Pengamat: KAA 2015 Perlihatkan Jokowi Antitesis Yudhoyono
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini dianggap sebagai antitesis Presiden Indonesia sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat memimpin ajang sebesar Konferensi Asia Afrika (KAA) 2015.
"Dengan gaya kepribadian Jokowi yang mudah tersenyum, vokal dan terbuka, apa yang dia lakukan sekarang adalah antitesis Yudhoyono (SBY)," kata Tirta Mursitama, Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara di Jakarta, seperti tertuang Jumat (24/4) di bloomberg.com.
Tirta menganalisis pidato pembukaan pada KAA 2015 Jokowi yang menyerukan reformasi PBB untuk lebih mengatasi ketidakadilan global dan pendudukan Palestina. Jokowi mengemukakan gagasan bahwa penderitaan ekonomi global dapat diselesaikan dengan membangun tatanan ekonomi baru untuk menghindari dominasi kelompok negara tertentu.
“Pemerintahan Jokowi sekarang ini tahu bahwa memiliki banyak teman dan tanpa musuh terdengar indah, tetapi itu tidak mungkin. Berada di tengah-tengah dua raksasa regional (Jepang dan Tiongkok) terdengar enak, tetapi negara harus bersandar pada salah satunya untuk mendapatkan lebih banyak manfaat,” Tirta menambahkan.
Dalam pidato di KAA 2015 di Jakarta, Presiden Jokowi berjanji akan meningkatkan pengeluaran pertahanan, memerintahkan kapal asing disita dan para penangkap ikan ilegal dihancurkan. Ia juga menolak untuk mengampuni dua penyelundup narkoba Australia yang menyebabkan adanya kekhawatiran hubungan kedua negara terganggu.
Tirta menyebut tindakan Jokowi kontras dengan moto SBY: "Satu juta teman dan nol musuh." Di era SBY, Indonesia bersikap low profile meskipun perekonomiannya yang terbesar di Asia Tenggara dan negara keempat terpadat di dunia. Sementara, kata dia, Jokowi mungkin ingin Indonesia menjadi lebih terlihat, dan kebijakan luar negeri proaktif juga bisa mengalihkan perhatiannya sejenak dari agenda ambisius untuk menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi di dalam negeri.
Sementara itu pengamat politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Phillips Jusario Vermonte, menilai Presiden Jokowi memberi kesan tidak takut menciptakan musuh demi prioritas kepentingan nasional. “Jokowi kelihatannya tidak gentar menciptakan musuh demi mencapai prioritas dalam negeri. Adalah hal yang tidak akan pernah terpikirkan Yudhoyono mengeritik IMF dan PBB (seperti yang dilakukan Jokowi)," kata Philips J. Vermonte.
“Tetapi adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk tidak memiliki musuh, apalagi negara dan diplomasi bukan hanya tentang prestise," kata dia, seolah membela kebijakan Jokowi.
Philips menganalisis demikian karena melihat Jokowi santai dan percaya diri diapit oleh para pemimpin Tiongkok dan Jepang dalam berbagai kesempatan di KAA 2015.
Hukuman Mati
Perbedaan lain antara Jokowi dan SBY adalah menyangkut pelaku tindak kejahatan narkoba. Publik dunia kini menanti sikap Jokowi dalam hal kepastian tanggal eksekusi mati bagi mereka.
Langkah Jokowi tersebut berbeda dengan kebijakan SBY, ketika dia memberikan grasi berupa pengurangan hukuman selama 5 tahun penjara berdasar Kepres No 22 Tahun 2012 tertanggal 15 Mei 2012 kepada Schapelle Leigh Corby atas kejahatan yang dilakukan dengan menyeludupkan 4,2 kilogram ganja ke Bali pada 8 Oktober 2004. Ia telah divonis 20 tahun penjara di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, 27 Mei 2005 dan pada pertengahan 2014, Corby dibebaskan bersyarat.
Beberapa kepala negara telah mengirim protes keras kepada Joko Widodo, seperti Presiden Brasil, Dilma Rousseff, Perdana Menteri Australia Tony Abbott, dan Presiden Prancis, François Hollande atas langkah Jokowi yang menolak grasi para terpidana. Selain itu ada beberapa aktivis dan kelompok pencinta Hak Asasi Manusia yang menyayangkan keputusan Jokowi yang melakukan eksekusi hukuman mati di tahap pertama beberapa waktu lalu.
Penenggelaman Kapal
Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) selain dalam urusan hukuman mati terhadap para pengedar narkotika dan obat-obatan terlarang tanpa memandang latar belakang kewarganegaraan, juga melakukan tingkat kedisiplinan yang sama atas soal keamanan sumber daya kelautan. Salah satu instruksi Jokowi yang didelegasikan ke Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, adalah penenggelaman kapal nelayan yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal.
Bloomberg mencatat kapal Vietnam dan Filipina telah menjadi korban “kesadisan” Jokowi yang gencar memerangi illegal unreporter and unregulated fishing. “Di sisi lain Jokowi menargetkan hampir 6 miliar dolar AS pada berbagai projek untuk meningkatkan kualitas pelabuhan di seluruh Indonesia, untuk menjadi jembatan maritim antara Asia dan Afrika,” Phillips menambahkan.
Penenggelaman kapal sebetulnya sudah terjadi dari era pemerintahan SBY, namun kala itu tidak terlalu diekspos media massa.
Greg Fealy, seorang profesor di Universitas Nasional Australia di Canberra menyebut Jokowi saat pembukaan KAA 2015 tidak menampakkan diri sebagai Soekarno – Presiden pertama Indonesia – dalam wujud fisik yang pidato berapi-api, tetapi dalam sisi lain dia memberi warna lain dalam makna pidato Jokowi yang berciri Soekarno.
“Saya rasa bahwa Jokowi bukanlah seorang pengamat peristiwa internasional yang canggih, tetapi ia memiliki ide-ide yang kuat tentang bagaimana dunia bekerja,” kata Greg Fealy.
Fealy menyebut tidak ada yang meragukan langkah Jokowi dan juga langkah Indonesia di masa mendatang. “Tentu saja ada hubungannya dengan suasana hati bangsa Indonesia saat ini,” Fealy menambahkan.
Editor : Eben Ezer Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...