Pernikahan di Bawah Umur Meningkat di Kalangan Pengungsi Suriah di Yordania
YORDANIA, SATUHARAPAN.COM – Jumlah pernikahan dini dan kawin paksa antara gadis-gadis pengungsi Suriah di Yordania meningkat dua kali lipat sejak awal perang. Demikian dilaporkan pegiat perlindungan hak anak-anak, Save the Children, hari Rabu (16/7).
Data yang dikumpulkan oleh UNICEF menunjukkan seperempat dari semua pernikahan pada pengungsi Suriah yang terdaftar di Yordania melibatkan gadis di bawah usia 18 tahun. Save the Children mengatakan bahwa kemiskinan ekstrim dan meningkatnya kekhawatiran pada kekerasan seksual di antara komunitas pengungsi Suriahmenyebabkan orangtua tidak memiliki pilihan selain menikahi putri mereka agar mereka "dilindungi."
Pernikahan anak memang terjadi sebelum konflik Suriah, sekitar 13 persen dari semua pernikahan. Namun angka terbaru menunjukkan bahwa jumlahnya meningkat dua kali lipat pada gadis-gadis yang melarikan diri ke Yordania. Sekitar setengah (48 persen) dari mereka dipaksa untuk menikahi pria yang setidaknya berusia 10 tahun lebih tua dari mereka.
"Perkawinan anak sangat buruk bagi gadis-gadis yang bersangkutan," kata Presiden dan CEO Save the Children, Carolyn Miles. "Gadis-gadis yang menikah sebelum usia 18 tahun lebih mungkin mengalami kekerasan dalam rumah tangga daripada rekan-rekan mereka yang menikah kemudian. Mereka memiliki akses lebih terbatas pada kesehatan seksual dan reproduksi, dan menempatkan tubuh muda mereka beresiko ekstrim ketika mereka hamil."
Laporan terbaru bertajuk "Terlalu Muda untuk Menikah: peningkatan Pernikahan Anak Perempuan Suriah di Yordania," merinci sejumlah alasan mengapa keluarga memilih untuk pernikahan dini bagi anak perempuan mereka.
Demi Perlindungan
Sebagai pengungsi, keluarga warga Suriah mengalami kekurangan sumber daya dan peluang ekonomi. Pada saat yang sama, mereka sadar akan kebutuhan untuk melindungi putri mereka dari ancaman kekerasan seksual. Mengingat tekanan tersebut, beberapa keluarga menganggap pernikahan anak menjadi cara terbaik untuk melindungi anak-anak perempuan mereka dan meringankan sumber daya keluarga.
Anak-anak yang putus sekolah lebih mungkin untuk menikah dini. Sebaliknya, anak-anak yang menikah lebih mungkin untuk putus dari pendidikan. Perempuan muda itu diminta meninggalkan sekolah untuk merawat suami dan rumah mereka, atau mulai melahirkan dan merawat anak.
Namun laporan itu juga menunjukkan adanya perlawanan dari beberapa keluarga pengungsi, dan mencatat kasus penolakan tegas ibu-ibu untuk pernikahan anak perempuan mereka. Di antara alasan itu adalah bahwa anak perempuan mereka masih terlalu muda, dan bahwa mereka ingin mereka menyelesaikan pendidikan.
"Gadis-gadis ini, yang melarikan diri dari perang di Suriah mengalami risiko ekstrim masalah kesehatan mental akibat isolasi sosial, stres dan penyalahgunaan," kata Miles. "Tapi dampak dari kawin paksa dapat terjadi secara fisik, dan kejiwaan, dan akibat pada kesehatankarena aktivitas seksual, sementara tubuh mereka masih berkembang. Hal itu menghancurkan perempuan di bawah 15 tahun, yang datanya menunjukkan lima kali lebih mungkin meninggal saat melahirkan dibandingkan perempuan dewasa. "
Save the Children, bersama dengan mitra lembaga itu, menjalankan program peningkatan kesadaran masyarakat pada anak-anak, remaja dan orang tua di Yordania, dengan fokus pada pencegahan pernikahan dini pada anak perempuan.
AS Memveto Resolusi PBB Yang Menuntut Gencatan Senjata di Ga...
PBB, SATUHARAPAN.COM-Amerika Serikat pada hari Rabu (20/11) memveto resolusi Dewan Keamanan PBB (Per...