Orang Kristen di Suriah Berjuang untuk Tanah Air
MALIKIYA, SURIAH, SATUHARAPAN.COM – Komandan Johan Cosar berdiri di atap rumah yang ditinggalkan penghuninya di desa Gharduka, desa Kristen Syriac. Desa itu terletak sekitar 60 kilometer barat daya Malikiya di Suriah bagian timur laut.
Dia menunjuk ke arah sebuah lapangan luas: "Di situlah Negara Islam (IS atau Negara Islam Irak dan Suriah /NIIS) ada, satu setengah kilometer dari sini," katanya. Nama itu juga mengacu pada organisasi yang juga dikenal sebagai ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) atau ISIL (Islamic State of Iraq and Levant).
Bangunan kumuh itu berfungsi sebagai pangkalan militer untuk Dewan Militer Syriac (juga dikenal sebagai MFS), cabang militer Suriah yang berbasis di Dewan Nasional Mesopotamia, sebuah organisasi internasional yang didirikan untuk membantu masyarakat Suriah di seluruh dunia.
Tentara di sana adalah anggota komunitas Kristen tertua di dunia. Mereka tengah bertempur untuk mempertahankan identitas mereka untuk hidup dan Tanah Air mereka, agar tidak jatuh ke tangan apa yang mereka sebut penyerbu asing. Mereka bekerja bergandengan tangan dengan pasukan keamanan masyarakat yang disebut Sutoro.
Tentang situasi mereka dan perjuangan MSF diungkapkan oleh Wartawan, Sofia Barbarani, yang dipublikasikan oleh situs haaretz.com, hari Selasa (16/12) berikut ini.
Minoritas Jadi Target
Kekerasan dan menargetkan kaum minoritas oleh kelompok-kelompok jihad radikal, termasuk NIIS menyebabkan puluhan ribu orang Kristen di sana melarikan diri kota dan desa mereka di Irak dan Suriah.
Cosar, adalah orang Syriac dari Italia-Swiss, yang membantu mendirikan MFS. Pada bulan Juni 2012, mantan pemilik sebuah klub berusia 32 tahun itu meninggalkan Swiss untuk pergi ke Suriah dalam upaya untuk lebih memahami perang saudara yang terjadi.
"Pada saat itu Suriah utara belum tersentuh oleh kekerasan dari perang, tapi hal itu telah bergerak ke sini, jadi saya berkata 'kita perlu melakukan sesuatu," dia menjelaskan.
Cosar melatih pemuda Syriac yang telah mengangkat senjata, tetapi sangat sedikit atau tidak ada pengalaman militer. "Idenya adalah untuk menciptakan sebuah kekuatan militer internal yang bisa mempertahankan wilayah dan kota-kota rakyat kami dan warga sipil lainnya. Ada kebutuhan primer untuk mengatur diri secara militer," kata Cosar. Pembentukan unit-unit tempur MFS secara resmi diumumkan pada tanggal 8 Januari 2013.
Pelatihan ini mirip dengan apa yang Cosar terima di Angkatan Bersenjata Swiss. Orang-orang yang terlatih dengan baik dalam persenjataan ringan dan berat, termasuk granat tangan, senapan sniper, senapan serbu Kalashnikov dan "Dushka," senapan mesin berat buatan Rusia. Ratusan pemuda telah melalui hal itu. Mayoritas dari mereka berusia lebih dari 18 tahun, namun sebagian tampak lebih muda.
"Kami sudah melatih mereka tentang bagaimana menggunakan senjata dengan aman, senjata perlu menjadi bagian dari Anda. Anda harus memiliki kontrol senjata, bukan sebaliknya, " kata Cosar. Dia mengatakan bahwa belum pernah ada korban jiwa, tetapi beberapa anak buahnya terluka dalam pertempuran.
"Sebagai orang Kristen kita tidak hanya berjuang melawan Negara Islam, kita berjuang melawan sebuah negara yang membenci kita. Situasi kami sedikit lebih berbahaya," tambahnya, seperti gumpalan asap hitam dari improvisasi kilang minyak Negara Islam yang menggantung di langit.
Kerja Sama
Dalam perang yang telah menciptakan perpecahan mendalam antara komunitas agama dan etnis di Suriah dan melahirkan jumlah tak terbatas kelompok sempalan, MFS telah memilih untuk mempertahankan hubungan dekat dengan Kurdi, yang di bawah pemerintah daerah yang beroperasi.
Ada koordinasi dengan mereka, dan serangan sering dilakukan bersama-sama dengan milisi Kurdi, dari Unit Perlindungan Rakyat, juga dikenal sebagai YPG. "Kami salah satu dari badan dengan dua kepala. Masing-masing melakukan hal mereka sendiri, tetapi pada akhirnya kami memiliki tujuan yang sama," kata Cosar.
