Ratusan Juta Penyandang Tunanetra Terancam Kelaparan Buku akibat UU Hak Cipta
VATIKAN, SATUHARAPAN.COM Ketika pemimpin Gereja berulang kali menyerukan bantuan dunia untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kelaparan pangan, seorang uskup dari Vatikan pun turut mendesak untuk mengakhiri masalah kelaparan yang melanda negerinya, tetapi masalah kelaparan yang ia serukan adalah jenis kelaparan lain, yaitu 'kelaparan' buku.
Seperti dilansir catholicnews.com, Uskup Agung Jenewa, Silvano Maria Tomasi menyerukan pengkajian kembali undang-undang (UU) hak cipta yang mengatur tentang proses penerjemahan dan penertiban sejumlah buku ke dalam buku Braile yang diperuntukkan bagi para penyandang tuna netra.
Ada 285 juta tunanetra di seluruh dunia, dan tentunya hal ini dapat menghambat mereka dalam mengakses buku-buku yang penting untuk pengembangan diri mereka. Hal tersebut disampaikannya ketika menghadiri pertemuan para diplomatik Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia atau World Intellectual Property Organization, pada Selasa (18/6) lalu, di Marrakesh, Maroko.
Angka 285 juta itu diperoleh dari data statistik WHO pada tahun 2012. Menurut statistik itu, ada 90 persen penyandang tunanetra di negara berkembang kesulitan mengakses tulisan Braille, penyebabnya karena undang-undang hak cipta yang menghambat proses penerjemahan dan percetakan buku-buku huruf Braille.
"Hanya satu persen dari buku-buku di negara berkembang dan negara yang tertinggal ... menyediakan sarana yang dapat diakses untuk orang buta, sedangkan di negara maju hanya sekitar lima persen," kata Uskup Agung memaparkan datanya.
Dalam kesempatan lain, Uskup Tomari berpendapat bahwa aturan hak cipta justru menghambat kemajuan hidup tunanetra. Saat ini, hukum hak cipta di banyak negara merupakan hambatan untuk membuat buku yang dapat diakses orang buta atau tunanetra, tulis Uskup Agung Jenewa dalam surat elektroniknya (email) kepada catholicnews.
Tujuan dari sistem hak cipta adalah penyebaran karya kreatif untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Tetapi, hak cipta tersebut tidak pernah mewujudkan tujuannya itu," kata Uskup yang menjadi sebagai pengamat tetap organisasi-organisasi PBB di Jenewa.
"Sangat penting untuk membuat peraturan internasional, yang memberikan kesataraan bagi orang-orang cacat dengan memberikan kesempatan kepada mereka sehingga menemukan potensinya, memahami keberadaannya, mengetahui hak-haknya dan dapat menggunakan bakat dan sumber daya yang mereka miliki untuk aktualisasi pribadi dan sumbangsihnya kepada masyarakat, "kata Uskup Agung Tomasi.
Uskup kelahiran 12 Oktober 1940 itu menyebutkan pasal 27, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk berpartisipasi dalam budaya, mendapatkan keuntungan dari kemajuan ilmiah, dan berkontribusi untuk ilmu pengetahuan dan budaya.
Ia menyerukan kepada masyarakat internasional untuk segera mengambil keputusan, dan menyediakan informasi, pendidikan dan kebudayaan yang lebih mudah untuk tunanetra, baik untuk memberdayakan mereka maupun untuk memajukan mereka demi kebaikan bersama masyarakat secara keseluruhan.
"Setiap orang harus dapat memajukan kepentingan nasional, sebuah perjanjian baru sebagai bentuk solidaritas dengan semua tunanetra dan memberikan harapan bagi mereka dan tanda tanggung jawab dari masyarakat internasional," ujar Uskup Tomari.
Editor : Wiwin Wirwidya Hendra
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...