Pembantaian Charlie Hebdo, ISIS Mulai Serang Eropa?
Baca juga: NIIS Akan Dihancurkan oleh Diri Mereka Sendiri
SATUHARAPAN.COM – Serangan oleh tiga orang di kantor majalah satir, Charlie Hebdo, di Paris, Prancis, hari Rabu (7/1) yang membunuh 12 orang dan melukai belasan lainnya kemungkinan menandai bahwa Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) mulai secara nyata menyerang Eropa.
Hal ini terjadi di tengah kekhawatiran bahwa para jihadis yang bergabung dengan NIIS dari negara-negara Barat akan menjadi ancaman setelah mereka pulang. Bahkan dalam konteks Indonesia, kasus ini terjadi sehari setelah Australia memperingatkan warganya tentang kemungkinan serangan di Indonesia, dan beberapa hari sebelumnya peringatan yang sama dikeluarkan oleh Amerika Serikat.
Tiga pelaku yang telah diidentifikasi oleh Polisi Prancis, khususnya dua orang bersaudara,Said dan Cherif Kouachi, diketahui terkait dengan kelompok Al-Qaeda, dan belum secara jelas mempunyai kaitan dengan kelompok ISIS. Namun gaya serangan mereka seperti melakukan eksekusi menggambarkan cara yang selama ini dilakukan oleh ISIS.
Bisa jadi mereka tidak terkait dengan ISIS, namun sangat mungkin bahwa dua orang juga peduli dengan ISIS. Hanya saja gerak mereka menjadi terbatas karena pidana yang dialami pada tahun-tahun sebelumnya. Setidaknya mereka terinspirasi dengan gerakan kelompok ini di wilayah Suriah dan Irak. Apalagi mereka meneriakkan kata-kata ‘’pembalasan bagi Nabi Muhammad’’ dan ‘’Allahu Akbar.’’ Selain ada peretasan situs Charlie Hebdo dengan tulisan berlatar hitam yang bisa ditafsirkan senada dengan bendera ISIS.
Ribuan ''Kouachi''
Charlie Hebdo, memang dikenal sebagai majalah satir, dan sudah menjadi hal yang umum diketahui di Prancis, bahwa sasaran satir mereka bukan terbatas pada Nabi Muhammad dan Islam. Kalangan Kristen, Hindu, Budha dan pemerintah pun menjadi sorotan mereka. Namun majalah ini tidak sepenuhnya memperoleh sambutan, karena pernah berhenti karena masalah kesulitan dana.
Dalam konteks kebebasan pers, dan hukum yang mengatur pers, protes terhadap isi sebuah majalah dengan memberondongkan peluru ke kantor redaksi untuk membunuh orang-orang yang mereka sebutkan namanya, adalah tindakan yang biadab dan melanggar hukum.
Namun bicara hukum sama saja membahas hal yang ‘’naif’’ bagi kelompok ekstremis seperti mereka. Kecaman keras di seluruh dunia, bahkan dari kalangan Muslim sendiri, terhadap barbarisme ISIS tidak mengubah kebrutalan mereka, bahkan mereka terus menggunakannya untuk kampanye dan merekrut lebih banyak jihadis.
Sudah menjadi berita yang tersebar bahwa ribuan jihadis ISIS datang dari banyak negara, termasuk Eropa dan Amerika, dan mereka mempunyai pola pikir yang serupa dengan Kouachi bersaudara. Ekstremis yang ada di tanah Eropa dan mereka yang masih menebar teror di Irak dan Suriah adalah ancaman yang nyata bagi Eropa.
Ekstremisme yang dilandasi perseteruan sektarian meningkat dalam tahun 2014 yang baru lalu, dan juga tidak bisa dilupakan kasus pembantai di sekolah di Peshawar, Pakistan yang sangat mengejutkan. Oleh karena itu, pembantaian di Paris harus jadi peringatan, bukan hanya bagi Eropa, tetapi negara-negara lain di mana ada entitas dengan gaya, pola pikir dan sikap yang menyerupai ISIS, mereka menghadapi ancaman yang nyata. Dalam konteks ini, Indonesia tidak bisa memandang kasus ini sebagai kejadian di tempat yang jauhnya puluhan ribuan kilometer dari negeri kita.
PEGIDA di Jerman
Serangan di kantor Charlie Hebdo terjadi di tengah negara tetangga Prancis, Jerman, disibukkan oleh gerakan kanan, PEGIDA, yang secara bebas bisa diartikan Patriot Eropa Melawan Islamisasi Barat. Mereka dikecam sebagai gerakan yang keras, bahkan dinilai cenderung sektarian dan rasis. Itu yang membuat aksi demonstrasi pada hari Senin (5/1) juga dihadapi dengan aksi tandingan oleh kelompok anti PEGIDA.
Apa yang terjadi di Prancis justru bisa memutar arah perdebatan terhadap eksistensi PEGIDA di Jerman. Gerakan ini bisa mendapatkan angin oleh apa yang dilakukan oleh Kouachi bersaudara, meskipun dengan mudah itu ditolak sebagai aksi yang merepresentasikan komunitas Islam di Eropa atau Prancis.
Pembantaian di kantor Charlie Hebdo bisa membungkam gerakan tandingan Anti PEGIDA, karena bisa membuat argumentasi selama ini kehilangan relevansi. Dan bagaimanapun situasinya bisa makin mengkhawatirkan menjadi benturan yang makin keras, karena cenderung menuju pada ekstremisme yang dihadapi dengan esktremisme.
Mengutip pernyataan Sekjen Dewan Gereja-gereja Timur Tengah, Pendeta Dr. Michel Jalakh, dalam sebuah wawancara mengatakan masalah ISIS adalah pertanyaan bagi umat Muslim. Hal ini juga bisa diartikan bahwa masalah aksi Kouachi bersaudara harus menjadi panggilan serius bagi umat Islam. Sama halnya dengan PEGIDA adalah pertanyaan bagi umat Kristen dan masyarakat demokrasi. Artinya, ektremisme dan radikalisme adalah tantangan internal. Namun ketika kekerasan menjadi cara untuk bertindak seperti terjadi di Paris, hukum juga harus bekerja dengan efektif.
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...