PBB Kecam Pemerintahan Trump Berlakukan Kembali Hukuman Mati
JENEWA, SATUHARAPAN.COM - Kantor HAM PBB mengecam keputusan pemerintahan Trump untuk memberlakukan kembali hukuman mati Federal setelah absen selama 16 tahun, dengan mengatakan, hukuman mati bertentangan dengan tren nasional dan internasional yang hendak menghapus hukuman mati.
Kantor HAM PBB mengatakan, keputusan Washington memberlakukan kembali hukuman mati terhadap narapidana Federal yang divonis hukuman mati, melanggar hukum HAM paling mendasar, yaitu hak untuk hidup. Dikatakan, hal itu juga merupakan pukulan terhadap kemajuan menuju penghapusan universal atas hukuman mati.
PBB melaporkan, sekitar 170 dari 194 negara anggota PBB telah menghapuskan hukuman mati sama sekali, baik di dalam hukum ataupun dalam praktik.
Juru bicara HAM, Rupert Colville mengatakan, menghukum orang adalah salah pada tingkat apapun. Ia mengatakan, kekhawatiran utama adalah risiko membunuh orang yang tidak bersalah atas kejahatan yang dituduhkan. Ia menambahkan, laporan di Amerika berdasarkan bukti DNA menunjukkan bahwa beberapa negara bagian telah membunuh orang yang tidak bersalah.
"Ada juga yang benar-benar tidak terbukti bahwa hukuman mati sesungguhnya berfungsi sebagai pencegah, yang sering dijadikan sebagai alasan untuk menggunakannya. Tentu saja ada kekhawatiran yang cukup besar, terutama di Amerika bahwa hukuman mati diterapkan secara sewenang-wenang dan sering dengan cara yang diskriminatif, khususnya terhadap terpidana dari latar belakang miskin dan minoritas," kata Colville.
Jaksa Agung AS, William Barr pekan lalu memberlakukan kembali hukuman mati Federal. Ia mengatakan, eksekusi pertama dari lima terpidana dengan hukuman mati akan dimulai bulan Desember dengan eksekusi tambahan dijadwalkan pada kemudian hari.
Enam puluh narapidana saat ini sedang menunggu hukuman mati Federal di AS. Sebuah jajak pendapat baru-baru ini mendapati, 56 persen orang Amerika mendukung hukuman mati, penurunan yang cukup besar dibanding 80 persen pada pertengahan 1990-an.
Colville mengatakan, keputusan Jaksa Agung Barr bertentangan dengan tren AS dan internasional. Ia mencatat, 21 negara telah sepenuhnya menghapus hukuman mati dan empat lainnya telah mengeluarkan moratorium (penundaan), menciptakan pembagian separuh-separuh (50-50) antara negara-negara bagian yang mendukung hukuman mati dan yang tidak. (VOA)
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...