Mesuji Siap Bergolak Lagi?
SATUHARAPAN.COM - Setelah mencuatnya kasus Register 45 Mesuji Lampung di tingkat nasional pada tahun 2011 lalu yang melahirkan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Mesuji, ironisnya konflik agraria di kawasan hutan Register 45 ini justru menjadi semakin kronis. Mandulnya rekomendasi TGPF, saling lempar tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah dan dinamika politik lokal diduga merupakan faktor utama yang membuat penanganan konflik ini tidak adekuat.
Ibarat koreng, semakin digaruk semakin gatal. Semakin digusur, semakin banyak pula yang datang kembali. Tidak dilaksanakannya berbagai rekomendasi TGPF pada akhirnya menyebabkan belasan ribu orang kembali masuk ataupun berada di kawasan Hutan Register 45. Kondisi ini tentu saja mempersulit penanganan atas aktor-aktor yang terlibat konflik, maupun pengendalian atas wilayah yang dipersengketakan.
Menjelang Idul Fitri, Gubernur Lampung kembali membentuk tim dan memerintahkan Operasi Gabungan Penertiban Register 45 Kabupaten Mesuji. Ratusan personel dari berbagai instansi diterjunkan dalam operasi ini. Satu hal yang menarik, kali ini dengan tegas pemerintah daerah mengatakan bahwa dana penertiban berasal dari APBN. Hal ini penting setelah sebelumnya TGPF Kasus Mesuji menemukan fakta bahwa biaya penertiban yang lalu lebih banyak ditanggung oleh perusahaan pemegang HPHTI.
Pendekatan represif tampaknya akan kembali menjadi pilihan untuk menyelesaikan konflik di Register 45. Padahal, sejarah telah mencatat bahwa berulang kali proses sosialisasi dilakukan pada akhirnya akan berujung pada penggusuran dan proses penegakan hukum pada akhirnya akan berujung pada penangkapan. Sejak tahun 2006, berulang kali operasi atas nama penegakan hukum yang dilakukan tak kunjung menyelesaikan persoalan. Sebaliknya, konflik justru semakin kronis dan berkembang luas.
Bila penegakan hukum terhadap orang-orang yang dituduh merambah hutan terus dilakukan, bagaimana dengan penegakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan perusahaan pemegang HPHTI?. Bila terus begini, bukan tidak mungkin spiral kekerasan akan terus terjadi di Register 45 Mesuji. Hal yag memprihatinkan adalah ketika nasib masyarakat tampaknya tidak menjadi prioritas pemerintah.
Menjadi ironis tentunnya ketika penegakan hukum dilakukan dengan menegasikan nasib rakyat. Terlebih konflik agraria yang terjadi juga secara langsung membawa implikasi pada pemenuhan hak-hak warga negara. Selain tidak diakui sebagai penduduk dan memiliki dokumen kependudukan, ribuan anak kehilangan haknya untuk mendapat akta kelahiran, layanan kesehatan dan pendidikan dasar yang memadai. Situasi ini pada akhirnya menempatkan masyarakat yang tinggal di Register 45 berada dalam kondisi sub-human.
Masih Adakah Solusi?
Mencermati laporan TGPF Kasus Mesuji jelas sekali bahwa persoalan di Register 45 adalah persoalan akses pengelolaan hutan yang terhambat akibat monopoli penguasaan yang lahir dari selembar lisensi. TGPF juga menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah yang berubah-ubah, lemahnya pengawasan pemerintah, investor yang tidak menjalankan kewajiban dan penyalahgunakan izin, masyarakat yang tersingkir dan menjadi agresif, serta beroperasinya spekulan tanah ditengarai menjadi penyebab konflik di Register 45 tidak pernah tuntas diselesaikan.
Tauhid dalam buku klasiknya Masalah Agraria menjelaskan bahwa tanah adalah sumber kehidupan, siapa yang menguasai tanah maka ia menguasai penghidupan. Tak bisa dipungkiri bahwa konflik agraria yang terus bermunculan terkait erat dengan persoalan penghidupan. Berbagai penelitian juga telah membuktikan bahwa banyak konflik agraria berasal dari kebijakan pejabat publik yang menggunakan wewenangnya untuk mengeluarkan lisensi bagi perusahaan-perusahaan raksasa.
Ini ironis, karena pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan, adalah tugas negara untuk mengelola sumber daya alam, yakni bumi, air dan kekayaaan alam yang terkandung di dalamnya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Ahmad Sodiki (2012) menjelaskan bahwa apa yang dimaksud dalam Pasal 33 tersebut tidak akan pernah tercapai hanya dengan menegakkan hukum semata. Ia menjelaskan penegakan hukum sumber daya alam yang mengandung cacat pada akhirnya justru hanya akan menimbulkan ketidakadilan sosial.
Pada level nasional kita bisa melihat berbagai koreksi terhadap kebijakan kehutanan terus dilakukan. Mahkamah Konstitusi misalnya telah membatalkan sejumlah aturan tentang penunjukan kawasan hutan dan terakhir pengakuan terhadap keberadaan hutan adat. Koreksi-koreksi ini tentunnya dilakukan dengan kesadaran bahwa konflik agraria di kawasan kehutanan pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari model kebijakan yang dianut.
Akses pengelolaan kawasan hutan adalah kata kunci dalam konflik-konflik kawasan kehutanan. Ribot dan Pelluso (2003) menjelaskan bahwa akses adalah kemampuan untuk mendapatkan manfaat dari sumber daya alam berkaitan dengan konstelasi, relasi dan berbagai proses yang dinamis. Perbedaan status legitimasi, relasi antar aktor pada akhirnya melahirkan perbedaan perlakukan. Akibatnya ketidakadilan yang berkepanjangan terus terpelihara karena terjadinnya kontrol akses atas sumber daya.
Register 45 Mesuji sesungguhnya hanyalah sebuah potret kecil dari ratusan atau bahkan ribuan konflik di kawasan kehutanan. Problem akses pengelolaan kawasan hutan sejatinya adalah akar masalah dari berbagai konflik yang terjadi di kawasan kehutanan. Tak heran tuntutan reforma agraria terus-menerus didesakkan berbagai kalangan. Tentu saja kita berharap akan lahir sebuah kebijakan yang afirmati dan deliberatif sebagai model kebijakan pengelolaan kawasan hutan yang mengusung perluasan akses dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan. Semoga.
Penulis adalah Mahasiswa S3 Ilmu Hukum UNDIP
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...