Prancis Cemas Jelang Pelaksanaan Referendum Kaledonia Baru
NOUMEA, SATUHARAPAN.COM - Kendati belum diumumkan secara resmi, sudah nyaris pasti bahwa referendum di Kaledonia Baru akan berlangsung pada 4 November mendatang. Kongres Kaledonia Baru diharapkan akan bersidang pada 19 Maret ini untuk menetapkan tanggal pelaksanaan referendum.
Referendum tersebut nantinya akan memberi kesempatan kepada rakyat Kanaks di Kaledonia Baru untuk menentukan sikap, apakah akan menjadi negara sendiri atau tetap bersama dengan Prancis. Meskipun demikian, sampai sekarang belum ditetapkan bentuk pertanyaan yang akan diajukan dalam kertas suara.
Kemungkinan ditetapkannya tanggal referendum itu diungkapkan oleh salah seorang anggota parlemen Prancis dari Kaledonia Baru, Philippe Dunoyer.
Ia mengungkapkan hal itu setelah Komisi Hukum parlemen mengetujui perubahan undang-undang pemilihan sehigga pendaftaran lanjutan bagi 11.000 pemilih diperbolehkan dalam referendum yang terbatas itu. Sebelumnya, Senat Prancis telah menyetujui perubahan tersebut.
Dikabarkan bahwa kesepakatan tentang tanggal 4 November itu dicapai bulan lalu ketika 10 pemimpin Kaledonia Baru dari partai-partai utama bertemu dan membicarakan bagaimana masa depan Kaledonia Baru pascareferendum.
Bagaimana wujud kedaulatan Kaledonia pascareferendum --seandainya pro-kemerdekaan menang -- sampai saat ini masih menjadi tanda tanya besar bagi sebagian kalangan.
Pemerintah Prancis sendiri mengkhawatirkan kemungkinan perpecahan di kalangan rakyat Kaledonia Baru pascareferendum, apa pun hasilnya.
Hari Rabu lalu, Perdana Menteri Prancis, Edouard Philippe mengutarakan imbauannya agar semua orang di Kaledonia Baru memelihara perdamaian yang sudah dicapai selama 30 tahun.
Ia mengatakan, referendum yang bertujuan menanyakan apakah rakyat ingin tetap bersama Prancis atau berdaulat penuh, tetap mengandung risiko perpecahan. Dan hal ini, menurut dia, sangat berbahaya. Ia mendesak agar semua orang mengutamakan persatuan di Kaledonia Baru.
Beberapa hari sebelumnya, ia juga telah melancarkan imbauan agar dialog 10 pemimpin kelompok-kelompok di Kaledonia Baru yang terbentuk atas bantuannya, dilanjutkan kembali. Dialog itu telah terhenti setelah dua politisi pro-negara Prancis menyatakan mengundurkan diri.
Ia mengatakan sangat penting dialog terus berjalan dan tidak terputus. Philippe mengatakan pembentukan G10, nama julukan bagi forum dialog itu, perlu untuk membicarakan secara tertutup bagaimana masa depan Kaledonia pasca referendum.
Dua pemimpin Kaledonia, Sonia Backers dan Therry Santa, dua pekan lalu menyatakan mengundurkan diri setelah pemimpin pro-Prancis lainnya, Philippe Gomes, membocorkan isi pembicaraan. Gomes mengatakan bahwa semua kelompok telah setuju referendum Kaledonia Baru diadakan pada 4 November.
Pemerintah Prancis Diminta Nyatakan Sikap
Sementara itu, Mantan PM Prancis, Manuel Valls, menyampaikan imbauan agar pemerintah Prancis mengungkapkan apa preferensinya terhadap referendum yang akan dilangsungkan.
Valls, yang berada di Noumea, Kaledonia Baru, sebagai ketua delegasi parlemen Prancis, mengatakan hal itu dalam sebuah debat publik.
Ia mengatakan secara pribadi ia menginginkan Kaledonia Baru tetap berada di dalam negara Prancis dan tidak menginginkan akan ada perjanjian ketiga setelah Perjanjian Matignon dan Perjanjian Noumea. (Perjanjian Matignon adalah perjanjian yang ditandatangani di Hôtel Matignon oleh Jean-Marie Tjibaou dan Jacques Lafleur pada 26 Juni 1988 antara loyalis Prancis dan kelompok separatis.
Perjanjian itu menetapkan periode pembangunan selama 10 tahun ke depan sehingga memberi kekuatan ekonomi dan kelembagaan bagi rakyat Kanak. Selama 10 tahun rakyat Kaledonia Baru sepakat tidak mengangkat isu kemerdekaan.
Perjanjian Noumea dibuat tahun 1998 di Noumea, ibukota Kaledonia Baru, yaitu perjanjian antara Prancis dengan rakyat Kanak, penduduk asli Kaledonia baru, untuk memberikan kekuatan politik lewat referendum 20 tahun setelah perjanjian ditandatangani).
Menurut dia, setelah keluarnya Inggris dari Uni Eropa, Prancis satu-satunya kekuatan Eropa di Pasifik. Ia juga mengatakan bahwa kehadiran Prancis di Pasifik diinginkan oleh Australia dan Selandia Baru.
Komentar Valls telah mendatangkan kecaman dari politisi pro-kemerdekaan Kanaks. Komentar itu dianggap melanggar netralitas pemerintah.
Namun, PM Prancis, Philippe, membela pernyataan Valls. Menurut dia, komentar Valls tidak mengganggu kenetralan pemerintah.
Kaledonia Baru dijajah oleh Prancis pada tahun 1853. Saat ini statusnya adalah wilayah khusus pemerintahan Prancis dan sejak tahun 1986, PBB telah menempatkan wilayah ini dalam daftar Non-Self Governing Territories.
Pada 13 September 1987, pernah diselenggarakan referendum kemerdekaan Kaledonia Baru. Hasilnya, hanya 842 atau 1,7 persen dari total 50.250 pencoblos yang memilih opsi merdeka.
Meskipun demikian, pemilihan itu dianggap tidak fair karena tidak diawasi oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Referendum tersebut juga diboikot oleh partai politik terbesar bangsa Kanaks. Ada 34.772 atau 49,1 persen dari pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak pilihnya. (radionz.co.nz)
Editor : Eben E. Siadari
Hamas: Syarat Baru Israel Menunda Kesepakatan Gencatan Senja...
JALUR GAZA, SATUHARAPAN.COM-Kelompok Hamas menuduh Israel pada hari Rabu (25/12) memberlakukan "...