Mencatut Nama, Bedanya Elite dan Jelata
SATUHARAPAN.COM – Madun dan Kuswadi ditangkap dan ditahan polisi karena mengaku anggota KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Dia tengah beraksi untuk ‘’membantu’’ kasus Prayoga, deputi kementerian desa tertinggal dalam kasus korupsi yang ditangani KPK, namun pada Oktober 2014 dia keburu ditangkap polisi di Jakarta Selatan.
Sebulan sebelumnya, Polisi di Kabupaten Sukabumi menangkap tiga orang yang ‘’mencatut nama’’ sebagai anggota KPK untuk memeras orang yang tengah menghadapi masalah hukum karena korupsi.
Sampai September 2013, KPK sendiri telah menerima 100 laporan yang kemungkinan terkait dengan orang-orang yang ‘’mencatut nama’’ KPK untuk memeras. Sasarannya adalah orang-orang yang terlibat perkara korupsi.
September lalu, Arma, 36 tahun, ditangkap polisi di Jayapura, Papua. Dia bukan anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD), tetapi mengenakan seragam militer dan mengaku berpangkat sersan mayor.
Pada Juli lalu, Noviyanto, seorang pemuda berumur 22 tahun, mengaku anggota Korps Pasukan Khusus (Kopasus). Dia ‘’mencatut nama’’ sebagai anggota Kopasus alias Kopasus gadungan, dan akhirnya ditangkap polisi.
Mencatut Nama
Anggota KPK gadungan dan anggota TNI gadungan itu ‘’mencatut nama’’ lembaga dan menggunakannya untuk melakukan tindakan yang melawan hukum. Kasus-kasus seperti itu yang terungkap biasanya langsung ditangani polisi dan tersangkanya ditahan, kemudian diajukan ke pengadilan.
Di antara mereka ada yang berhasil memeras korban, dan sebagian aksinya belum ‘’membuahkan hasil.’’ Namun tindakan mereka ‘’mencacut nama’’ lembaga, dan ‘’berbohong’’ dengan mengaku sebagai anggota sebuah institusi sudah cukup untuk menjadi dasar memperkarakan mereka secara pidana.
Kasus yang mirip sekarang muncul dengan pelaku dari kalangan yang berbeda dengan para ‘’gadungan’’ itu. Ketua DPR, Setya Novanto, disebut-sebut secara luas oleh media massa ‘’mencatut nama‘’ Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan masalahnya terkait saham PT Freeport, sebuah perusahaan tambang emas yang beroperasi di Papua.
Bedanya, perkara ini oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said, yang mengadukannya, dibawa ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Entah apa pertimbangannya, dia tidak membawa perkara ini pada polisi, walaupun kelihatannya sama-sama ‘’mencatut nama’’ seperti para gadungan dari kalangan rakyat biasa.
Pidana dan Etika
Yang membedakan adalah perkara ‘’mencatut nama’’ dengan pelaku rakyat biasa dilihat sebagai perkara pidana. Sedangkan perkara pada kalangan ‘’elite’’ tampaknya dilihat sebagai perkara etika.
Para ‘’gadungan’’ dari rakyat biasa yang ‘’mencatut nama’’ ditangkap polisi, diborgol, dan ditahan. Elite yang ‘’mencatut nama’’ mungkin hanya akan ditanya oleh Mahkamah Kehormatan. Mungkin juga akhir cerita akan seperti kasus sebelumnya, ‘’vonis’’ yang dijatuhkan hanyalah ‘’teguran’’, bukan penjara yang buat rakyat biasa.
Inikah yang terus dipertahankan sebagai penampilan penegakan hukum di Indonesia yang sering dengan sinis dikatakan ‘’tajam’’ ke bawah, dan ‘’tumpul’’ ke atas? Bukankah selama ini, kalangan ‘’elite’’yang terlibat kasus pemalsuan, penggelapan, atau menghalangi penegakan hukum, hanya dimutasi, dan bebas dari perkara pidana?
Apa yang bisa kita katakan tentang negara kita sebagai negara berdasarkan atas hukum, jika praktik penegakan hukum seperti ini?
Kamala Harris: Negara Harus Terima Hasil Pemilu, Mendesak Pe...
WASHINGTON DC, SATUHARAPAN.COM-Menghadapi penolakan besar-besaran oleh para pemilih Amerika, Kamala ...