Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus Masih Kurang
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) alias inklusi perlu penanganan khusus, terutama di dunia pendidikan. Namun, hal yang jamak terjadi di sekolah-sekolah umum adalah permasalahan ABK masih belum sepenuhnya dipahami oleh para pendidik. Jika persoalan dasar tentang pengetahuan inklusi ini belum dipahami, maka assessment, yaitu metode untuk mengukur atau mengevaluasi kompetensi individu, bagi anak ABK tidak akan bisa diberikan secara menyeluruh.
Berbicara tentang assessment dan ABK ini, sejumlah narasumber menggelar diskusi di Jogja National Museum (JNM), Jalan Prof. Amri Yahya No. 1, Gampingan, Wirobrajan, Yogyakarta. Acara yang dihelat pada Kamis (23/10) ini merupakan rangkaian gelaran Jagongan Media Rakyat 2014 (JMR 2014). Diskusi ini bertajuk UCPRUK (United Cerebral Palsy – Roda untuk Kemanusiaan) -- Disabilitas dan Aksesibilitas: Konsep dan Terapan di Dunia Pendidikan.
Pembicara pertama, Heni Purbaningrum dari UCPRUK menyoroti bahwa di dunia pendidikan masih sering ditemukan adanya penolakan dari sekolah terhadap ABK. Sekolah-sekolah tersebut menganggap bahwa ABK adalah individu yang berbeda dengan kebanyakan anak lain sehingga sulit untuk diatur.
“Beberapa ABK sebenarnya memiliki kesempatan untuk masuk ke sekolah umum, namun beberapa sekolah menolak ABK ini. Sekolah-sekolah ini menganggap bahwa ABK itu susah diatur, beda, dan harus mendapatkan perlakukan khusus. Anggapan ini perlu diubah, terutama perlu dukungan dari lingkungan sekitar, sekolah, dan pemangku kebijakan,” ujar Deputi Direktur UCPRUK ini.
Pembicara kedua, Heri Irwanto menganggap bahwa penolakan terhadap ABK jamak terjadi di tingkat pendidikan karena belum ada kesepakatan pemahaman tentang ABK. Namun, persoalan yang lebih perlu dipikirkan adalah pendidikan harus mampu memberikan apa yang dibutuhkan oleh ABK.
“Sekarang bukan zamannya lagi memikirkan apakah pendidikan itu siap atau tidak menampung ABK, tapi apa yang dibutuhkan oleh ABK. Permasalahan dasar tersebut sebenarnya masih ditambah lagi dengan persoalan assessment yang belum diberikan secara menyeluruh terhadap ABK,” ujar Heri.
Menanggapi persoalan assessment yang belum menyeluruh, Riri yang merupakan praktisi bagi anak inklusi memberikan contoh bahwa di Sekolahku My School telah diterapkan praktek assessment secara menyeluruh terhadap ABK. Bagi My School pemberian assessment merupakan target yang harus dicapai.
“Target di My School adalah memberikan assessment untuk seluruh peserta didik secara menyeluruh. Hal ini kami lakukan karena kami melihat bahwa ABK memandang segala sesuatunya secara lebih positif. Inilah yang terus kami olah,” ujar Riri.
ABK atau anak inklusi sebenarnya perlu mendapat tempat yang setara dengan anak-anak pada umumnya. Permasalahan yang membuat mereka terlihat beda, terutama disebabkan karena para pendidik yang belum siap untuk menampung ABK karena pada dasarnya mereka tidak dilatih untuk menangani ABK. Oleh karena itu, sumber daya manusia berupa pendidik harus disiapkan, di samping juga memberikan assessment yang melibatkan psikolog.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...