Partai Komunis Khawatir Ledakan Kekristenan di Tiongkok (1)
HANGZHOU, SATUHARAPAN.COM – Kekristenan meledak di Tiongkok. Bakal menjadi negara dengan penganut Kristen terbesar di dunia. Namun, pesatnya kekristenan Tiongkok mengkhawatirkan penguasa, terutama pengurus Partai Komunis Tiongkok. Dua tulisan bersambung hasil penelusuran csmonitor.com menguaknya.
Tidak ada yang rahasia tentang Gereja Chongyi, salah satu gereja terbesar di Tiongkok. Menaranya yang benderang dan salib raksasa menembus langit malam dari Hangzhou, ibu kota Provinsi Zhejiang pesisir. Hampir semua di gereja sangat jelas terbuka: gerbang depan, pintu depan, mimbar, orang-orangnya, dan gembalanya. Anda orang Tiongkok atau tidak, Anda disambut tujuh hari sepekan. Tidak ada lapisan penjaga keamanan atau polisi. Masuk dan bergabunglah. Orang-orang manis; mereka menawarkan minum, perbincangan yang hangat. Apakah Anda memiliki kebutuhan rohani? Kunjungi kantor mereka, pukul 9 hingga 17.
Bagi Tiongkok, itu adalah perasaan yang menakjubkan. Sebagian besar masyarakat ada di balik pintu tertutup dan menghadapi hidup yang sulit, harus bekerja keras, bergantung pada materi, DAN hierarkis. Negara ini menghargai kekayaan, kekuasaan, dan kerahasiaan—untuk tidak menyebutkan bahwa pemerintah dan sekolah-sekolah resmi, mempromosikan ateisme.
Namun Chongyi terlihat dan terasa seperti gereja raksasa injili di Seattle atau San Jose. Ada layar besar, speaker menggelegarkan musik upbeat, dan cafe. Paduan suara dinamis dengan puluhan penyanyi berjubah putih dan merah. Gereja Chongyi berkapasitas 5.000 orang dan menyelenggarakan beberapa kali ibadah Minggu.
“Pada hari Minggu tertentu kami penuh,” kata Zhou Lianmei, istri pendeta. “Kami juga memiliki 1.600 relawan.”
Walaupun kekristenan berkurang di banyak bagian dunia, di Tiongkok itu berkembang pesat—meskipun dihambat negara. Kenaikan Kristen evangelikal khususnya, didorong oleh kerinduan spiritual masyarakat dan kebutuhan manusia individu dalam masyarakat kolektif, terjadi di hampir setiap bagian dari bangsa Tiongkok.
Jemaat di Barat yang biasa melihat kursi-kursi kosong di gereja-gereja Amerika Serikat atau Eropa dapat tercengang oleh ibadah Minggu yang diadakan di bangunan seukuran pusat konvensi ukuran dengan orang-orang berbaris sepanjang 50 meter untuk antre ikut dalam satu kali ibadah Di Wenzhou, tidak jauh dari Hangzhou, diperkirakan 1,2 juta Protestan sekarang ada di kota berpenduduk 9 juta orang. Dengan satu perkiraan, Tiongkok akan menjadi negara Kristen terbesar di dunia, pada tingkat pertumbuhan saat ini, pada tahun 2030.
Memang, masalah akut yang dihadapi gereja perkotaan di Tiongkok adalah kurangnya ruang. Gereja Chongyi membangun parkir bawah tanah senilai Rp 12 miliar untuk menggantikan parkir lama yang diubah menjadi tempat pertemuan jemaat di bawah usia 30 tahun.
“Saya datang karena saya menemukan kasih di sini yang tidak tergantung pada seseorang,” kata Du Wang, seorang pengusaha muda di Hangzhou. “Itu seperti sebuah sungai yang tidak hilang.”
Namun ada juga kesulitan untuk menjadi seorang Kristen di Tiongkok. Saat kekristenan evangelikal tumbuh pesat, para pejabat takut itu bisa merongrong otoritas mereka. Sebab, saat ini jumlah orang Kristen bisa melebihi anggota Partai Komunis. Yang memiliki implikasi luas baik untuk masyarakat Tiongkok dan partai. Di Tiongkok, anggota partai tidak bisa Kristen.
