Kritik Pedas PM Papua Nugini Dinilai Dapat Permalukan RI
MELBOURNE, SATUHARAPAN.COM - Dalam sebuah wawancara radio di Melbourne, Australia, yang dilansir oleh abc.net.au kemarin (28/3), Perdana Menteri Papua Nugini, Peter O'Neill meminta Presiden Joko Widodo memenuhi janji pendahulunya yang ketika masih menjabat mengatakan akan mengurangi pasukan TNI yang ditempatkan di Papua.
Sebelumnya, Neill juga sudah mengungkapkan pendapatnya yang lebih tajam, yang menganggap pelanggaran HAM di Papua tidak boleh dibiarkan terus terjadi, karena rakyat Papua sudah dianggap sebagai saudara sendiri.
Richard Chauvel, pakar Papua dari Asia Institut University of Melbourne. berpendapat pernyataan Neill tersebut dapat mempermalukan Indonesia. Ia mengatakan belum pernah mendengar ungkapan yang demikian kuat dari pemimpin-pemimpin Papua Nugini sebelumnya, ketika berbicara tentang provinsi paling timur Indonesia tersebut.
"Keterusterangan Peter O'Neill meletakkan tanggung jawab pada pemerintah Joko Widodo untuk memenuhi komitmen Susilo Bambang Yudhoyono merupakan sebuah keterus-terangan yang sangat luar biasa," kata dia, sebagaimana dikutip oleh abc.net.au, kemarin (28/3).
Pilihan kata yang dipergunakan oleh Neill dalam mengidentifikasi Papua juga ia nilai menunjukkan perubahan yang signifikan. "Bahasa yang digunakan dalam mengidentifikasi Papua sebagai 'orang-orang kami', dan 'sesama rakyat Papua,' saya pikir adalah perubahan yang luar biasa dibandingkan dengan pernyataan para pendahulunya," tutur dia.
Chauvel mengatakan pernyataan Neill memiliki potensi untuk mempermalukan pemerintah Indonesia.
"Meskipun demikian, dia juga sangat berhati-hati dalam caranya mengaitkan pernyataannya dengan permintaan untuk otonomi yang lebih efektif bagi Papua dan juga tanggung jawab Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional," lanjut dia.
Papua Nugini Semakin Vokal
Negara-negara di Asia Pasifik belakangan ini semakin vokal menyuarakan keprihatinan atas keadaan Papua, termasuk Papua Nugini. Belum lama ini, Peter O'Neill berjanji akan berbuat lebih banyak untuk berbicara atas nama penduduk ras Melanesia di Papua.
"Kadang-kadang kita lupa keluarga kita sendiri, saudara-saudara kita sendiri, terutama di Papua," kata Neill dalam sebuah pidato di Port Moresby, bulan lalu.
"Saya pikir, sebagai negara, sudah saatnya bagi kita untuk berbicara tentang penindasan rakyat kita di sana," lanjut dia.
Kecuali Vanuatu, negara-negara lainnya di Pasifik selatan selama ini dianggap terlalu lambat untuk berbicara tentang pelanggaran hak asasi manusia di Papua, terutama setelah peran penting Fiji yang meloloskan Indonesia sebagai peninjau di kelompok negara-negara di Pasifik selatan, Melanesian Spearhead Group (MSG), yang beranggotakan Papua Nugini, Vanuatu, Fiji, Kaledonia Baru, dan kepulauan Solomon.
Sebagai catatan, salah satu organisasi yang pro Papua Merdeka, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau persatuan Pergerakan Pembebasan untuk Papua Barat, telah mengajukan aplikasi menjadi anggota penuh MSG, pertengahan Februari lalu di Port Vila, Vanuatu. Sejumlah negara anggota telah mengungkapkan sambutan positif terhadap aplikasi ini.
Dengan meningkatnya penetrasi media sosial, pemilih di negara-negara Pasifik selatan ini kini menjadi lebih vokal tentang kegagalan pemerintah mereka untuk bertindak atas nasib negara tetangga. "Gambar kebrutalan terhadap orang-orang kita muncul setiap hari di media sosial, namun kita tidak memperhatikan," kata Neill.
"Kita memiliki kewajiban moral untuk berbicara bagi mereka yang tidak diizinkan untuk berbicara. Kita harus menjadi mata bagi mereka yang ditutup matanya."
"Sekali lagi, Papua Nugini adalah pemimpin regional. Kita harus memimpin dalam berdiskusi secara dewasa dengan teman-teman kita dan dengan cara yang lebih menarik."
Komentar pedas Neill yang terbaru, muncul setelah pemimpin gerakan kemerdekaan Papua, Benny Wenda, ditolak masuk ke Papua Nugini Kamis (27/3) karena tidak memiliki visa.
Namun, Neill menepis anggapan bahwa penolakan itu bersifat politis. Neill mengatakan alasan Wenda tidak diizinkan untuk memasuki Papua Nugini adalah masalah imigrasi sederhana dan bukan masalah politik.
"Kami menyambut siapa pun untuk datang ke negara kami, tapi kita harus mengikuti hukum imigrasi," katanya.
- Baca Juga:
- Wawancara Rahasia Tokoh Papua Merdeka Dilansir Media Australia
- PGI Dukung Wacana Istana Kepresidenan di Papua
- GPI Papua: Otsus Bisa Jadi Malapetaka Bagi Papua
- Pemerintah Tidak Serius Dorong Freeport Bangun Smelter di Papua
Editor : Eben Ezer Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...