Membaca Jokowi
SATUHARAPAN.COM – Tidak ada fenomena politik yang lebih menarik dewasa ini selain Jokowi Effect. Kemunculan figur Joko Widodo, sejak pilgub DKI Jakarta September 2012, dan pencapresan resminya oleh PDI-P pertengahan Maret lalu, dalam sekejap mengubah lanskap pertarungan politik di tanah air.
Pria kerempeng yang penampilannya nyaris tidak memberi kesan heroik apa-apa, muncul bagai magnit berkekuatan raksasa yang mampu menyedot simpati dan perhatian publik. Tiba-tiba saja obrolan pemilu 2014 berubah drastis: orang tidak lagi meributkan calon-calon lain, yang sibuk menata penampilan dan mengucapkan janji-janji kampanye selangit, tetapi bertanya, “Siapa wakil Presiden Jokowi?” Seakan-akan pilpres sudah usai, padahal pileg saja belum dimulai!
Tentu saja orang dapat berkilah, itulah keahlian media massa yang mampu “menyulap” figur Jokowi sedemikian rupa hingga menjadi media darling. Juga – masih dalam alur pikir yang sama, hanya kali ini lebih “konspiratif” – peran konsultan asing yang konon disewa sebagai ahli strategi kampanye.
Mungkin saja tuduhan itu benar, mungkin juga tidak. Tapi ada catatan yang harus disebut. Sejak musim kampanye terbuka resmi digelar tiga pekan lalu, berita yang paling menonjol justru sebaliknya: capres lain berusaha mati-matian, dengan segala cara, menggempur citra Jokowi. Bahkan di media sosial, khususnya, beredar aneka black campaign bermuatan sentimen SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan) yang isinya menjijikkan.
Alhasil, kalau mau ditarik kesimpulan, rupanya pencapresan Jokowi menimbulkan kepanikan luar biasa pada elite-elite politik lama. Dan para elite itu boleh jadi tidak menyadari, bahwa kepanikan mereka justru merupakan energi positif yang makin melambungkan figur Jokowi. Singkatnya: kepanikan mereka adalah kampanye gratis bagi Jokowi!
Tiga pelajaran
Tentu saja masih terlalu dini untuk mengetahui pasti hasil pileg – apalagi pilpres! Dan tulisan ini, percayalah, bukan ramalan. Saya tidak memiliki kemampuan, baik secara ilmiah maupun klenik, untuk menjadi peramal. Jadi belum ada kepastian apakah benar Jokowi akan terpilih menjadi Presiden berikutnya.
Namun, terlepas dari soal terpilih atau tidaknya Jokowi, ada tiga pelajaran penting dari Jokowi Effect yang layak direnungkan. Pertama, penampilan Jokowi sebenarnya merupakan anti-tesa terhadap figur penguasa yang kelihatan pongah, arogan, sok berwibawa, selalu menjaga jarak dengan masyarakat, serta kalau pidato suka memakai istilah-istilah rumit dan ilmiah. Jokowi justru sebaliknya: tampil sederhana, menyapa setiap golongan masyarakat tanpa canggung, dan memakai ungkapan slengekan yang segera akrab. Dalam soal terakhir, ia hanya bisa ditandingi sang maestro anti-tesa lainnya: almarhum Gus Dur. Istilah “aku rapopo” yang segera populer, misalnya, segera mengingatkan orang pada “Gitu aja kok repot” warisan Gus Dur.
Saya menduga, Jokowi (baik sebagai pribadi maupun dengan tim kampanyenya) menyadari perubahan preferensi masyarakat tentang figur “pemimpin” itu. Dulu, memang, orang butuh pemimpin yang ganteng, berbadan tegap, dan kalau perlu memajang sederetan bintang penghargaan ala Soekarno. Tampilan itu menimbulkan rasa bangga bagi bangsa koeli yang baru saja memproklamasikan kemerdekaan. Tetapi gaya seperti itu sudah usang. Arus demokratisasi yang meluas dan globalisasi media yang membuka aneka ragam informasi, membuat tampilan pemimpin seperti itu tidak lagi kena. Orang justru butuh pemimpin yang menampilkan diri seperti mereka, yakni sebagai bagian dari rakyat kecil yang sedang berjuang menghadapi beratnya tekanan hidup.
Jokowi jeli membaca ini dan dengan cerdik memanfaatkannya. Ini tampak jelas dalam pilgub DKI Jakarta September 2012. Sementara lawan politiknya, pasangan Foke-Nara tampil bak birokrat, menggemakan slogan pongah “Tanyakan pada ahlinya!”, Jokowi-Ahok justru muncul bak masyarakat kebanyakan yang sederhana, terbuka, menyapa dan mau berdialog dengan seluruh kalangan. Hasilnya kita sudah mafhum semua: ia bahkan mengecoh para pakar survei.
