Rektor UKI: Debat Soal Status Ahok Harus Berpatokan Konstitusi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Rektor Universitas Kristen Indonesia (UKI) Maruarar Siahaan mengatakan perbedaan pendapat tentang situasi yang saat ini menimpa Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok – karena ada pihak yang tidak mempermasalahkan Ahok kembali bekerja setelah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta berakhir, namun di sisi lain terdapat kelompok yang menginginkan Ahok diberhentikan dari posisinya karena sebagai terdakwa dugaan penodaan agama – namun, harus secara konsisten diselesaikan berdasarkan prinsip konstitusi.
“Walau terdapat perbedaan tentang Pak Ahok saat ini, tetapi tetap masyarakat harus berpegang kepada konstitusi, apa itu konsitutsi yakni kedaulatan rakyat sebagai sumber mandat kepada rakyat yang percaya kepada pemimpin yang menjalankan pemerintahan,” kata Maruarar saat memberi materi di seminar “Haruskah Kepala Daerah Status Terdakwa Dinonaktifkan”, di Grha Oikoumene, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Jalan Salemba Raya, Jakarta, hari Jumat (17/2).
Menurut dia, pemunculan sejumlah pendapat atau opini yang di tengah masyarakat terhadap posisi Ahok adalah sebuah hal yang tidak dapat dipaksakan.
Basuki Tjahaja Purnama kembali aktif sebagai Gubernur DKI Jakarta, setelah Ahok menjalani cuti karena menjalani masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta tahun 2017, walau Ahok saat ini berstatus terdakwa dalam kasus dugaan penodaan agama. “Barangkali pendapat atas status Pak Basuki (Ahok) tidak dapat dipaksakan,” kata Maruarar.
Dia menambahkan dari sudut pandang Hukum Administrasi Negara, Ahok yang aktif kembali sebagai gubernur setelah menyelesaikan masa kampanye harus dilihat secara jernih.
“Ketika dia diaktifkan kembali setelah selesai kampanye, maka itu adalah ranah dan ketentuan Pilkada,” kata dia.
Dia menganalisa bahwa kelompok yang tidak puas dan menginginkan Ahok untuk dinonaktifkan harus mengingat bahwa prosedur untuk “impeachment” (pemakzulan terhadap kepala daerah atau kepala negara) sangat rumit dan lama.
“Tetapi bila melihat pasal 83 UU No.23 tahun 2014, dalam kaitannya dengan Ahok (aktif kembali memimpin DKI Jakarta) itu sebenarnya ada yang dilewatkan dalam paradigma sistem pemerintahan kita, karena sistem pemerintahan kita bersandar pada sistem konstitusi kedaulatan di tangan rakyat, ketika seseorang menjadi kepala daerah atau presiden dengan suara rakyat maka keputusan itu bukan pada presiden, tetapi keputusan ada pada rakyat. Rakyat yang bersuara,” kata dia.
Maruarar menjelaskan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) telah mengatur ketika pemerintah daerah diberi mandat rakyat, maka dapat dianalogikan sama dengan presiden yang diangkat oleh rakyat.
Presiden atau kepala daerah, kata dia, tidak bisa dipecat begitu saja, tetapi karena pemberian mandat itu bagian dari kepercayaan rakyat, maka seorang kepala daerah atau kepala negara dapat diberhentikan ketika rakyat sudah kehilangan kepercayaan. “Karena korupsi, misalnya,” kata dia.
Penodaan atau Penistaan Agama
Maruarar menggarisbawahi agar masyarakat jangan terjebak pada situasi aktif atau nonaktif terkait posisi Ahok di pemerintahan saat ini. Maruarar menginginkan masyarakat juga ikut jernih dalam melihat Undang-Undang Nomor 1 Penetapan Presiden (PNPS) Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
“Tetapi kita jangan lupa tentang dakwaan penistaan agama (yang ditujukan ke Ahok), tetapi kalau kita ingin melihat tentang kasus (penodaan agama yang didakwakan kepada) Ahok jangan lupa untuk melihat kasus penistaan (penodaan) agama di berbagai negara di dunia,” kata dia.
Dia mengatakan masalah penodaan agama di sejumlah negara di dunia masih sebuah hal yang debatable atau dapat diperdebatkan, dan berpolemik, karena menurut dia, penodaan agama belum dapat dikategorikan sebagai suatu pelanggaran yang serius.
“Barangkali kita bisa melihat kalau presiden kita tidak akan diturunkan kecuali dia mengkhianati negara, korupsi, suap, melakukan perbuatan tercela. Nah, perbuatan tercela ini adalah konesep yang sangat kabur dan menjadi suatu perdebatan,” kata dia.
Maruarar menilai perdebatan tentang masalah hukum yang membelit kepala negara atau kepala daerah tidak dapat langsung begitu saja diputuskan untuk memberhentikan yang bersangkutan, namun terlebih dahulu harus dibawa dalam proses politik di parlemen.
“Dan keputusannya sangat sukar, kira-kira apabila keputusan di parlemen dijadikan dasar pemberhentian, dia harus merupakan keputusan yang diambil dari dua pertiga anggota (parlemen) dari tiga perempat anggota (parlemen) yang hadir,” kata dia.
“Analoginya di DPRD juga begitu, kalau dia (gubernur) dianggap tidak layak lagi (memimpin sebuah daerah), maka dia dibawa di forum impeachment dengan cara yang sama,” kata dia.
Namun setelah keputusan tersebut diambil di DPRD maka harus dibawa ke Mahkamah Agung, kemudian dari Mahkamah Agung dikembalikan ke DPRD, sebelum diserahkan ke presiden.
Editor : Eben E. Siadari
Prabowo Sempat Bertemu Larry the Cat di Inggris
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Selain menemui Raja Charles III, Perdana Menteri Keir Starmer, dan pejaba...