"Perkawinan" dari kelompok yang berbeda di kawasan itu tercermin dalam pemerintahan lokal di Jazira, wilayah otonom memproklamirkan diri dan yang mencakup wilayah Malikiya. Presiden Jazira itu, Akram Hesso, yang kadang-kadang disebut sebagai perdana menteri, adalah seorang Kurdi, sedangkan wakilnya, Elizabeth Gawrie, dan Hussein Al Azam Taza, adalah Orang Suriah dan satunya Arab.
"Tidak ada mata di Suriah yang belum menangis. Orang-orang kami telah menderita banyak dan telah mengusir mereka dari tanah mereka. Untuk mendapatkan kembali apa yang kami miliki, kami perlu demokrasi," kara Gawrie, dan menambahkan bahwa diplomasi saja tidak akan mencapai hal ini. ‘’Kami perlu militer juga, dan mereka telah memberikan harapan kepada masyarakat Suriah."
Cosar bersikeras agar perlindungan yang diberikan oleh MFS tidak terbatas pada orang-orang Suriah. Dan dia mengakui bahwa hubungan dengan masyarakat Arab terjadi dalam situasi di bawah kekuasaan mereka yang tegang.
Saat dia menjelaskan hal ini, sebuah mobil menderu dari wilayah kekuasaan Negara Islam. Cosar menunjuk kendaraan itu dan menceritakan bahwa banyak warga sipil bolak-balik untuk bekerja. "Mereka naik dan turun, namun ada juga yang bukan warga sipil biasa, mereka datang ke sini untuk melaporkan kembali kepada pejuang Negara Islam. Kami mengambil tindakan pencegahan, terutama terhadap pelaku bom bunuh diri."
Untuk Tanah Air
Meskipun wilayah garis depan pertempuan telah relatif tenang selama beberapa bulan, pada bulan September ada sejumlah bentrokan sengit yang menghasilkan pembebasan lebih dari 20 desa oleh MFS. Reruntuhan gereja dan pemakaman Kristen yang dirusak adalah bukti fisik pertempuran itu.
Di kota Tirbesipiye yang berpenduduk campuran berbagai etnis, jaraknya 15 menit berkendara dari front, pemimpin Sutoro, Afram Elias menceritakan bahwa hubungan antara orang-orang Arab dan Suriah telah rusak parah. Dia duduk di kursi plastik di luar markas Sutoro. Dia mengatakan dia adalah seorang penjahit di Aleppo sampai perang mendorongnya untuk memikul pekerjaannya yang sekarang.
"Orang-orang Suriah takut karena kami adalah target bagi Negara Islam," katanya, berkaitan bahwa 15 hari sebelumnya seorang pria Suriah berusia 24 tahun diculik oleh militan Negara Islam karena ia mengemudi truk melalui sebuah desa Arab. "Mereka memeriksa ID (kartu pengenal) dan melihat bahwa dia seorang Kristen, lalu menculiknya," kata Elias.
"Kami mengangkat senjata karena itu perlu bagi kami untuk melindungi wilayah ini, bukan karena kami suka senjata," kata Elias. Dia mengaku pernah dan senang menjahit gaun yang membawa kebahagiaan bagi perempuan.
Dia mengatakan dia telah melihat banyak anggota komunitasnya meninggalkan wilayah tersebut dengan harapan menemukan keamanan dan stabilitas di tempat lain. Namun dia khawatir bahwa Tanah Air orang Kristen Syriac akan dikosongkan dan kehilangan tanah di mana mereka adalah penduduk aslinya. "Hari demi hari masyarakat Kristen menghilang dari daerah ini," katanya.
Untuk orang-orang yang dulunya di bawah kekuasaan menindas dari rezim Suriah, Assad dan sekarang hidup dalam ketakutan pemberontak kelompok Sunni yang kejam, pembentukan pasukan militer dan keamanan Kristen Syriac telah relatif membawa rasa aman dan merupakan langkah menuju pemulihan hak mereka atas Tanah Air yang sah.
"Adalah memalukan kehilangan sejarah ribuan tahun," kata Cosar. "Perang tidak ada yang memberi apa-apa, jika saya ingin identitas saya perlu melakukan sesuatu tentang hal itu. Tetapi orang-orang berperang ini tidak hanya berjuang untuk kepentingan mereka sendiri, mereka berjuang untuk demokrasi dan untuk hidup dengan harga diri. Dengan martabat manusia," kata komandan itu.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...