Menghormati Hukum
Belajar dari kasus GKI Yasmin
SATUHARAPAN.COM – By design, sejak merdeka tahun 1945, Indonesia adalah negara hukum. Segenap komponen bangsa ini, terlebih para pemimpinnya, tentulah paham betul soal itu. Apalagi hal ini tercantum secara tegas pada bagian Penjelasan Umum UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara, yakni: (1) Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat); (2) Sistem Konstitusional Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).Atas dasar itu berarti supremasi hukum adalah segala-galanya di negara ini. Hukum adalah panglima, dan karena itu ia harus ditinggikan lebih dari politik. Pertanyaannya, apakah secara faktual negara ini sudah sungguh-sungguh berupaya mewujudkan supremasi hukum? Sudahkah para pemimpin eksekutif dan aparat penegak hukum disiplin dan berupaya semaksimal mungkin dalam mengawal hukum?
Di Kota Bogor, ada sebuah kasus yang memperlihatkan bahwa hukum sebagai panglima tak ubahnya pepesan kosong, karena kepala daerahnya justru membangkang terhadap putusan hukum. Duduk perkaranya begini. Tertanggal 13 Juni 2006, GKI Yasmin secara resmi memperoleh Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk gedung gereja di Jalan Abdullah bin Nuh Nomor 31, Bogor. Namun pada 11 Oktober 2006, Sekda Kota Bogor menyampaikan opsi agar pihak GKI Yasmin memindahkan lokasi gereja, karena ada protes dari kelompok tertentu kepada Walikota yang meminta agar pembangunan tersebut dihentikan. Ini layak dipertanyakan: apa hak Sekda Kota Bogor mengeluarkan opsi tersebut? Akhirnya, 25 Februari 2008, Wali Kota Bogor mengeluarkan pembatalan rekomendasinya atas IMB GKI Yasmin dengan alasan “sikap keberatan dan protes dari masyarakat terhadap Pemkot Bogor terkait pembangunan gedung gereja”. Sebagai tanggapan, pada 28 Februari 2008, pihak GKI Yasmin menyampaikan surat keberatan kepada Walikota Bogor atas pembekuan IMB tersebut.
Tindakan Wali Kota tersebut dapat dikategorikan “cacat hukum”. Pertama, karena IMB yang sudah dikeluarkan tak dapat dicabut kembali. Apalagi Perber Dua Menteri No. 8 dan No. 9 Tahun 2006 (yang antara lain mengatur syarat-syarat pembangunan rumah ibadah) pun tidak menyebut-nyebut tentang kewenangan kepala daerah untuk mencabut sebuah IMB. Kedua, alasan “protes dan keberatan dari kelompok tertentu” yang menyebabkan Wali Kota Bogor mengubah keputusan resmi yang dibuatnya menunjukkan ia tipikal pemimpin yang tak dapat dipercaya serta tak paham seluk-beluk hukum dan proses pembuatan kebijakan publik. Di mana letaknya kewibawaan hukum jika hukum begitu mudahnya diubah karena desakan sekelompok orang? Seberapa pun banyaknya jumlah mereka, bukankah hukum tetap harus dijunjung tinggi? Atas dasar itu, alih-alih membatalkan keputusannya, bukankah Diani Budiarto seharusnya berupaya ”menyadarkan” dan ”menertibkan” mereka?
Akhirnya GKI Yasmin pun berjuang hingga berujung di pengadilan. Tahun 2009 keluarlah putusan Mahkamah Agung (MA) No. 127 PK/TUN/2009 yang menyatakan IMB GKI Yasmin sah. Namun kemudian, Pemkot Bogor mencabut IMB GKI Yasmin tersebut melalui Surat Keputusan (SK) No. 645.45-137 per 11 Maret 2011. Bukankah MA adalah lembaga pengadilan tingkat akhir, yang berarti putusannya sudah final dan seharusnya langsung dieksekusi? Namun, mengapa bertahun-tahun sesudahnya Pemkot Bogor berani mengabaikan putusan tersebut? Bukankah itu sama saja dengan pembangkangan secara hukum?
