Peace Train Indonesia 10: Bukti Merawat Kebhinekaan-Perdamaian
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sebanyak 40 muda-mudi dari berbagai agama berkumpul di ruangan VIP Stasiun Gambir Jakarta, Jumat (24/1) sore, menunggu keberangkatan kereta api rute dari Stasiun Gambir Jakarta menuju Cirebon.
Mereka merupakan rombongan peserta program Peace Train Indonesia (PTI) 10, yang akan belajar dan melihat lebih dekat rumah-rumah ibadah dan komunitas adat yang berbeda sebagai kekayaan budaya di kota Cirebon.
Peserta juga akan merayakan bersama saudara-saudara yang merayakan Tahun Baru Imlek 2020 di Cirebon yang tujuannya untuk saling mengenal, menjalin persahabatan sebagai bekal dalam merawat kebinekaan dan mewujudkan perdamaian.
Penggagas Peace Train Indonesia, Ahmad Nurcholish, meyakini bahwa ini merupakan sebuah kegiatan yang menjadi ruang perjumpaan bagi anak-anak muda dari berbagai agama untuk mengubah pola pikir dari yang tadinya masih tertutup dan perasaan prasangka negatif terhadap orang lain yang berbeda menjadi lebih bersahabat dengan yang lainnya.
“Dengan mengikuti kegiatan ini, kemudian diharapkan mereka dapat menjadi cair. Mereka juga tidak ada prasangka, bisa lepas berteman, bersahabat dengan mereka yang berbeda dengan agamanya itu,” kata Ahmad Nurcholish kepada satuharapan.com sebelum memberangkatkan rombongan PTI 10 di Stasiun Gambir, Jakarta, Jumat (24/1) sore.
Ustadz Nurcholish, sapaan akrabnya, mengatakan kegiatan ini ingin membuktikan bahwa di tengah berbagai perbedaan yang ada, tidak ada namanya halangan untuk kita saling berteman, saling bersahabat dan bersama-sama merawat kebhinekaan dan mewujudkan perdamaian.
“Kita ingin anak-anak muda dari berbagai agama itu saling mengenal satu sama lain, berbagi cerita tentang pengalaman dan tantangan dalam merawat kebinekaan dan mewujudkan perdamaian. Sebab di tangan merekalah masa depan Indonesia mendatang,” katanya.
Dia mengatakan bahwa dari program ini jugalah kemudian para peserta akan terinspirasi untuk melakukan hal yang sama atau serupa di tempat mereka masing-masing.
“Karena itu di beberapa daerah mereka melakukan kegiatan serupa, misalnya di Tulungagung peace trip, di Jayapura peace journey, dengan nama-nama berbeda tapi pada prinsipnya sama,” katanya.
“Tak Kenal Maka Tak Sayang”
Deputy Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) itu berharap di mana pun anak-anak muda berada mereka dapat menduplikasi acara serupa, tidak harus namanya peace train, peace trip, tapi intinya bagaimana komunitas masyarakat yang berbeda-beda itu ada yang berinisiatif untuk menciptakan ruang perjumpaan. Dari situlah diharapkan kita dapat berjumpa, berinteraksi, berdialog untuk mengenal satu sama lain seperti kata pepatah yang mengatakan “tak kenal maka tak sayang”.
“Kalau tidak ada perjumpaan enggak akan mungkin selamanya yang muslim terhadap yang Kristen dan yang Hindu, prasangkanya itu akan selalu negatif, begitu juga sebaliknya. Melalui ruang-ruang perjumpaan ini diharapkan kita semua itu dapat saling mengenal lebih dekat, kalau kita sudah kenal maka harusnya enggak ada lagi persoalan-persoalan intoleransi, sulitnya membangun rumah ibadah atau rumah ibadah yang sudah berdiri diganggu, itu mestinya tidak ada lagi,” katanya.
Demikian pribahasa yang tak pernah hilang dari ingatan kita, kata Ustadz Nurcholish, dari tak kenal itulah kita umat beragama yang berbeda kerap kali hanya saling berprasangka (buruk) pada umat agama lain yang berbeda. Di media sosial misalnya, ranah yang mestinya dapat kita gunakan untuk saling menyapa, berbagi kebaikan dan mempererat persahabatan justru menjadi hal sebaliknya, saling mencaci, mengumbar rasa benci yang berpotensi merusak kerukunan dan perdamaian kita.
