Menghentikan Prasangka
SATUHARAPAN.COM – Penembakan tiga mahasiswa muslim di North Carolina AS (12/2/2015) menambah deretan panjang catatan hitam kekerasan berbasis agama. Penembakan brutal yang kabarnya dilakukan seorang ateis dengan motif kebencian agama ini menyadarkan kita betapa kehidupan ini semakin tidak aman. Kebencian terhadap satu kelompok masyarakat yang berasal dari ras dan keyakinan tertentu diekspresikan dengan cara-cara yang brutal.
Sebelumnya, awal tahun 2015, dunia dunia juga digemparkan dengan aksi brutal tiga orang bersenjata masuk ke dalam ruang redaksi Majalah Charlie Hebdo di Paris. Satu persatu redaktur majalah satire yang sedang rapat diberondong dengan timah panas. Tanpa ampun! Dua belas orang meradang nyawa, termasuk kartunis-kartunis handal Charlie Hebdo yang sering membuat karikatur nyinyir. Seoarang polisi yang sudah terjatuh di trotoar dekat kantor Majalah Charlie Hebdo dan sudah mengangkat dua tangan minta ampun, tak luput dari kebrutalan itu. Dor! Polisi itu tak bergerak lagi.
Peristiwa itu meningkatkan ketegangan hampir di seluruh Eropa. Gerakan anti imigran dan anti Islam meningkat. Bahkan di Jerman muncul gerakan warga Eropa patriotik anti Islamsiasi di Barat (PEGIDA). Mereka turun ke jalan meneriakkan ketidaksukaan mereka pada imigran di Jerman. Imigran-imigran itu sebagian besar muslim, sehingga anti imigran berimpit dengan anti Islam. Gerakan ini jelas menjadi ancaman serius multikulturalisme Eropa.
Situasi itu kembali diperkeruh dengan aksi sejumlah suporter klub sepakbola Inggris, Chelsea, yang melontarkan teriakan rasialis di stasiun kereta bawah tanah Paris menjelang pertandingan 16 besar Liga Champion antara Paris St Germain (PSG) melawan Chelsea (17/2/2015). Sejumlah suporter itu bahkan menghalangi seorang laki-laki berkulit hitam untuk masuk ke dalam kereta. Aksi ini segera mendapat kecaman keras dari komunitas sepakbola internasional.
Menjelang akhir tahun 2014, Australia juga dikejutkan dengan penyanderaan beberapa orang di sebuah kafe di Sydney (16/12/2014) yang diduga dilakukan kelompok militant-teroris. Aksi penyanderaan yang menewaskan dua orang tersebut menjadi persoalan baru di Australia yang selama ini dianggap cukup sukses mengelola multikulturalisme. Akibat dari persoalan tersebut, ada seorang perempuan Australia yang ketakutan mengenakan jilbab di tempat umum. Untungnya, masyarakat Australia cukup dewasa dan tidak terprovokasi dengan tindakan penyanderaan tersebut.
Di belahan yang lain, Timur Tengah, muncul gerakan politik brutal ISIS atas nama agama yang tidak segan-segan memenggal kepala manusia, bahkan membakar manusia hidup-hidup masih belum bisa sepenuhnya ditumpas. Gerakan yang dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi ini masih menebar ancaman serius. Terakhir, setelah memenggal kepala 2 orang wartwan Jepang dan membakar 21 orang Kriten Koptik Libya. Mereka kini menebar ancaman bukan hanya di Irak, Syuriah, Libya dan beberapa wilayah Timur Tengah, tapi juga ke seluruh penjuru dunia, terutama Eropa.
Di kawasan Afrika, ada gerakan Boko Haram di Nigeria yang juga mengusung ideologi kekerasan berbasis agama. Mereka tidak segan menculik anak-anak sekolah dan membunuh. Hal yang menyedihkan mereka membalut diri dengan Islam. Nama Boko Haram sendiri dalam Bahasa Arab adalah Jama’atu Ahlissunna li Da’wati wal Jihad (Kelompok yang teguh berpegang pada Sunnah Rasulullah untuk Dakwah dan Jihad).
Di berbagai tempat seperti Yaman, dan juga Indonesia juga ada gerakan-gerakan militan, baik yang bersifat lokal maupun yang menjadi jaringan gerakan militan internasional seperti al-Qaeda. Indonesia sendiri belum bisa sepenuhnya melepaskan diri dari ancaman kelompok teroris yang bisa menebar ancaman setiap saat.
Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan situasi keamanan dunia yang semakin mengkhawatirkan. Iklim kecurigaan dan kebencian baik yang bersifat rasial, anti-semitisme maupun islamophobia seperti virus yang terus menyebar. Pertanyaan besarnya, mengapa situasi ini terjadi, dan bagaimana menghentikannya? Tentu ini bukan pertanyaan sederhana yang mudah dijawab.
Menghentikan Prasangka
Bila ditelusuri lebih mendalam, pangkal dari seluruh persoalan tersebut adalah adanya prasangka (stereotype) yang menghinggapi kelompok-kelompok yang bertikai. Prasangka itu berujung pada perasaan saling terancam. Norman Daniel dalam karya klasiknya, Islam and the West: The Making of an Image (1960) mengungkapkan pembentukan mispersepsi dan antipati Barat-Kristen terhadap Islam dalam berbagai seginya: al-Qur’an, kehidupan Muhammad, doktrin jihad, peran kaum perempuan dan harem, moralitas Islam, sikap terhadap agama lain dan pengikutnya sendiri.
Menurut Daniel, semuanya itu terutama terbentuk pada masa berlangsungnya Perang Salib (Crusade), dan tidak banyak mengalami perubahan sejak itu. Ia menyatakan, reaksi-reaksi Kristen yang paling awal terhadap Islam sama saja dengan apa yang berlangsung sekarang. Tradisinya terus berlangsung dan tetap hidup dewasa ini.
Seorang ilmuwan Perancis Maxime Rodinson, sebagaimana dikutip Fawaz A. Gerges (1999) juga mengatakan, Umat Kristen di Barat pada umumnya mempersepsi dunia muslim sebagai bahaya, jauh sebelum Islam Islam dilihat sebagai masalah nyata. Pandangan yang kurang lebih sama dikemukakan sejarawan Inggris Albert Hourani (1991). Dia mengemukakan, Islam sejak awal kemunculannya merupakan masalah bagi Eropa yang Kristen. Dalam pandangan Hourani, Eropa memandang Islam campuran antara ketakutan dan ketidakmengertian. Bangsa Kristen tidak bisa menerima kenabian Nabi Muhammad.
Hal yang paling umum diyakini umat Kristen, kata Albert Hourani, adalah bahwa Islam agama palsu yang disebarkan dengan pedang dan darah. Prasangka ini terus berlanjut dalam interaksi berabad-abad yang telah menorehkan sejarah pahit antara dunia Islam dan Barat yang Kristen. Mereka berlomba untuk saling menguasai dan menundukkan, baik secara politik, ekonomi maupun kebudayaan.
Memang sejarah tidak berjalan linier. Pada kurun waktu tertentu bandung hubungan Barat-Muslim berayun diantara rivalitas/konfrontasi dan kolaborasi/akomodasi. Namun, prasangka-prasangka tersebut tidak sepenuhnya hilang. Dalam situasi politik tertentu prasangka bisa menguat kembali. Itulah yang kita saksikan dengan berbagai tindakan sekelompok orang di Eropa yang merendahkan Islam. Hal ini dilakukan atas nama kebebasan berpikir dan berekspresi, seperti kartun yang merendahkan Nabi Muhammad, film Fitna, ide pembakaran al-Quran oleh Pendeta Terry Jones, majalah satire Charlie Hebdo dan sebagainya. Inilah yang kemudian berkembang menjadi islamophobia.
Di pihak lain, kelompok Islam juga mempunyai prasangka buruk terhadap Barat-Kristen. Barat misalnya dianggap sebagai kekuatan yang ingin menghancurkan Islam, kolonialis, memaksakan peradaban mereka pada dunia Islam dan sebagainya.
Bila prasangka tersebut tidak dihentikan, bukan tidak mungkin situasi akan semakin buruk. Namun itu pun tidak cukup. Kekuatan-kekuatan brutal seperti ISIS tidak bisa dibiarkan berkembang dan meracuni pikiran kita. Barat juga mestinya lebih dewasa tidak terus menerus memprovokasi amarah orang Islam yang memang gampang terpancing. Pikiran-pikiran dewasa di kedua belah pihak, Islam dan Barat, yang akan mampu menjembatani ketegangan keduanya. Dengan satu syarat: hilangkan prasangka!
Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Peneliti Senior the WAHID Institute
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...