Mochtar Pabottingi: Indonesia Tidak Akan Hancur
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pada talk show bertema “Intoleransi dalam Kehidupan Politik, Sebuah Realitas di Indonesia” yang dilaksanakan satuharapan.com pada Kamis (3/4), Mochtar Pabottingi mengatakan Indonesia tidak akan hancur berkeping-keping.
Pabottingi menceritakan percakapannya dengan sesama dosen tamu pada sebuah kesempatan di Amerika Serikat.
Rekannya itu berkelakar mengenai kondisi intoleransi di Indonesia yang menurutnya akan membuat Indonesia hancur berkeping-keping. Menanggapi hal tersebut, Pabottingi menjawab, “tidak, Indonesia tidak akan hancur berkeping-keping seperti yang Anda katakan.”
Menurut peneliti utama bidang perkembangan politik nasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu, Indonesia tidak akan hancur hanya jika modal sosialnya didasarkan pada nasion atau rasa kebangsaan.
Namun berdasarkan pengamatannya, Pabottingi menilai seluruh proses pembicaraan dan perdebatan dalam era reformasi saat ini pada umumnya tidak membicarakan nasion sehingga tidak ada lagi rasa kebangsaan itu.
Demokrasi dan Nasion di Indonesia
Pabottingi memaparkan pengamatannya mengenai korelasi demokrasi dengan nasion di Indonesia.
Menurutnya, “demokrasi kita rusak karena semua diskursus dan praktik demokrasi tidak mengindahkan nasion, bahkan menginjak-injak nasion dengan membuat undang-undang yang tidak didasarkan pada nasion. Harusnya, pendekatan kita adalah pendekatan nasion yang secara definitif bersifat plural.”
Pabottingi menegaskan, “Indonesia bukan milik satu golongan, melainkan milik bersama. Karena itu, setiap warga negara, tanpa terkecuali, perlu dipenuhi hajat materiilnya serta hajat nilai yang lebih bersifat transenden. Kedua hajat ini harus dipenuhi karena bersifat aksiomatis, tidak bisa tidak.”
Lebih lanjut Pabottingi mengungkapkan tiga makna filosofis yang dalam mengenai sifat demokrasi.
“Pertama, demokrasi harus dipandang sebagai suatu sistem yang berlangsung secara bergiliran untuk memperhatikan siapa yang sedang naik. Kedua, tidak ada finalitas tentang kebenaran yang diabadikan dan diformalkan. Jadi semua kebenaran yang ada di politik itu tidak bersifat final. Kebenaran yang mutlak dan abadi hanyalah kebenaran milik Tuhan,” ia mengatakan.
“Yang terakhir, demokrasi mengakui bahwa setiap manusia mudah bersalah, mudah menyimpang, mudah menyeleweng. Hanya melalui demokrasi itulah, kesalahan-kesalahan tadi dapat dikoreksi,” pungkas Pabottingi.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...