Persahabatan dan Persaudaraan Dalam Kbhinekaan
Abdiel Fortunatus Tanias (MPH PGI), berharap melalui Peace Train Indonesia ini generasi muda Indonesia secara khusus generasi muda Kristen berkesempatan belajar membuka diri dan berinisiatif untuk mengenal, membangun relasi, bergandeng tangan bersama anak-anak muda lain dari berbagai latar belakang agama dalam semangat persahabatan dan persaudaraan dalam kbhinekaan yang merupakan modal dasar bagi upaya mewujudkan kehidupan rukun dan damai.
“Saat ini kita membutuhkan anak-anak muda yang memiliki jiwa kepemimpinan dengan integritas yang kuat, di mana salah satu karakter yang harus dimiliki adalah inisiatif untuk berpikir dan bersikap terbuka dalam membangun persahabatan dengan mengedepankan kepentingan bersama,” kata anggota Majelis Pengurus Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) itu.
Sementara itu, Pendeta Darwin Darmawan mengingatkan, bahwa di era Orde Baru ruang perjumpaan antarmasyarakat Indonesia yang bhinneka itu terjadi dalam pembatasan dan pemisahan. Saat itu, masyarakat Indonesia bersama tetapi tidak betul-betul bersatu (together but not mixed). Pasca reformasi, menurutnya, ruang perjumpaan antar masyarakat Indonesia yang berbeda, acapkali dirusak oleh politisasi identitas berbasis SARA.
“Sebagai bangsa yang bhinneka, kita belum secara sengaja, serius dan terencana belajar menjadi Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Peace Train Indonesia menjadi salah satu upaya membangun ruang perjumpaan antara sesama anak bangsa yang berbeda. Masa depan Indonesia, sesungguhnya terletak dari seberapa mampu membuka ruang-ruang perjumpaan seperti ini,” kata Wakil Sekretaris Umum Sinode Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jawa Barat ini.
Garis Depan dalam Menjaga Kerukunan
Peace Train Indonesia ke-10 dihelat sebagai wahana bagi generasi muda (millennial) sebagai ajang untuk saling kenal, mempererat persahabatan di antara mereka dari berbagai latar agama, suku, ras yang berbeda. Melalui acara ini diharapkan anak-anak muda menyadari bahwa mereka harus berada di garis depan dalam menjaga kerukunan sekaligus bersama-sama mewujudkan perdamaian.
Peace Train Indonesia merupakan program traveling lintas agama dengan menggunakan kereta api, menuju ke satu kota yang telah ditentukan, di mana kali ini ujuannya adalah Cirebon – Jawa Barat. Di kota udang ini peserta akan mengunjungi komunitas agama-agama, komunitas penggerak perdamaian, rumah-rumah ibadah, dan tokoh-tokoh yang dianggap sebagai aktor penting toleransi dan perdamaian antar agama. Mereka juga akan berproses untuk saling belajar, berbagi cerita, berdialog, bekerjasama, mengelola perbedaan, berkampanye, dan menuliskan pengalaman perjumpaan dalam semangat kebersamaan dan persaudaraan.
Program PTI 10 ini diselenggarakan oleh ICRP bekerja sama dengan PGI, Gerakan Pembumian Pancasila, Fahmina Institute, Institute Studi Islam Fahmina (ISIF), Sinode GKI Jawa Barat, Pelita Perdamaian, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia Cirebon (PGIS), Inspiration House (Komunitas Pendidikan Anak dan Toleransi Keberagaman), dan Komunitas Cinta Kota Cirebon, GBI Pekiringan, PSMTI, Parahiangan Komputer, Komunitas Cinta Kota Cirebon (KCKC), Sempoa SIP Perjuangan, Gereja Katolik St. Yosef, Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), Andi Offset (Penerbit Buku), demokrasi.id, dan Ibis Hotel.
Acara ini dihadiri oleh sejumlah tokoh agama dari berbagai agama di Jakarta dan sekitarnya seperti Abdiel Fortunatus Tanias (MPH PGI), Pendeta Darwin Darmawan, Raja Juli Antony (Tokoh Muda, Sekjen PSI), Sekum PGI, Pendeta Jacky Manuputty, Ketua Umum Gerakan Pembumian Pancasila Antonius Manurung, Wakil Sekretaris Umum Sinode GKI Jawa Barat Pendeta Darwin Darmawan, Pegiat Sosial Masyarakat Benny Lummy, serta sejumlah aktivis muda lintas agama dan alumni Peace Train Indonesia sebelumnya dan didukung sejumlah media seperti Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) dan lain sebagainya.
Mega Move it Fest Bangkitkan Musisi Timur dari Ambon
AMBON, SATUHARAPAN.COM - Festival musik tahunan "Mega Move it Fest", membangkitkan kembali...