Mencabut Akar Genosida
SATUHARAPAN.COM – Akhir pekan lalu, perserikatan Bangsa-bangsa memperingati dan menghormati para korban genosida oleh Nazi Jerman pada Perang Dunia II, di sebuah sinagog di East Park, New York. Berbagai catatan menyebut sekitar enam juta orang menjadi korban.
Pekan sebelumnya, orang-orang Armenia dan Kristen Syriac memperingati genosida yang dilakukan oleh Kekaisaran Ottoman yang terjadi pada tahun 1915 atau seabad lalu. Warga Kristen Syriac memperingatinya di gereja St Geroge di Damaskus, Suriah. Korban genosida sebad lalu itu sekitar dua juta orang.
Namun hingga sekarang kita masih menyaksikan aksi-aksi menjijikkan yang berskala genosida. Akhir abad ke-20 masih diwarnai oleh kebrutalan berskala genosida di Rwanda dan Srebrenika, dan negara bekas Yugoslavia lain. Dan awal abad ke-21 ini kita menyaksikan kengerian yang sama di Irak, Suriah, Republik Afrika Tengah, dan Nigeria.
Nasib yang dialami jutaan Muslim Rohingya di Myanmar juga disebut mempunyai skala genosida. Demikian juga apa yang dilakukan Israel pada warga Gaza pada pertengahan tahun 2014.
Setiap tahun peringatan pada kasus genosida terus dilakukan. Tragedi itu disebut sebagai holocaust, kata dari bahasa Yunani yang berarti semua terbakar, dan juga sering dikaitkan dengan kata Shoah dari bahasa Ibrani yang berarti bencana atau penghancuran.
Bencana yang dengan sengaja dilaklukan melalui pembantai besar-besaran dan sistematis terhadap satu kelompok, suku atau bangsa yang bertujuan untuk memusnahkan mereka itu yang disebut sebagai genosida.
Mengakui Kegagalan
Pada peringatan holocaust di New York, Wakil Sekretaris Jenderal PBB, Jan Eliasson justru, dengan rendah hati mengakui kegagalan dunia ini menghentikan genosida. "Setiap kali kita katakan 'tidak pernah lagi,’sebenarnya kita mengakui kegagalan dalam mencegahnya," katanya.
PBB menggunakan kampanye ‘’Never Again’’ dalam peringatan untuk menghentikan genosida, meskipun yang disaksikan adalah peristiwa yang berulang dan berulang di berbagai belahan buni ini.
Masalahnya bukan terbatas pada bencana penghacuran manusia yang sistematis dan besar-bersaran itu berulang (bahkan mungkin lebih mengerikan, karena teknologi senjata yang berkembang pesat membuat penghancuran hidup manusia menjadi makin masif). Respons kita pada bencana ini juga masih saja tidak memadai.
Bencana genosida di Republik Afrika Tengah, Nigeria, dan Suriah telah berlangsung bertahun-tahun, dan sampai hari ini belum ada titik terang bahwa hal itu akan berakhir. Sementara pada pertengahan tahun lalu muncul hal serupa di Irak utara oleh kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS).
Hati nurani dunia ini sebagai satu keluarga manusia di planet bumi, belum mampu menghentikan penghancuran manusia secara brutal itu. Bahkan di tengah konflik sektarian dan pertentangan ideologi, penghancuran manusia dianggap sebagai konsekuensi, kasusnya terus meningkat.
Mencabut Akar Genosida
Bencana genosida sering menyadarkan kita melalui kejutan tentang skala pembantai secara besar-besaran dan korban yang banyak. Namun bencana itu sebenarnya dimulai jauh sebelum pedang diayunkan, dan sebelum mesiu diletupkan.
Akar genosida adalan kebencian pada komunitas, etinis dan kelompok berkeyakinan lain. Eliasson menyebutnya dimulai dengan prasangka, diskriminasi, merendahkan orang lain,dan slogan-slogan anti kelompok lain.
Membiarkan prasangka terus tumbuh, diskriminasi atas dasar etnis, keyanikan dan golongan makin kuat, dan sikap merendahkan orang lain adalah sikap dan perilaku menanam benih genosida. Berita, pernyataan, khotbah yang berisi hal-hal tersebut adalah awal terjadinya genosida, apapun alasannya.
Kita tidak bisa melihat genosida ketika hal itu telah tumbuh dalam perilaku yang esktrem dan radikal; ketika pedang diayunkan, senjata ditembakkan, dan darah korban ditumpahkan. Selama benih-benih kebencian dan diskriminasi itu tumbuh, akan datang saatnya buah itu harus dipetik dalam bentuk penghancuran.
Sayangnya, benih-benih diskriminasi, rasisme dan kebencian atas dasar perbedaan keyakinan masih sering dibiarkan tumbuh di tengah kehidupan masyarakat kita. Padahal mencegah tragedi pada manusia yang disebut genosida harus dimulai dengan mencabut akarnya tersebut.
Genosida dan Indonesia
Kita di Indonesia, sejauh ini tidak dibicarakan terkait genosida. Namun kita tidak bisa tutup mata ketika suatu kali ada yang mampu mengungkap fakta sejarah tentang pembantaian besar-besar pada masa lalu.
Namun yang jauh lebih penting adalah bahwa bencana penghancuran manusia itu tidak boleh terjadi
di Nusantara ini. Dan kesadaran hal ini haruslah disikapi dengan tegas untuk tidak menabur benih prasangka, kebencian etnis dan golongan, serta diskrinimansi.
Dalam konteks ini, kita masih menyaksikan perilaku sebagian kelompok masyarakat yang ‘’bermain api’’ dengan menabur benih penghancuran tersebut, termasuk belakangan semakin tumbuh politik identitas yang makin kuat dipraktikan dalam proses politik.
Kampanye ‘’Never Again’’ oleh PBB tidak bisa diabaikan karena belum pernah ada di Indonesia, dan kita menjadi tidak penduli. Sebab, faktanya kita mengalami konflik horizontal yang kekejamannya juga menyerupai genosida, seperti terjadi di Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, dan tempat lain masa lalu.
‘’Never Again,’’ harus menjadi kampanye kita dengan ‘’tidak pernah lagi’’ membiarkan benih prasangka, kebencian dan diskriminasi tumbuh adalam kehidupan di antara kelompok, etnis, dan komunitas agama di Indonesia. Hanya itu yang memastikan harapan kita bahwa konflik horizontal di Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, bahkan di Cikeusik, dan Sampang ''tidak pernah lagi'' terjadi.
Warga Batuah Serahkan Seekor Trenggiling ke BKSDA
SAMPIT, SATUHARAPAN.COM- Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Resor Sampit Kabupaten Kotawaring...