan masalah ekologi digumuli secara teologis dalam rangka mewujudkan panggilan misionalnya sebagai gereja Tuhan yang Esa.

Istilah konsiliar – berasal dari bahasa Latin concilium ‘sidang’, memiliki arti yang sama dengan synodos (bahasa Yunani) – sebaiknya dibaca sebagai artikulasi kesadaran ekklesiologis akan gereja yang Esa, kudus dan apostolik; konsili bukan wadah eksternal di luar gereja. Di dalamnya, para pemimpin dan utusan berbagai gereja – serta lembaga lainnya – duduk bersama untuk menggumuli tantangan yang dihadapi oleh gereja yang Esa, kudus dan apostolik tersebut.

Serangkaian konsili oikoumenis yang berlangsung pada sejarah awal kekristenan paling tidak menunjukan hal tersebut; di dalamnya masalah ajaran digumuli dengan memperhatikan kebulatan suara demi menjaga gereja yang Esa, kudus dan apostilik. Dalam gerakan oikoumene modern, konsili menjadi tempat di mana perpecahan hendak dilampaui dalam rangka misi bersama. Proses ini membawa gereja-gereja masuk dalam pergumulan ekklesiologis, salah satunya pergumulan mengenai bentuk kesatuan (the nature of unity we seek).

Tantangan ini digumuli oleh Faith and Order yang kemudian, pada tahun 1975, gagasan kesatuan organis dalam bentuk persekutuan konsiliar (conciliar fellowship) diterima oleh persidangan WCC di Nairobi. Melalui model ini, pertama, gereja-gereja dengan berbagai partikularitasnya diikat dalam dasar bersama (satu iman, kebersamaan dalam ekaristi dan ibadah, saling menerima pelayanan dan keanggotaan, satu dalam kesaksian dan pelayanan, serta adanya struktur untuk pengambilan keputusan bersama). Kedua, model ini mendorong gereja-gereja bergerak lintas konfesi (transconfessional) dalam wilayah kehadirannya (regional).

Model konsiliar seperti di atas – dalam catatan Thomas Fitsgerald – merupakan hal yang cukup sulit, dan rasanya pengalaman gereja-gereja di Indonesia menunjukan hal tersebut. Gerak organis untuk mewujudkan pengalaman struktural yang utuh memang ada, namun tidak membuahkan hasil yang menggembirakan. Di luar ini memang ada langkah penyatuan struktural, seperti yang dilakukan oleh Gereja Kristen Indonesia (GKI). Namun, penyatuan tersebut sesungguhnya lebih dekat dengan model yang dianut oleh Christian World Communions (CWCs); model kesatuan gereja yang bergerak dalam garis konfesional yang kurang lebih sama dan lebih menekankan pembicaraan bilateral mengenai isu-isu tertentu (unity in reconciled diversity).

Hasil yang kurang menggembirakan, sebagaimana disinggung di atas, sangat terkait dengan langkah setengah hati gereja-gereja di Indonesia dalam proses konsiliar. Gereja-gereja terlihat setengah hati memperbaharui seluruh keberadaannya (pemahaman diri dan praktik) dalam dialog dengan dokumen-dokumen keesaan. Karena itu, kadang terjadi kompetisi untuk mengibarkan “bendera konfesional” setinggi mungkin dan memperebutkan wilayah pelayanan yang akhirnya membuat berbagai ruang sempit dijejali beragam gereja dengan warna-warni yang tidak karuan.

Selain persoalan di atas, langkah setengah hati juga tampak dari euforia gereja-gereja dengan berbagai program sosial yang terkait dengan isu keadilan. Euforia ini bergulir tanpa menghasilkan, atau minimal menguatkan, struktur konsiliar di tingkat lokal. Ini sungguh menyedihkan karena isu keadilan seperti berdiri sendiri, dan akhirnya membuat berbagai program sosial gereja tampak seperti aktivisme belaka.

Dalam konteks persekutuan konsiliar, isu keadilan tidak pernah berdiri sendiri. Isu ini bergerak secara dialogis dalam tiga kutub, yakni: (1) dasar bersama/authoritative teaching, (2) misi bersama dan (3) ibadah bersama. Apa yang terjadi dalam pesidangan WCC di Vancouver (1983) bisa menjadi contoh di mana dokumen konvergensi Baptism, Eucharist and Ministry (BEM), liturgi Lima dan program JPIC (Justice, Peace and Integrity of Creation) bergulir di dalamnya. Studi yang lebih detail bisa menunjukan bagaimana ketiga capaian tersebut bergerak secara dialogis.

Selain itu, pada persidangan WCC ke-10 yang akan berlangsung di Busan, kita juga akan melihat dokumen konvergensi berikutnya, yakni dokumen The Church: Towards a Common Vision. Dokumen ini merupakan langkah maju gereja-gereja untuk bergerak melampaui identitas konfesional masing-masing dan masuk dalam rumusan bersama mengenai gereja yang Esa dan misinya dalam menghadirkan perdamaian dan keadilan.

Gairah gereja-gereja di Indonesia dengan isu keadilan tampak begitu rapuh karena tidak memperkuat gerak tumbuh bersama dalam (1) dasar bersama/authoritative teaching, (2) misi bersama dan (3) ibadah bersama. Pada titik tertentu, gairah ini dapat menjelma menjadi gelembung yang kemudian akan pecah dan menghantam gerakan oikoumene itu sendiri.

Di lapangan kadang kita menjumpai perlombaan dalam kegiatan kemanusiaan, akses dana, bahkan isu-isu keadilan dikelola sendiri tanpa melahirkan, atau minimal memperkuat, gerak konsiliar di tingat lokal. Wadah konsiliar yang ada pun – PGI, PGI-W dan PGI-S – seringkali tidak dipandang, bahkan kadang gereja-gereja tertentu terlibat kompetisi dengan wadah konsiliar tersebut atau tidak melibatkannya dalam isu-isu yang seharusnya digumuli secara konsiliar; ini seperti “Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri” (melakukan perbuatan yang mempermalukan diri sendiri). Kondisi ini semakin diperumit dengan menguatnya wadah berbasis denominasi/konfesi. Bahkan, wadah World Communion of Reformed Churches (WCRC) pun membangun regional council-nya di Indonesia, sebuah langkah yang akan memperkuat model unity in reconciled diversity dan menabrak komitmen teologis CWCs pada tahun 1970-an yang menegaskan bahwa mereka akan mendukung conciliar ecumenism di Asia.

Ke arah mana gerak oikoumene sedunia dan di Indoneisa akan bergerak, masih harus kita tunggu.

Penulis adalah lulusan STT Jakarta, bekerja di Komisi Pengembangan Teologi (KPT) GKI Jabar


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home