Aspek kedua, masih berkaitan dengan yang sebelumnya, gaya kepemimpinan Jokowi juga makin menggarisbawahi citra “kesederhanaan” yang ia tampilkan. Tanpa canggung ia dapat turun dan menemui masyarakat paling bawah, memperlihatkan empati sungguh-sungguh, mau berdialog dan mendengarkan keluh kesah mereka. Sementara elite lain baru “turba” (turun ke bawah) jika itu menguntungkan, dan ramai-ramai bawa atribut partainya – saat banjir melanda Jakarta, misalnya -- Jokowi justru menjadikan “turba” itu gaya pemerintahannya yang sarat dengan blusukan.
Mari kita lihat “politik blusukan” yang sudah jadi ciri khasnya itu lebih dalam. Walau kelihatannya sederhana, blusukan Jokowi sesungguhnya merupakan strategi politik yang canggih. Pada satu sisi, ia menyingkap tabir kepalsuan yang selama ini menutupi kinerja birokrasi pemerintahan yang bobrok. Langkahnya untuk turun dan masuk ke gorong-gorong di Jakarta – sesuatu yang tak terbayangkan siapapun! – membuka tabir yang menutupi fakta bagaimana birokrasi pemerintahan sebelum dia sama sekali tidak bekerja. Pada sisi lain, dengan langkah itu ia menuai simpati masyarakat: “Akhirnya, ada pemimpin yang bukan hanya mirip kita, tetapi juga mau bekerja untuk kita!”
Kedua aspek di atas menggumpal pada aspek ketiga: Jokowi dengan piawai dapat menjadikan dirinya sebagai simbol harapan bagi perubahan rezim. Faktor ini, saya kira, penyumbang paling besar bagi Jokowi Effect: Ia menjadi penanda bahwa suatu rezim sudah berakhir, dan lembaran baru mulai dibuka. Orang tiba-tiba kembali punya harapan, setelah sebelumnya “emoh politik”. Soal ini perlu dibicarakan secara khusus.
Pertarungan dua arus
Misteri Jokowi Effect bukanlah hasil kepandaian media, atau keahlian manajer kampanye, tetapi cermin perubahan masyarakat yang jauh lebih mendalam: kebosanan orang pada kasak-kusuk politik, terutama tingkah laku partai dan para elitenya. Saya menyebutnya sebagai sikap “emoh politik” yang menggejala khususnya pada generasi muda – segmen penting dalam pemilu 2014.
Pada satu sisi, perasaan bosan itu memang dapat menjebak orang untuk kembali ke stabilitas semu yang pernah diberikan rezim Orde Baru. Dan ini dijadikan ujung tombak kampanye Partai Golkar, sembari mengusung slogan, “Piye, enak zamanku, tho?” dengan foto Soeharto tersenyum di belakangnya. Tetapi, pada sisi lain, kebosanan itu justru – paradoksnya – makin mendorong energi untuk perubahan. Enough is enough! Sudah cukup semua kasak-kusuk politik itu, yang ujung-ujungnya hanya mempertahankan old establishment saja.
Yang menarik – lagi-lagi kita bisa belajar dari pilgub DKI lalu – sikap “emoh politik” tadi lebih ditujukan pada partai-partai politik serta jagoan mereka yang tampil serba formal dan berjarak dengan masyarakat. Boleh dibilang, tingkat kepercayaan rakyat pada partai dan pemimpin formal seperti itu hampir mencapai titik nadir.
Dan Jokowi jeli membaca arus kedua ini, lalu menempatkan dirinya sebagai simbol perubahan yang kembali menerbitkan harapan. Saya kira Megawati juga menyadari kekecewaan itu. Pilihannya untuk mencapreskan Jokowi pada beberapa hari menjelang musim kampanye terbuka, merupakan hasil kalkulasi politik yang cermat.
Apakah strategi itu akan berhasil? Survei SMRC (Saiful Mujani Research and Consulting) yang dirilis Kamis (03/04/14) lalu menunjukkan, orang tidak memilih Jokowi karena PDIP, tetapi sebaliknya. Dan Jokowi Effect, walau memang akan meningkatkan elektabilitas partai banteng, tetapi tidak sebesar yang diharapkan sebelumnya. Dengan kata lain, peta pertarungan pemilu 2014 masih menarik untuk diamati.
Namun yang jelas, pemilu 2014 merupakan pertarungan final dua arus perubahan itu. Hasilnya akan menentukan apakah Indonesia akan kembali ke masa lampau, atau justru berhasil membuka lembaran baru.
Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litkom-PGI, Jakarta.
Stray Kids Posisi Pertama Billboard dengan Enam Lagu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Grup idola asal Korea Selatan Stray Kids berhasil menjadi artis pertama d...