Pihak GKI Yasmin pun mengadukan persoalan ini ke Ombudsman RI. Pada 18 Juli 2011, Ombudsman mengeluarkan rekomendasi untuk Pemkot Bogor, yang intinya memberi waktu 60 hari untuk mencabut SK Wali Kota Bogor tertanggal 11 Maret 2011. Ombudsman menilai SK Walikota Bogor tentang pencabutan IMB GKI Yasmin itu merupakan perbuatan mal-administrasi. SK yang dikeluarkan oleh Wali Kota Bogor itu dianggap sebagai perbuatan melawan hukum dan pengabaian kewajiban hukum serta menentang putusan Peninjauan Kembali (PK) MA Nomor 127 PK/TUN/2009.
Pada 18 September 2011, batas waktu yang diberikan Ombudsman berakhir. Namun, Wali Kota Bogor tetap membandel. Akibatnya jemaat GKI Yasmin tetap tak bisa beribadah di lahan dan gedung yang mereka miliki secara sah itu hingga kini.
Sikap tak taat hukum yang diperlihatkan Wali Kota Diani Budiarto seharusnya disikapi dengan tegas oleh pejabat-pejabat negara di atasnya. Namun faktanya, semua seakan lepas tangan. Kalaupun memberi solusi, herannya para pejabat itu justru menyarankan agar GKI Yasmin juga membangkang putusan MA, yakni bersedia direlokasi.
Pada 16 Desember 2011, di kediamannya sendiri di Cikeas, Jawa Barat, Presiden SBY berjanji di hadapan para pemimpin Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang menemuinya bahwa ia siap turun tangan langsung jika para bawahannya di kabinet tak mampu mengatasi masalah GKI Yasmin. Tapi tak lama setelah itu, melalui juru bicaranya, Julian Aldrin Pasha, SBY mengatakan bahwa dirinya tak mungkin mengintervensi kasus GKI Yasmin karena terhalang oleh UU Otonomi Daerah. Betapa mudahnya SBY berdalih. Tidakkah ada rasa malu di dalam dirinya, karena Indonesia telah menjadi sorotan dunia gara-gara kasus GKI Yasmin? Tidakkah ada kemauan politik untuk menyelesaikan masalah ini demi menjaga kewibawaan hukum? Mungkin SBY tak sadar bahwa ia bukan hanya presiden, tapi juga kepala negara. Dalam kapasitas itulah SBY berwenang “menertibkan” Wali Kota Diani Budiarto demi supremasi hukum. Boleh jadi lantaran itulah maka pada 9 Februari 2012, Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana berkata: “Kami minta ketegasan Presiden secepatnya mengingat masalah ini krusial, tidak boleh dianggap sepele.”
Pada 7 April 2014, Diani Budiarto sebagai Wali Kota Bogor resmi diganti oleh Bima Arya. Menurut Bima, ketika ditemui perwakilan GKI Yasmin usai dirinya dilantik, ia masih harus mempelajari kasus tersebut. Saat itu ia juga menegaskan agar jangan meragukan komitmennya akan konstitusi dan kebinekaan. Pertanyaannya, butuh waktu berapa lama untuk memahami kasus ini? Mengapa hingga kini segel GKI Yasmin belum juga dicabutnya? Bahkan yang mengherankan, dua pekan menjelang Natal 2014, ia berani menyatakan bahwa GKI Yasmin sudah dibubarkan. Ia mengklaim telah mendapatkan persetujuan soal pembubaran dari lembaga gereja GKI sendiri. “Kami tegaskan jika jemaat GKI Taman Yasmin itu sudah tidak ada. Itu sesuai dengan penyataan Majelis GKI Pengadilan sebagai induk GKI di Bogor,” katanya, 23 Desember lalu.
Menyikapi pernyataan Bima Arya, pihak GKI menampik dan menganggap pernyataan tersebut bohong. Sesuai Sidang Sinode GKI pada 3-5 Desember 2014, ditegaskan bila GKI Taman Yasmin tak pernah dibubarkan atau ditutup oleh Sinode maupun gereja induk GKI Pengadilan. Dalam sidang tersebut justru Sinode GKI meminta agar pemerintah segera membuka segel gedung gereja sesuai putusan MA.
Tak dapat dibantah, Wali Kota Bima Arya adalah contoh pemimpin yang tak menghormati hukum. Herannya, untuk membenarkan tindakan pembangkangannya itu, ia sanggup “berpura-pura bodoh” dengan mengalihkan duduk perkara ke persoalan internal antara GKI Yasmin dan GKI Pengadilan.
Penulis adalah dosen FISIP Universitas Pelita Harapan.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...