Pemerintah Suriah Ancam Keluar dari Pembicaraan Damai Jenewa 2
JENEWA, SATUHARAPAN.COM - Delegasi pemerintah Suriah mengancam berhenti terlibat pembicaraan damai di Jenewa jika pembahasan yang "serius" tidak dimulai pada hari Sabtu (25/1).
Menteri Luar Negeri Walid Muallem mengeluarkan ancaman melalui media pemerintah Suriah setelah timnya mengadakan pembicaraan dengan perunding atau utusan khusus PBB, Lakhdar Brahimi.
Sedangan Laksdar Brahimi secara terpisah akan bertemu dengan oposisi Suriah hari Jumat (24/1) waktu setempat.
Para wartawan mengatakan pembicaraan telah bermasalah sejak awal, karena kedua belah pihak memiliki posisi yang mengakar kuat.
Perang saudara di Suriah sendiri telah diklaim oleh PBB menyebabkan lebih dari 100.000 jiwa meninggal.
Kekerasan juga telah memaksa 9,5 juta warga Suriah pergi meninggalkan rumah mereka, menciptakan krisis kemanusiaan besar di Suriah dan negara-negara tetangganya.
Pertempuranpun masih tetap berlanjut di Suriah, pada Jumat (24/1), pasukan pemerintah membom daerah yang dikuasai pemberontak di utara kota Aleppo, menurut Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia yang berbasis di Inggris.
Kemunduran
Jumat (24/1) adalah hari ketiga konferensi Jenewa 2, tetapi menjadi hari pertama di mana negosiasi dapat berlangsung dengan sesungguhnya.
Ada harapan awal pertemuan bersama antara kedua belah pihak, tetapi kemudian terungkap bahwa Brahimi akan mengadakan pembicaraan dengan masing-masing kubu secara terpisah.
Kedua belah pihak saling menyalahkan pihak lawan atas kemunduran ini.
Menteri Luar Negeri Suriah Walid Muallem MuallemWalid dan delegasinya telah mengancam akan meninggalkan pembicaraan.
Delegasi Damaskus mengeluh atas pernyataan baru-baru ini yang katakan oleh kepala oposisi, Ahmed Jarba. Jarba mengatakan bahwa Presiden Bashar al - Assad dan rezimnya adalah "mayat politik" yang tidak bisa menjadi bagian dari masa depan Suriah.
Kubu oposisi mengatakan tidak akan bertemu langsung face to face dengan delegasi pemerintah sampai pemerintah menandatangani komitmen tertulis untuk menerima komunike Jenewa yang sudah disepakati pada 18 bulan yang lalu (perundingan Jenewa 1 pada 12 Juni), yang menyepakati pembicaraan untuk membentuk pemerintahan transisi.
Pandangan pemerintah dan oposisi begitu bertentangan, diskusi Jumat mungkin menghasilkan tidak lebih dari upaya awal untuk menetapkan agenda baru bersama, wartawan BBC Bridget Kendall di Jenewa melaporkan.
Pemerintah Suriah berpegang pada pentingnya memerangi apa yang dilihatnya sebagai terorisme, sedangkan oposisi menginginkan prioritas tinggi untuk menghentikan Presiden Assad.
Namun para analis masih berharap bahwa setidaknya beberapa kemajuan dapat terjadi.
Walaupun dua belah pihak berlawanan dalam banyak hal, namun mereka sepertinya menunjukkan kesediaan untuk berbicara tentang langkah-langkah konkret seperti gencatan senjata lokal, pertukaran tahanan dan membangun koridor yang aman untuk pengiriman bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan.
Diharapkan kedua belah pihak mungkin setidaknya membuat kemajuan dengan kesepakatan gencatan senjata.
Peran Assad
Salah satu poin utama yang mencuat antara pemerintah dan pemberontak adalah peran Bashar al-Assad.
Pihak oposisi menuntut Bashar al-Assad turun dari jabatan sebagai syarat untuk perdamaian.
Hal ini didukung oleh banyak negara asing kunci seperti Menteri Luar Negeri AS John Kerry telah menyebut Assad "one-man super-magnet bagi terorisme".
Namun para pejabat Suriah telah tegas menolak tuntutan dan desakan supaya Assad mengundurkan diri, bahkan dia telah merencanakan akan mencalonkan diri sebagai presiden lagi dalam pemilu nanti.
Pemerintah Suriah juga memiliki pendukungnya yaitu Wakil Perdana Menteri Rusia Arkady Dvorkovich telah mengatakan kepada BBC bahwa tidak ada orang lain selain Assad yang mampu memerintah Suriah saat ini. (BBC)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...