Loading...
OPINI
Penulis: Dr. Zuly Qodir 00:00 WIB | Kamis, 31 Oktober 2013

Krisis Rasa Malu Kaum Beragama

Dr. Zuly Qodir

SATUHARAPAN.COM - Storey dan Stark, (2009), pernah menulis: “Sebuah Negara yang penduduknya paling besar dan antusias dalam beragama itu bernama Indonesia. Orang yang beragama mencapai 99%, kecuali sisanya 1% mengaku sebagai atheis”.

Tidak ada salahnya kita secara sungguh-sungguh merefleksikan pernyataan Storey dan Stark diatas. Sebab sekarang di negeri ini, fakta lapangan agaknya memberikan bukti-bukti lain dari apa yang ditemukan antropolog asal Belanda tersebut. Karena itu kita harus merefleksikannya untuk memikirkan kembali atas apa yang kita lihat, amati, rasakan dan kerjakan untuk masa depan agar lebih mulia dan tertata.

Refleksi tentu saja bukan sekedar memutar kaset masa lalu menuju masa sekarang dan akan datang. Lebih dari semua itu, kita harus mengambil pelajaran (i’tibar dan ibrah) masa lalu untuk masa sekarang dan mendatang, agar tidak terjungkal pada lubang yang sama. Sebab bila demikian, kita tak ubahnya keledai yang dungu!

Kita dapat menyaksikan belakangan ini kaum beragama sangat hebat dan tekun untuk pamer kekayaan, pamer kekuasaan serta pamer popularitas. Semua itu jelas berbeda dengan ajaran kitab suci tentang kesederhanaan, kesopanan, dan tidak suka pamer alias tawadhu. Mengapa kaum beragama lebih suka pamer segala kemewahan hidup dan hasil dari apa yang diperoleh? Bukankah semua itu hanya titipan sementara dari sang pemberi kehidupan?

Apa yang salah dengan bangsa ini? Apakah yang salah itu kaum beragama, sehingga kaum beragama hanya ingin menganut salah satu agama resmi Negara, agnr tidak dituduh ateis, tidak bertuhan serta dituduh negatif lainnya, oleh sesama penduduk negeri ini? Jika memang demikian, pantaslah keadaan kita sekarang sungguh menyedihkan: banyak orang mengaku beragama namun tidak berbekas pada kehidupan sosial di masyarakat!

Kemiskinan, kebodohan, kurang gizi, dan penyakit menular yang menimpa masyarakat tidak menarik perhatian kaum beragama yang berkali-kali melakukan ritual keagamaan, seperti menjalankan ibadah haji, mengerjakan shalat dan berikrar atas nama Tuhan. Sementara umat agama lain menderita karena perlakuan yang dilakukan oleh mayoritas, kelompok-kelompok kecil di dalam mayoritas juga menderita karena tindakan kelompok yang rajin menggelar ritual keagamaan belaka.

Pertanyaan tentang apa yang salah dengan bangsa ini, sehingga kaum beragama yang jumlahnya mencapai 99% itu tampak “tidur dan tidak beretika" perlu diajukan. Bukankah etika itu salah satunya bersumber pada agama? Lantas jika agama tidak menjadi bagian dari kehidupan, kemana umat beragama mendasarkan etika selain pada agama dan tradisi yang hidup di masyarakat?

Tuna etika itulah faktanya. Jika demikian, dapat dikatakan kaum beragama telah melupakan sumber etika yang bermula dari kitab Suci. Kaum beragama dengan demikian telah menukarkan kesederhanaan dengan keserakahan, menukarkan kesopanan dengan kebrutalan dan menukarkan rendah hati dengan kesombongan. Celakanya adalah kaum beragama bangga dengan menukarkan kesalehan sosial, dan kejujuran dengan kejahatan, angkara murka dan kedzaliman. Kaum beragama bangga jika dapat memalsukan kejujuran dengan kebencian-kebencian pada sesama umat beragama.

Krisis Rasa Malu

Memperhatikan pelbagai macam pertunjukan drama politik dalam negeri, kita hanya bisa berkata bahwa kaum beragama tengah kehilangan rasa malu. Rasa malu yang seharusnya menjadi bagian dari hidupnya karena memperolokkan dirinya sendiri dari yang terhormat menjadi nista. Sekarang ini rasa malu dianggap merupakan lambang keterpurukan sebuah negeri. Warga negara diajarkan tidak perlu memiliki rasa malu, sebab hal itu hanya akan menyeret warga negara dalam kepalsuan, dan kemunduran, demikian kira-kira kutbah politisi yang minus etika dan tuna rasa malu.

Kita dengan mudah memperoleh sumpah serapah elit politik yang sedang terjerat perkara hukum. Kita dengan mudah mendapatkan pembelaan yang maha dahsyat dari mereka yang sedang berperkara hukum dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan kita juga sering mendapakan pertunjukkan bahwa KPK yang tengah berkerja memperbaiki nasib bangsa dari jarahan para kpruptor dituduh melakukan kong kalikong dengan kekuasaan dzalim. KPK dituduh tidak professional dalam menangani perkara korupsi dan seterusnya. Semua oleh kaum beragama.

Kita sedang menyaksikan yang salah berubah bagai pahlawan. Yang menegakkan hukum dituduh menjerat warga negara dengan semena-mena. Kita menyaksikan para aparat penegak hukum saling telikung memojokkan KPK. Semuanya oleh mereka yang bersumpah atas nama Tuhan!

Sungguh sebuah ironi terbesar sedang terjadi di negeri ini. Sebuah negeri yang penduduknya mayoritas beragama, tetapi dengan segenap dukungan massa, finansial, kekuasaan, kerabat, handai taulan, kolega menampakkan dirinya sebagai kampiun pembela negeri, koruptor dan sekaligus

pembela agama. Sungguh sangat sulit diterima akal sehat, tetapi semua tengah berlangsung mendekati sempurna.

Kita mendapatkan kaum agama membela para terduduh perkara korupsi. Para penyebar agama sibuk dengan urusannya mempertebal pundi-pundi keuangan dengan pelbagai iklan produk makanan, obat-obatan, minuman dan pakaian (fashion). Elit agama sibuk dengan pelbagai macam tawaran pertunjukkan dan safari penyiaran agama di TV dan turun lapangan ke daerah-daerah, termasuk ke kampus-kampus dengan bayaran yang sungguh menakjubkan!

Hal itu semua adalah gambar bahwa kita sebagai negara kaum beragama memang sedang krisis rasa malu! Kita telah kehilangan akal sehat, nurani, pendengaran, dan penglihatan yang tajam atas segala persoalan hidup yang menjerat kaum miskin papa. Kaum elit beragama sibuk dengan urusannya sendiri, sementara umat disibukkan dengan bagaimana bisa bertahan hidup. Elit politik sibuk dengan gaya mempertontonkan kesedihan, kelelahan kerja, kurang bayaran serta merasa kurang dihargai. Semua itu tidak lain kecuali karena kita sebagai bangsa sedang kehilangan rasa malu yang seharusnya menjadi bagian dari hidup.

Semoga kita tidak terus terpuruk oleh hilangnya rasa malu!

Penulis adalah sosiolog, pengajar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home