Pastoral Transformatif: Sumbangan dari GKJ untuk Indonesia
SATUHARAPAN.COM – Gereja-gereja Kristen Jawa (GKJ) baru saja usai mengadakan sidang reguler yang ke-27 yang bertempat di Wisma Shallom, Lembang, Jawa Barat pada tanggal 16-20 November 2105. Ini juga sekaligus menandai berakhirnya pula rangkaian sidang yang direncanakan dan terselenggara di tahun 2015 ini, setelah sebelumnya diadakan sidang istimewa dalam rangka mengadakan perubahan Tata Gereja dan Tata Laksana. Ada yang menarik dari dua persidangan gereja-gereja Kristen Jawa ini, dan itu adalah semangat pastoral transformatif sebagai cara berpikir yang kritis.
Istilah ini sejatinya sudah lama terdengar, namun kurang begitu populer karena bernuansa komunitas tertentu, yaitu Kristen karena ada istilah pastoral. Namun menarik juga konsep berpikir itu untuk diurai dan dijadikan pijakan berpikir dalam skala nasional. Tulisan ini akan menyoroti semangat berpikir pastoral transformatif secara umum dengan tujuan bisa menjadi referensi untuk negeri ini menata dan merias diri untuk kehidupan bersama yang lebih baik.
Cara berpikir pastoral transformatif mengandaikan semua dewasa dan tidak menempatkan hukum atau pranata sosial di atas segalanya. Hukum (dalam konsep GKJ Tata Gereja dan Tata Laksana) tidak ditempatkan sebagai alat untuk mengurai masalah, namun hukum ditempatkan sebagai mitra dialog. Sebagai mitra dialog berarti hukum ada dalam posisi setara dengan subjek dan sekaligus persoalan yang sedang dihadapi oleh subjek itu sendiri. Jika selama ini, cara melihat serta mengatasi suatu persoalan dengan menempatkan hukum sebagai panglimanya, dan dengan demikian akan selalu berujung pada salah dan benar, maka dengan pastoral transformatif keadaannya akan berbeda. Cara berpikir pastoral transformatif menekankan proses sebagai fokus utamanya, dalam hal ini salah dan benar tidak selalu menjadi tujuan utama. Tujuan utama cara berpikir Pastoral Transformatif adalah penyadaran melalui proses.
Salah dan benar adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia, oleh karena itu komunitas (perhimpunan/persekutuan) harus sadar diri bahwa pada suatu waktu akan melakukan kesalahan juga, oleh karena itu sewaktu menjumpai kesalahan, yang terbaik adalah mengajaknya berdialog. Dengan dialog akan ditemukan aspek-aspek sejati yang tidak bisa ditemukan hanya dengan hantaman palu hukum. Dalam semangat berpikir pastoral transformatif, subjek yang salah (dan ini bisa menjangkau siapa saja) bersama dengan yang tidak sedang melakukan kesalahan, berjuang dalam dialog dengan lampu yang meneranginya bernama pranata sosial atau sekumpulan aturan-aturan yang ada dan yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, arah dari semangat pastoral transformatif adalah kebaikan bersama, bukan kebenaran satu pihak yang terbiasa dekat dan (sok) paham dengan hukum.
Indonesia, sebagai sebuah komunitas hidup dalam lingkaran yang jauh lebih luas dari gereja-gereja Kristen Jawa, sejatinya bisa juga mempergunakan cara berpikir pastoral transformatif. Bukan dalam arti mau mengebiri hukum, namun hendak mengajak –atau lebih tepatnya menuntun- siapa saja yang sedang dalam posisi tidak tepat secara hukum atau bersalah untuk tidak menjadi pesakitan di bawah hukum, melainkan diajak berdialog secara manusiawi demi membawa si subjek yang sedang dalam posisi salah untuk menyadari diri dengan dewasa atas apa yang telah dan sedang dilakukannya. Banyak persoalan tidak selesai diurai dengan pendekatan normatif, karena pendekatan normatif ini selalu berujung pada salah dan benar, sementara hukum di negeri ini selalu berdekatan dengan sangat mesra dengan uang. Dengan posisi demikian, hukum akan kehilangan daya ganasnya saat berdekatan dengan uang karena semua pelaku hukum di negeri ini sudah terlebih dahulu berselingkuh dengan uang.
Pendekatan pastoral transformatif menempatkan semua pada posisi setara, equal. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, bahkan hukum atau pranata sosial pun ada pada posisi sejajar. Dengan posisi ini maka jalan yang paling pantas untuk mengurai masalah adalah berdialog. Ketiga subjek, baik yang tidak melanggar pranata, yang sedang melanggar pranata dan si Pranata sosial harus rela duduk dalam kesejajaran untuk berdialog.
Selama ini yang terjadi adalah pemberlakuan pranata sosial secara kaku, salah harus mendapatkan hukuman. Namun dalam pemberlakuannya masih terus saja menyimpan ribuan tanya, apakah benar yang menghukum dengan mengatasnamakan hukum itu benar-benar tanpa kesalahan? Ataukah, sejatinya dia juga dalam kesalahan—dan bahkan lebih besar—namun karena sedang ada di atas hukum serta sedang bersundal dengan pasaangan selingkuh hukum yang lain, yaitu uang, maka dia bisa sebebas-bebasnya mempermainkan hukum? Dan, dengan demikian, yang dianggap salah—meskipun itu sejatinya sangat sederhana—harus menerima cambuk hukum? Dalam posisi demikian yang selalu terjadi adalah pengebirian pranata sosial atau hukum, dia akan berwatak ganas dengan yang tidak dekat (baca memiliki) uang namun akan santun dengan yang sedang beruang (baca memiliki uang)
Dengan cara berpikir pastoral transformatif, salah dan benar tidak bisa hanya dilihat dari satu perspektif. Hukum hanyalah instrumen, hanyalah alat. Cara Berpikir transformatif melintasi hukum dan dengan demikian, penyelesaian persoalan tidak akan pernah mengarah pada posisi salah dan benar, namun bagaimana salah itu dengan kesadaran sendiri mampu dan mau mengubah diri demi kebaikan bersama. Kesalahan atau pelanggaran terhadap hukum normatif akan selalu ada dalam setiap komunitas kehidupan dan penyelesaian dengan pendekatan hukum akan selalu melahirkan anti hukum. Dengan demikian, sumbangan konsep berpikir GKJ yang menempatkan Tata Gereja dan Tata Laksana dalam semangat pastoral transformatif bisa menjadi solusi untuk negeri ini menata kehidupan bersama sehingga tercipta kedewasaan bersama pula.
Pdt Doni Setyawan adalah pendeta GKJ Tuntang Timur, Semarang
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...