Lebih dari setengah dari orang Kristen Protestan Tiongkok menghadiri “gereja rumah” yang ilegal yang bertemu secara pribadi. Sisanya pergi ke salah satu gereja Protestan Tiongkok—yang resmi disetujui pemerintah, seperti Gereja Chongyi. Gereja-gereja resmi atau legal, yang dikenal sejak 1949 sebagai “Gereja Tiga Pribadi Patriotik,” beroperasi di bawah peraturan yang mengatakan pada dasarnya: Kami patriotik, warga negara yang baik. Kami mencintai Tiongkok. Kami tidak pembangkang. Kami pergi ke sekolah teologi resmi. Jadi partai akan membiarkan kita beribadah dengan bebas.
Namun dalam satu tahun terakhir pemerintah telah menyerang dan bahkan menghancurkan gereja-gereja Protestan resmi, maupun yang tidak resmi. Banyak kaum Injili merasa mereka sekarang di garis depan pertempuran tak terlihat di atas iman di negara yang paling padat penduduknya di dunia, dan menghadapi kampanye oleh partai-negara untuk mendelegitimasi mereka. Di balik itu semua adalah pertanyaan: Tiongkok akan menjadi sumber baru orang Kristen di dunia, atau tempat bentrokan antara partai dan mimbar?
“Ada sebuah perjuangan yang sangat besar di seluruh Tiongkok yang dibawa oleh munculnya jemaat yang tampaknya tepercaya,” kata Terence Halliday, direktur Pusat Hukum dan Globalisasi di Chicago yang telah bekerja di Tiongkok. “Kekristenan sekarang membentuk masyarakat sipil tunggal terbesar di Tiongkok. Partai melihat ini.”
Sejarah Kekristenan Tiongkok
Ketika Tiongkok membuka diri dan bergabung kembali dengan dunia pada 1979, Presiden AS Jimmy Carter meminta pemimpin Tiongkok Deng Xiaoping tiga hal. Carter minta gereja-gereja yang ditutup selama Revolusi Kebudayaan dibuka kembali. Dia meminta agar pencetakan Alkitab dilanjutkan. Dan, ia meminta agar misionaris diizinkan kembali ke Tiongkok. Deng menerima dua permintaan pertama, untuk gereja-gereja dan Alkitab terbuka. Tapi, dia menolak satu untuk misionaris.
Jadi, sejak itu proses pemulihan lambat setelah terhambat selama lebih dari satu abad. Gereja Protestan pertama di Tiongkok dibangun pada 1848 di Xiamen, yang dikenal kemudian sebagai Pelabuhan Amoy. Pada abad ke-20, misionaris Amerika dan Inggris melihat Tiongkok sebagai ladang pelayanan yang kaya. Setiap kota penting memiliki sebuah gereja. Misionaris mendirikan 16 perguruan tinggi, dan mereka mendorong reformasi pertama untuk emansipasi wanita.
Tapi, setelah kemenangan Mao Zedong pada 1949, pemerintah mengusir para misionaris. Selama Revolusi Kebudayaan 1966-1972, pejabat menutup dan menghancurkan gereja-gereja Tiongkok. Mao menganggap kekerasan itu diperlukan untuk membawa Tiongkok menuju abad ke-20. Tetapi, banyak memanfaatkan itu untuk membunuh musuh-musuhnya, nyata atau bayangan, termasuk umat beriman.
Era tersebut memproduksi “kehancuran paling menyeluruh” agama dan mungkin dalam “sejarah manusia,” tulis ulama David Palmer dan Vincent Goossaert. Pihak berwenang melemparkan orang-orang Kristen ke penjara. Mereka membakar Alkitab dan mengeksekusi orang Kristen untuk dijadikan contoh.
Philip Wickeri, seorang Anglikan terkemuka di Hong Kong, memperlihatkan dua Alkitab yang menggambarkan tentang kejadian pada masa 1960-an dan berapa banyak yang telah berubah sejak itu. Salah satunya adalah lembar kecil Perjanjian Baru yang terbuat kertas dengan karakter Tiongkok yang ditulis tangan. Ini adalah Alkitab era Revolusi Kebudayaan yang dengan susah payah diproduksi. Setiap warga gereja menghafal satu kitab dalam Perjanjian Baru, menyalinnya, dan kemudian menggabungkannya untuk membentuk Injil tunggal. Usaha “bawah tanah” ini menghasilkan 150 Alkitab.
Alkitab kedua Wickeri buku dengan ujungnya bersepuh emas dan terletak di kotak terbuat dari bambu. Alkitab ini diproduksi pada 2012 oleh Amity Printing Company di Nanjing. Alkitab ini bagian dari cetakan 100 juta Alkitab yang diterbitkan di Tiongkok sejak pembukaan di awal 1980-an. (bersambung)
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...