Pengampunan
Bukankah sesama pendosa dilarang saling menghukum dan menghakimi?
SATUHARAPAN.COM – Ketika bersalah seseorang ingin mendapat pengampunan dari sesamanya. Tetapi, ketika orang lain bersalah kepadanya, ia sulit mengampuni. Mengapa kecenderungan ini terjadi?
Apa yang Kristus ajarkan menolong kita menjawabnya. Dalam salah satu bagian Doa Bapa Kami, Kristus mengajar para pengikut-Nya berdoa: ”Ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (Mat. 6:12).
Kalimat ini bisa ditafsirkan demikian. Pertama, Kristus mengajarkan fairness. Kalau seseorang ingin diampuni Tuhan, ia mestinya juga mengampuni orang lain. Jadi mengampuni sesama mendahului pengampunan yang kita terima dari-Nya. Kedua, Kristus mengajarkan kerendahan hati. Karena Tuhan mengampuni kesalahan saya, maka saya pun perlu mengampuni kesalahan sesama. Di sini berlaku bahwa pengampunan dari Tuhan mendahului sikap mengampuni sesama.
Tafsiran kedua inilah yang saya ikuti. Di bagian Injil lainnya, sabda Kristus mendukung tafsiran ini: ”...orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih"(Luk. 7:47). Menurut ayat tersebut, orang yang sudah menerima pengampunan Tuhan, akan mampu mengasihi sesama. Ia bisa mengampuni sesama juga. Mengapa? Sebab ia sadar, meski dirinya tidak sempurna, Tuhan mengampuni dan menerimanya. Pengampunan dari Tuhan itu memampukan dia untuk menerima dan mengampuni kesalahan sesama.
Apa yang bisa kita pelajari? Masyarakat negeri ini mudah sekali menghukum sesamanya. Kalau ada yang tidak disukai, dicaci maki. Kalau ada yang dianggap keliru, dihukum dengan main hakim sendiri. Senin malam lalu, puluhan orang menyerang dua waria di Jatiasih, Bekasi. Ketika waria yang dianiaya itu berseru kepada Tuhan, para penganiaya itu menghardik, ”Kalian nggak perlu menyebut nama Tuhan, kalian enggak pantas dilahirkan.”
Saya tidak bisa berkata-kata ketika membaca beritanya. Apakah para penganiaya itu lebih hebat dari Tuhan sehingga mengatakan kalau waria tidak pantas dilahirkan? Bukankah lahir dan mati seseorang adalah bagian dari otoritas dan kekuasaan-Nya? Siapa mereka sehingga merasa berhak mengatakan seseorang tidak layak lahir?
Oke, anggaplah dengan mudah, para waria itu pendosa! Tetapi siapakah para penganiaya itu sehingga merasa berhak menghukum mereka? Bukankah mereka juga orang berdosa? Mereka bukan waria. Tetapi bukan berarti mereka tidak berdosa. Tindakan menganiaya itu dosa. Belum lagi jika melihat kehidupan mereka yang lainnya. Jika waria itu dianggap berdosa, mereka juga pendosa! Bukankah sesama pendosa dilarang saling menghukum dan menghakimi?
Dengan mengatakan itu, bukan lantas agama berkompromi terhadap dosa, kesalahan dan pelanggaran manusia. Bukan seperti itu. Yang saya pahami dari sabda Kristus adalah ini: umat Tuhan perlu memiliki kerendahan hati. Di dalam hal, yang menurut kita, buruk sekali pada diri sesama, ada kebaikan yang perlu kita apresiasi. Sebaliknya, di dalam kebaikan yang kita anggap sempurna di dalam diri kita, ada kejahatan juga. Dengan menyadari dan mengakui itu, kita terhindar dari sikap beragama yang keji, kejam, dan muram.
Kerendahan hati religius itu akan melahirkan sikap beragama yang ramah (bukan pemarah!), merangkul (bukan sedikit-sedikit memukul!), gembira dan riang (bukan pemberang!), mengasihi (bukan memusuhi!).
Editor : Yoel M Indrasmoro
KPK Tetapkan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, Tersangka Kasus...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Jenderal PDI Perju...