Pemberitaan Bunuh Diri Timbulkan Stigma Negatif
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Masyarakat di negara ini sedang ‘sakit’. Pemberitaan mengenai kasus bunuh diri menimbulkan stigma negatif terhadap keluarga. Pemberitaan yang beredar juga tidak membantu masyarakat menumbuhkan empati kepada keluarga korban bunuh diri. Hal itu membuat keluarga makin menderita. Pendapat ini disampaikan oleh Pdt Stephen Suleeman saat menanggapi pemberitaan kasus bunuh diri yang merebak di Indonesia.
Dalam rangka memperingati hari pencegahan bunuh diri internasional, hari ini (10/9) Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (P3M) STT Jakarta mengadakan acara nonton bersama film Mrs.Doubtfire di Kampus STT, Jalan Proklamasi Nomor 27, Jakarta Pusat dengan pembicara Pendeta Stephen Suleeman. Pemilihan film Mrs.Doubtfire yang diputar dalam acara ini berkaitan dengan peristiwa bunuh diri pemeran utamanya, Robin Williams pada 11 Agustus lalu.
Dalam acara ini, Stephen berpendapat bahwa masyarakat harus membuat latihan-latihan pencegahan bunuh diri. Masyarakat juga harus menumbuhkan kesadaran bahwa kasus tertentu dapat menyebabkan orang bunuh diri, contohnya ialahbullying. Banyak sekali remaja bunuh diri karena bullying. Oleh karena itu, masyarakat harus belajar menciptakan komunikasi yang aman, positif, dan menerima orang-orang sekelilingnya sebagaimana adanya. Masyarakat juga harus mendukung orang-orang, terutama yang berkebutuhan khusus, untuk berani menerima realitas.
Sementara itu, Beni mahasiswa Psikologi Universitas Bunda Mulia (UBM) Jakarta menambahkan bahwa saat ini, 7,8% anak usia 14-19 (remaja) di Indonesia telah mengalami gangguan jiwa, salah satunya karena broken home. Seperti yang dikisahkan dalam Mrs.Doubtfire, keluarga yang tidak dapat membangun komunikasi dengan baik memang akan berdampak buruk pada anak. Hal ini ditakutkan dapat meningkatkan bunuh diri di kalangan remaja, apalagi akhir-akhir ini banyak pemberitaan tentang kasus bunuh diri yang dapat memberi sugesti negatif.
Salah satu peserta turut memberikan komentarnya seusai melihat film ini. Film ini menunjukkan bahwa keluarga menjadi kunci utama terbentuknya karakter anak. Anak-anak dari keluarga broken home secara otomatis kejiwaannya akan terganggu. Pasalnya, kerinduan anak dari keluarga broken home akan keutuhan keluarga sangat tinggi.
Sebagian besar peserta menganggap film ini sebagai media hiburan yang menarik, tapi Stephen berharap pesan yang disampaikan dalam film tersebut dapat diresapi oleh penonton.
Editor : Bayu Probo
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...