Mulai dari Nol, Ya!
Cara pandang baru pada hari Idul Fitri menjadikan kacamata yang kita kenakan bening, bersih.
SATUHARAPAN.COM – Sekian tahun lalu, sempat viral sebuah iklan komersial yang dikaitkan dengan Hari Raya Idul Fitri. Kalimat yang mungkin masih diingat orang pada iklan itu adalah, ”Mulai dari nol ya!” Ungkapan sederhana itu menyiratkan pemahaman yang besar.
Mulai dari nol berbicara tentang awal bukan akhir, start not finish. Itu berarti, kita bisa memahami bahwa Hari Raya Idul Fitri bukanlah akhir, puncak dari spiritualitas iman umat Islam. Idul Fitri justru awal dari praksis kehidupan iman.
Memang ada pemahaman yang menyatakan bahwa Idul Fitri berarti kembali menjadi suci. Pemahaman itu menjadikan Idul Fitri sebagai pijakan kehidupan yang baru. Itu sebabnya, setelah kembali fitri, kehidupan yang saling bermaaf-maafan dilakukan. Dengan bermaaf-maafan, babakan baru kehidupan menjadi berbeda. Sebab, lewat tindakan bermaaf-maafan itu, terbuanglah prasangka buruk, kebencian, dendam pada sesama.
Bermaaf-maafan juga mencerminkan pentingnya ”ketakberdosaan” dalam membangun relasi dengan sesama. Kehidupan baru akan dimulai kembali, berangkat dari bersihnya diri. Kini, relasi terjalin bagai selembar kertas kosong. Ada semacam ajakan untuk menulis ulang kertas kosong itu, dengan nilai-nilai yang sesuai dengan kehendak-Nya.
Mulai dari nol juga mencerminkan kebergantungan mutlak, total berserah. Kapan start kehidupan manusia dimulai? Saat ia dilahirkan. Pada waktu itulah hakikat manusia seutuhnya terkuak utuh dan jelas. Seperti seorang bayi, manusia pada dasarnya rapuh dan tak berdaya. Bayi sepenuhnya bergantung pada orang tuanya, atau pada orang di sekitarnya. Ia tak mampu melakukan aktivitas berarti, selain dari tangis yang menyimbolkan beragam makna.
Di sini manusia diajak belajar kembali untuk mengingat hakikat hidupnya. Idul Fitri menyadarkan betapa kita tidak bisa melakukan apa pun, di luar kekuatan Tuhan Sang Mahakuasa. Manusia bergantung sepenuhnya kepada Tuhan. Nyawanya, nafasnya, dagingnya, jalan hidupnya. Semua yang ada pada diri manusia hanya berasal dari Tuhan Sang Pemberi. Kalaupun ada keberkahan dalam bentuk harta atau kedudukan, semua itu hanya titipan. Bukan milik manusia.
Semangat iman semacam ini menjadi penting di tengah maraknya klaim kepemilikan yang terasa semakin menguat dalam kehidupan. Pemilik harta, pemilik suara rakyat, pemilik kebenaran, dan banyak rasa kepemilikan lain yang menguasai hidup manusia. Manusia berebut kepemilikan, bahkan dengan cara kotor sekalipun. Idul Fitri mengajarkan agar manusia berebut kepasrahan total kepada Tuhan.
Mulai dari nol menghadirkan kehidupan yang dijalani dengan cara pandang yang baru. Cara pandang sangat dibutuhkan dalam melihat realitas. Ia bagai kacamata berwarna yang kita kenakan. Jika kacamata berwarna coklat, maka realitas akan tampak berwarna coklat. Jika merah, akan terlihat merah. Cara pandang baru pada hari Idul Fitri menjadikan kacamata yang kita kenakan bening, bersih. Pada waktu itulah manusia mampu memberi apresiasi pada sesamanya.
Selamat Idul Fitri, selamat ”mulai dari nol”.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor: Yoel M. Indrasmoro
Rubrik ini didukung oleh PT Petrafon (www.petrafon.com)
KPK Tetapkan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, Tersangka Kasus...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Jenderal PDI Perju...